“Kau ini, bisa tidak sih, jangan memperkeruh suasana? Jika kau hanya menyalahkan Gemintang terus, urusan ini tak akan selesai!” Manggala membuang napas kesal usai berhasil memisahkan sepasang suami istri yang berdebat tadi. Kini, dua pria itu sedang berada di sebuah coffee shop rumah sakit.“Aku hanya mengutarakan isi hatiku,” timpal Janu datar, lalu menarik gelas kopi di hadapannya.“Mengutarakan isi hati?” ulang Manggala seraya tertawa sumbang. “Sadarkah yang kau katakan tadi mengajaknya bertengkar? Kau sudah kelewatan!”“Aku tidak bermaksud mengajaknya bertengkar! Aku ... aku hanya tak suka dia bersama anak ibu asuhnya itu,” jawab Janu dengan nada pelan, dia kembali mengalihkan pandangan ke arah lain.“Lalu kau berusaha menyudutkannya dengan menuduh macam-macam seperti tadi?” Manggala menimpalinya, ia juga ingin meluapkan rasa gemasnya kepada sang sepupu itu, tetapi hanya berujung membuang napas kembali. “Sudahlah! Tak ada gunanya menceramahimu.”Janu sendiri tidak memasukkan kata-
“Janu-janu ... seacuh apa pun sikapmu padanya, tetap tidak bisa menutupi bahwa cinta juga bersemi dalam hatimu,” gumam Manggala memperhatikan kebodohan sepupunya itu.Bagaimana bisa Janu hebat dalam pekerjaan, tapi masalah hati sebebal ini? Dinasehati pun, tak mau mendengar. Rasanya, Manggala butuh teman curhat!Manggala menghela napas. Pikirannya jadi ke mana-mana.Lebih baik, Manggala pergi dan menyelesaikan tugas dari sepupunya itu sajalah! Apa yang sebenarnya membuat Maura, keponakan kecilnya, sampai alergi parah begini!Sementara itu.... Ketika Janu memasuki ruang rawat, dia membeku sejenak di ambang pintu. Tatapannya tertuju pada Gemintang yang duduk di kursi, matanya terpejam rapat. Tangan Gemintang menggenggam tangan Maura yang terbaring di brankar dengan penuh keteguhan, seolah tidak akan melepaskannya.Rambut Gemintang tergerai acak, beberapa helai menutupi wajahnya yang tampak pucat dan lelah. Wajahnya terlihat lebih letih dari biasanya. Janu merasakan sesak di dadanya,
Gemintang merenung beberapa saat. Kalimat Janu barusan membuatnya dilema.Sekarang dia harus memilih yang mana? Gemintang tak ingin semakin jauh dari putrinya. Namun, di sisi lain, tekadnya sudah mantap untuk bercerai dari Janu, ia juga terlanjur mengikuti seleksi dan berharap bisa lolos kualifikasi.Ia sudah memulai semua perjuangannya, mana mungkin menyerah secepat itu?“Aku tidak ingin berhenti bekerja,” jawab Gemintang setelah terdiam beberapa saat.Hal itu tentu membuat Janu menekuk dahinya. Entah mengapa istri keduanya yang penurut itu tiba-tiba menjadi keras kepala. Janu lalu menyorotnya dengan tatapan datar. “Kalau begitu jangan salahkan jika Maura terus berhubungan dengan Rosaline. Kau sendiri yang memilih jalan ini.” “Rosaline tidak perlu repot-repot mengurus Maura, aku bisa melakukannya,” balas Gemintang penuh percaya diri.“Kau sangat percaya diri bisa melakukan keduanya. Apa kau tidak belajar dari kesalahan?”“Tetapi aku juga butuh pekerjaan ini, Mas. Kau sendiri yang
Hingga Gemintang terlelap, pria itu tidak terlihat lagi.Entah ke mana perginya Janu semalam.Namun anehnya ketika terbangun keesokan harinya, Gemintang baru menyadari jika sebuah selimut sedang membelit tubuhnya.Segera ia menoleh ke sekeliling dan menemukan sang suami sedang terbaring di sofa di samping brankar. Ada beberapa berkas yang tertumpuk di meja, dan layar laptop yang masih menyala membuat Gemintang menekuk dahinya. Mungkinkah Janu begadang semalam suntuk dan baru tidur pagi ini?Di saat yang sama, ia merasakan pergerakan pada brankar. Ternyata, Maura juga bangun. Gemintang lantas mengembalikan perhatiannya pada gadis kecil itu.“Hei, anak ibu sudah bangun?” sapa Gemintang sambil melipat selimut yang ia gunakan.Namun, anak itu tidak menggubrisnya dan menyebutkan hal lain yang mampu membuat Gemintang perih. “Ayah! Maura mau dengan Ayah saja!”Gemintang tersenyum tipis. Rasa bersalah kembali bermukim dalam dadanya. “Ayah sedang tidur. Maura mau apa, hm? Ibu bisa ambilkan,”
Setelah berkata demikian, Janu terlelap di pundak Gemintang.Pria itu tidak memedulikan apa pun, bahkan tidak khawatir jika ada orang lain yang melihatnya dalam posisi seperti ini.Tanpa sadar, sebuah senyum tipis muncul di bibir Gemintang ketika mendengar napas teratur suaminya.“Aku tidak tahu apa maksud hatimu yang sesungguhnya,” ujarnya dalam hati.Terkadang, nada bicara Janu terdengar datar dan dingin, tempramennya buruk, tetapi di saat tertentu pria itu juga memperhatikannya dengan cara yang tidak terduga seperti menyuapinya semalam, dia juga masih sempat manja dengan Gemintang seperti ini.“Kau mengaku tidak memiliki perasaan denganku, tetapi mengapa kau masih peduli padaku?” Gemintang bertanya lagi dalam hati, tak berani mengungkapkannya.Namun, senyum itu perlahan memudar ketika Gemintang menyadari bahwa ada jarak yang jelas di antara mereka saat ini.“Aku selalu berusaha membencimu, tetapi setiap kita berdua seperti ini, hatiku selalu menghangat karena perlakuanmu.” Lagi-lag
Sementara Manggala melancarkan aksinya, Gemintang sedang berbincang dengan Maura sambil menyuapinya ransum yang telah disiapkan oleh rumah sakit.Berkat Janu, hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya. Maura kini sudah ingin bicara pada ibunya itu.Gemintang sendiri memaklumi emosi putrinya. Maura masih anak kecil yang belum paham, sehingga mudah terprovokasi dan dipengaruhi.Anak seusianya bisa mengatakan hal yang menyakitkan jika dihasut oleh orang lain, tidak mungkin ia memiliki pemikiran demikian dengan sendirinya."Bu, Maura tidak bisa makan lagi," ujar gadis itu sambil menolak suapan dari Gemintang. Kedua tangannya bergerak menutup mulutnya sendiri. "Maura mau muntah."Gemintang kemudian menaruh piring dan mengusap punggung Maura. "Baiklah, tidak apa-apa. Makan sebisanya dulu, tidak harus dihabiskan."Setelah memastikan Maura bisa menelan suapan terakhir, Gemintang memberikan segelas air hangat kepada putrinya. Maura menatap lesu piring yang telah diletakkan Gemintang di
Untungnya, jarak kantin rumah sakit dengan ruangan Maura tak begitu jauh.Gemintang hanya perlu turun ke lantai satu menggunakan lift untuk sampai di kafetaria.Ketika tiba di tempat yang tidak terlalu ramai itu, matanya segera menangkap sosok pria berkaos hitam yang duduk di sudut ruangan.Ada dua cangkir minuman sudah tersaji di hadapannya. Janu, tampak asyik berkutat dengan laptop dan beberapa berkas, sehingga tak menyadari kedatangannya.Tuk!Gemintang mengetuk meja, membuat Janu akhirnya menghentikan aktivitasnya. Beberapa saat ia terdiam, matanya tak berkedip saat mengamati penampilan istri keduanya itu."Mas?" Gemintang mengibaskan tangannya di depan wajah Janu, membuyarkan lamunan pria itu.Janu terkesiap, tetapi belum juga menjual ekspresi apa pun, hanya berkata, "Duduklah."Gemintang menurut dan duduk di hadapan suaminya. Pria itu kemudian menggeser secangkir teh hangat ke arah Gemintang.Sementara Gemintang yang baru saja melepas tas selempangnya, sejenak menikmati aroma te
Janu menatap dalam sepasang mata Gemintang. Itulah satu-satunya pilihan yang dapat dia berikan.Mungkin terdengar berlebihan, tetapi menjauhkan Maura dari Rosaline dengan mendekatkannya pada Gemintang adalah langkah terbaik.Meskipun Rosaline mencoba untuk mengganggu, Gemintang dapat melindunginya—bahkan tanpa Janu di sisinya.Selama dua minggu itu, Janu hanya berharap hubungan antara Gemintang dan putri mereka bisa pulih sepenuhnya.“Bagaimana kalau satu minggu saja?” Gemintang memberikan penawaran tetapi Janu tetap memberikan gelengan. “Dua minggu tetap dua minggu,” katanya seolah tak ingin dibantah.“Tapi, Mas—”“Kau sendiri yang bilang merasa jauh dari Maura, sekarang aku memberikan kalian waktu berdua, kau malah menolaknya?”Gemintang membuang napas pasrah, kedua bahunya tampak melemas. “Baiklah, aku akan ambil cuti dua minggu.”Sesaat kemudian yang tercipta diantara keduanya hanyalah keheningan. Hanya suara musik juga riuh beberapa orang dalam kafetaria itu.***Di tempat lain