"Suami nggak guna, udah dibilangin jemput sebelum jam lima!" Ava berucap dengan sangat kesal. Wajahnya tampak begitu kusut, kedua tangan terlipat di dada. Manik matanya memancarkan rasa kesal yang begitu besar.
"Sabar, ‘kan baru nunggu lima menit." Jema berusaha menenangkan.Saat ini, mereka sedang berada di kafe yang berada tepat di samping kantor di mana mereka bekerja. Jema hanya menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kesabaran sahabatnya itu—bak setipis tisu dibelah lima. Entah sudah berapa kali Eva menghela nafas kasar.“Bukannya nggak sabar, Ma. Aku cuma kesel aja. Dia itu nggak sekali dua kali bikin aku nunggu kayak gini!” “Ava, barangkali suamimu lagi ada kendala di jalan. Lagian dia juga kerja, ‘kan?”“Aku tahu, kok. Jam kerja dia itu udah selesai dari tadi. Lagian jarak kantornya ke kantor kita nggak jauh-jauh amat, tuh! Emang dasar dianya aja yang males jemput aku!”Kali ini Jema yang menghela napas. Memang sulit sekali menasihati Ava yang keras kepala. Daripada berlanjut hingga ujungnya bertengkar, lebih baik dia diam saja sambil menikmati es americano-nya.Setelah menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit, akhirnya batang hidung Ziyan terlihat.Jema melirik Ava yang terlihat bersiap untuk menyembur Ziyan. Lalu, benar saja. Ketika lelaki jangkung itu baru masuk ke kafe, Ava langsung berdiri dan berkacak pinggang.“Oh, bagus! Kenapa nggak sekalian besok aja jemputnya, Mas?!” Ava menghardik dengan suara keras, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.Sang suami baru saja akan membuka mulut, tetapi Ava sudah lebih dulu menyela, “Mau alasan apa kamu, Mas? Udah, deh, kayaknya emang kamu itu nggak niat jemput aku. Iya, ‘kan?”“Kamu ini apa-apaan, sih? Bisa pelan sedikit nggak ngomongnya?” Ziyan sedikit melirik ke sekitar karena malu. “Lagian aku cuma telat lima belas menit doang. Tadi bosku minta rapat dadakan pas jam pulang—“ Dia menghentikan ucapannya ketika sang istri mengibaskan tangan.“Tahu gini aku mendingan pulang sendiri!” Ziyan menghela panjang. Di situasi seperti ini, hanya ada satu cara yang bisa dia lakukan. “Ya udah aku minta maaf. Lain kali nggak akan aku ulangi.”Kali ini Ava hanya melengos. Lalu, tanpa mengatakan apa pun dan dengan emosi yang masih menyala, dia meraih tas dan melangkah pergi lebih dulu.Bukan sekali atau dua kali. Jema sudah sering melihat pertengkaran sepasang suami istri itu. Namun, perasaan tidak nyaman saat berada di situasi ini tetap saja tidak bisa hilang.“Makasih, ya.”“Eh?” Jema terkesiap saat mendengar ucapan Ziyan. Dia baru sadar bahwa lelaki itu masih di sini. Sedari tadi Jema menatap kepergian sahabatnya yang sekarang sudah berada di luar kafe. “Makasih buat apa?”“Makasih karena udah mau nemenin Ava.”“Oh,” sahutnya pelan sambil mengangguk. Entah mengapa, dalam hati Jema justru merasa bahwa dirinyalah yang seharusnya mengatakan hal itu untuk Ziyan. Berterima kasih karena sudah menerima Ava dengan segala sikapnya itu. “Udah biasa, kok. Lagian emang aku lagi pengin ngafe aja. Jadi, sekalian nemenin Ava.”Ziyan hanya tersenyum tipis. Melihat itu, Jema merasa ada yang mengganjal. Tatapan dan senyuman pria tampan tersebut sedikit mengganggunya. Terlihat lesu dan sedikit … kosong. “Ada apa? Kayaknya kamu lagi ada masalah, ya?” tanya Jema hati-hati. Ziyan menggeleng, tetapi satu detik kemudian dia terkekeh pelan. “Nanti aja. Aku harus pulang sebelum Ava ngamuk lagi.”Jema mengerti, kemudian membiarkan lelaki itu pergi. Namun, setelah sepasang suami istri itu pergi, dia menemukan dompet Ava yang tertinggal di kursi yang tadi diduduki. ***Sesampainya di rumah, Ava langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu, mengabaikan Ziyan yang mencoba mengajaknya berbicara. Kebiasaan buruk lain istrinya ketika marah. Ziyan lapar, tetapi tidak ada makanan di rumah. Bahan makanan juga habis karena dia belum sempat belanja. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Ava, enggan memasak dengan beralasan lelah setelah seharian bekerja. Namun, itu tidak menjadi masalah untuk Ziyan.“Va, Sayang … aku mau keluar, beli nasi goreng. Kamu mau? Atau mau nitip sesuatu?” tanyanya di depan pintu yang masih tertutup rapat. Tidak ada jawaban. “Va … udahan, dong, ngambeknya. Masa aku tidur di ruang tamu lagi, sih?” Sebisa mungkin nada bicaranya penuh dengan penyesalan. “Sayang … buka pintunya. Aku minta maaf buat yang tadi.” Menyerah. Perut Ziyan sudah tidak dapat berkompromi. “Ya udah, deh. Aku keluar dulu, ya.” Akhirnya dia keluar ke gang depan untuk mengisi perutnya.Sementara itu, Ava sedang berbaring di atas kasur dengan memainkan ponselnya. Sedikit menggeser posisi tubuh agar semakin nyaman. “Bawel banget jadi suami. Udah tahu tadi aku habis dari kafe, ya kali nungguin dia sampe kelaperan!” Dia menggerutu tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.***“Lho, Jema? Kok, kamu ada di sini?” Ziyan baru saja sampai di depan rumah dengan menenteng kantong berisi dua bungkus nasi goreng. Dia dikejutkan dengan kehadiran Jema. “Ini, Mas.” Perempuan itu mengeluarkan dompet berwarna merah hati dari tasnya. “Punya Ava ketinggalan di kafe tadi. Aku baru aja mau ngetuk pintu. Tadinya mau menelepon kalian, tapi HP-ku mati.” Sejujurnya, Jema juga tidak enak datang tanpa mengabari tuan rumah terlebih dahulu.“Oh, ya ampun. Kamu bela-belain ke sini cuma buat ngembaliin dompet? ‘Kan bisa besoknya lagi, Ma.” Ziyan membimbing Jema untuk duduk di kursi teras.“Makasih, ya.”“Sama-sama, Mas.” Jema melirik kantong plastik yang dibawa lelaki itu. “Makan malam, ya?”“Biasalah.” Dia menjawabnya dengan santai. “Hm … ngomong-ngomong, Ma. Kamu ada info lowongan pekerjaan, nggak?”“Loker? Buat siapa, Mas?”“Buat aku, Ma.”“Eh?” Jema tidak bisa menyembunyikan keheranannya. “Kamu mau pindah kerjaan, Mas?”Ziyan menggeleng dengan tatapan sayu. “Aku baru aja di-PHK.”“Aku baru aja di-PHK.”Jema kehilangan kata-kata untuk saat ini. Sementara itu, Ziyan tersenyum kecut sambil mengusap belakang kepalanya. “Aku belum bilang ini ke Ava. Kamu tahu sendiri, ‘kan, gimana dia? Yang di kafe aja dia ngamuk, apalagi dengar kabar aku di-PHK.”Ada keheningan sesaat di antara mereka, sampai Jema membuka mulut. “Jadi ini masalahnya, Mas? Alasan kamu telat jemput dan yang tadi kamu bilang di kafe?”“Iya, Ma.”Kasihan sekali lelaki itu. Pantas saja Ziyan tidak terlihat seperti biasanya. Jema tahu, dengan temperamen sang istri, Ziyan pasti berpikir seribu kali untuk membicarakan hal ini. “Boleh tahu nggak, alasan kamu di-PHK, Mas?” Jema melihat lawan bicaranya tampak lebih frustrasi saat ini. Entah sejak kapan kantong plastik itu sudah lepas dari tangan pemiliknya, hingga dua buntelan berisi makanan itu tak lagi terlihat menggiurkan. Ziyan baru akan membuka suara, tetapi mendadak terhenti saat istrinya menampakkan diri. “Ava?”“Kamu bercanda, ‘kan, Mas?” Mata A
[Nanti aku kabari ke kamu kalau udah nemu kerjaannya.][Sekarang aku lagi makan sama istri kamu, Mas.]Jema mambalas pesan sambil mendengarkan celotehan Ava yang berisi keluhan dan ‘hinaan’ tentang suaminya. Terkadang dia heran sekaligus kagum dengan kesabaran Ziyan menghadapi istri semacam Ava ini. “Kamu tahu nggak, sih? Cicilan rumah kami aja belum lunas, Va! Gimana kami bisa nabung kalau Ziyan jadi pengangguran? Gaji aku aja cuma cukup buat kebutuhanku aja!” Memang benar, selama ini uang Ava hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Mulai dari shopping, jalan-jalan, arisan, hingga liburan. Sedangkan untuk makan, cicilan rumah, hingga perawatan sepenuhnya ditanggung sang suami. Hal itu juga tidak luput dari sepengetahuan Jema. Gaya hidup hedon Ava terkadang membuatnya geleng-geleng kepala. Bukan karena iri, tetapi jutru kasihan—terutama untuk Ziyan. Namun, apa boleh buat, itu kehidupan temannya, Jema tidak bisa ikut campur lebih dalam lagi. “Kamu tahu nggak, sih? Aku, tuh, stres ba
“Ma, aku nggak bisa menghubungi Ava. Nomornya nggak aktif.” Ziyan bingung dan cemas. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk menghubungi istrinya, tetapi bisa. Hari sudah mulai gelap, tidak biasanya Ava pergi tanpa mengabarinya dulu.“Lho, bukannya kamu yang jemput dia, Mas?” Suara Jema dari seberang telepon menyahut. Ziyan memilih menepikan mobilnya, kemudian menjawab, “Aku udah sampai di tempat tujuan, tapi Ava nggak ada. Aku kirim pesan dan telepon juga nggak ada respons. Nomornya juga nggak aktif.” Suaranya terdengar gelisah. Beberapa kali dia mengibas rambut dengan frustrasi. “Oke, tenang dulu, Mas. Mungkin dia pergi ke suatu tempat dan HP-nya mati, jadi nggak bisa hubungin kamu.” Ava mencoba untuk menenangkan. “Salahku karena telat jemput dia. Aargh!” Dia tahu bahwa Ava sedang sensitif perasaannya. Memang sang istri bukan anak kecil yang harus 24 jam dalam pengawasan, tetapi jika pergi tanpa kabar, siapa juga yang tidak khawatir?Jema yang saat ini sedang ada di rumah merasa ber
Tanpa basa-basi, Ava diseret ke luar oleh suaminya. Dia mencoba untuk memberontak, tetapi gagal lantaran cengkraman Ziyan pada tangannya cukup kuat. Jema tetap tinggal di ruangan untuk meminta maaf kepada Pak Kemal dan Vino. Sementara itu, Ziyan membawa istrinya sampai di depan lift. Karena hari sudah gelap, kantor pun tampak sepi. "Kamu ini apa-apaan, sih!" Ziyan mulai mengomel. "Mau malu-maluin aku? Ini bukan kantor aku lagi Va."Ava membuang napas kasar. "Apa? Malu-maluin? Harusnya kamu itu berterimakasih, Mas! Aku ngebela kamu, lho! Datang ke sini buat meminta keadilan."Ziyan mengacak rambut dengan frustrasi. Dia tahu bahwa wanita itubmelakukan hal ini demi dirinya. Ava memang orang yang seperti itu, sedikit saja mencium ketidakadilan maka dia akan mengusutnya sampai tuntas. Hanya saja, hal seperti ini akan menambah masalah. "Tapi, bukan begini caranya, Va." "Terus, kamu mau aku gimana, hah?!" Ava mulai bersungut-sungut. "Diam sampai kamu mau turun tangan? Hahaha. Itu mus
"Aku bisa pulang sendiri, kok," kata Jema saat mereka bertiga sudah ada di area parkir. "Arah rumahku sama kalian, 'kan, beda."Ziyan menawarkan untuk mengantar Jema pulang, dan hal itu disetujui oleh Ava. "Tapi, kamu udah jauh-jauh ke sini, Ma. Nggak enak, dong, kalau kamu pulang sendiri," kata Ava yang merasa tak enak hati."Nggak usah, Va. Beneran, deh. Kalian pulang aja dulu."Karena Jema tetap bersikeras untuk pulang sendiri, mereka pun akhirnya pergi tanpanya. Di perjalanan, Ava dan Ziyan sedikit berbincang tentang masalah hari ini. Sang suami pun menjelaskan alasan mengapa dirinya telat menjemput. Bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk meyakinkan Ava bahwa dirinya tidak bersikap pasrah begitu saja. Lagi pula, bekerja di tempat dia dulu tidak sepenuhnya baik. Rekan kerja yang terlalu kompetitif hingga rela melakukan hal kotor, sampai bosnya yang tidak adil dan hanya mendengar dari satu pihak saja. Sungguh sangat melelahkab bekerja di tempat seperti itu. Ziyan juga su
"Lho, Jema?" Arum, ibunya Ziyan tampak kaget dengan kedatangan wanita itu. "Pagi, Tante." Sapaan penuh kehangatan dan keceriaan dari Jema tampaknya menular ke wanita paruh baya di depannya. Dia terkekeh pelan. "Maaf, Tante, Jema datang nggak ngabarin dulu.""Aduh, duh... sini, Nak. Tante malah senang kamu datang." Raut kegembiaraan wanita itu tidak dapat dimungkiri. Rumah yang tidak asing bagi Jema menyambutnya dengan hangat. Tidak dapat terelakkan bahwa dia terkadang merasa rindu dengan suasana rumah ini.Tidak terlalu besar, tidak kecil juga. Rumah yang sederhana, tampak rapi dan 'cantik' dalam versinya. Di halaman, bunga-bunga yang cantik dan penuh warna sudah menyambutnya lebih dulu. Aroma khas kue kering dan pengharum ruangan bunga lavender jadi iconic setiap berkunjung ke sini. "Tante Arum lagi buat kue, ya?" tanya Jema setelah tiba di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, lokasi dapur memang mudah dijangkau. Jadi, tidak jarang jika bertamu di rumah ini akan disuguhkan pemandanga
Ava masih tidak terbiasa dengan kehadiran Jema. Bukan apa-apa, tetapi ini sungguh di luar prediksinya. Kenapa dan bagaimana bisa perempuan itu ada di rumah mertuanya?"Ini kue buatan Ibu sama Jema. Kalian pasti suka." Arum sangat antusias menghidangkan camilan manis itu. Rait wajahnya berbeda dari beberapa menit yang lalu--waktu menyambut kedatangan anak dan menantunya. "Temanmu ini, lho, Va. Datang pagi-pagi buat bantuin Ibu bikin kue sama bersih-beraih rumah. Ibu jari bisa leha-leha dikit, deh," lanjut wanita bersanggul itu.Ava tampak tidak terlalu memerhatikan ucapan mertuanya. Dia sibuk meneliti Jema, seakan temannya itu makhluk asing dari luar angkasa. "Kamu, kok, ada di sini, Ma?" tanya Ava pada akhirnya. "Oh, iya. Aku--" Dia menggantungkan kalimatnya sembari melirik sekilas ke arah Ziyan. "Aku cuma mampir. Niat awalnya cuma nyapa sebentar--oh, dan aku kira kamu udah ada di sini sejak pagi. Jadi, biar sekalian main. Tapi, ternyata kamu datangnya sore menjelang malam."Itu su
Situasi tidak kian mereda meski Ziyan sudah berusaha untuk melerai. Dia menatap istrinya, seolah memberi kode agar Ava berhenti menyahut ucapan Arum. "Bu. Coba, dong, berpikir objektif. Mas Nevan udah punya jabatan tinggi di kantornya saat nikah sama Mbak Hanna. Mbak Hanna juga udah dapet warisan dari orang tuanya, udah punya rumah. Sedangkan aku nikah sama Mas Ziyan di saat kami baru dapat kerjaan. Rumah juga masih awal tahun ini kami cicil." Ava mengambil napas. "Aku nggak mau ngambil risiko punya anak yang nanti malah nggak keurus dengan baik. Apa aku salah?" Sejak tadi dia terlihat kesal karena menantunya itu menjawab terus ucapannya. Arum hendak menyahut, tetapi dihentikan oleh suaminya. Di saat ada peluang itu, Ziyan langsung membawa istrinya ke teras. Jema tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Memang sudah benar seharusnya dia pergi dari sejak sebelum makan malam. Situasi canggung dan sentimentil ini membuatnya tidak nyaman. Hal itu juga disadari Pak Herman."Nak Jem