Janu menatap dalam sepasang mata Gemintang. Itulah satu-satunya pilihan yang dapat dia berikan.Mungkin terdengar berlebihan, tetapi menjauhkan Maura dari Rosaline dengan mendekatkannya pada Gemintang adalah langkah terbaik.Meskipun Rosaline mencoba untuk mengganggu, Gemintang dapat melindunginya—bahkan tanpa Janu di sisinya.Selama dua minggu itu, Janu hanya berharap hubungan antara Gemintang dan putri mereka bisa pulih sepenuhnya.“Bagaimana kalau satu minggu saja?” Gemintang memberikan penawaran tetapi Janu tetap memberikan gelengan. “Dua minggu tetap dua minggu,” katanya seolah tak ingin dibantah.“Tapi, Mas—”“Kau sendiri yang bilang merasa jauh dari Maura, sekarang aku memberikan kalian waktu berdua, kau malah menolaknya?”Gemintang membuang napas pasrah, kedua bahunya tampak melemas. “Baiklah, aku akan ambil cuti dua minggu.”Sesaat kemudian yang tercipta diantara keduanya hanyalah keheningan. Hanya suara musik juga riuh beberapa orang dalam kafetaria itu.***Di tempat lain
Tak lama, mobil jemputan tiba. Meski Bu Dewi ingin langsung pergi ke rumah sakit, namun, pada akhirnya, ibu tiri Janu itu mengikuti kemauan sang menantu agar pulang lebih dulu.Hanya saja, setibanya di rumah, Bu Dewi dibuat bingung saat melihat Rosaline sibuk memeriksa tempat sampah khusus botol di dapur yang ternyata sudah kosong. Tak hanya itu, Rosaline juga tampak menggeledah seluruh kabinet di sekitarnya, seolah sedang mencari sesuatu.“Apa sebenarnya yang kamu cari, Rosaline?” tanya Bu Dewi, mulai merasa tak sabar dengan ketidakjelasan itu.Rosaline berdiri dan memutar tubuhnya menghadap Dewi. “Sebentar, Bu. Aku harus tahu ke mana perginya botol-botol di sini,” ujarnya lalu memanggil salah satu bibi, membuatnya semakin bingung.Namun, wanita itu memilih untuk menahan diri dan tidak berkomentar lebih jauh.“Bi, ke mana botol-botol di sini?” tanya Rosaline saat pelayan rumahnya datang.“Oh, maaf, Nyonya. Botol-botol itu sudah diangkut truck sampah tadi pagi,” jawab wanita muda itu
Janu melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau punya rencana lain?”Sambil meraih cangkir kopi, Manggala tersenyum misterius.Ia mencerup sedikit cairan pekat hitam di dalamnya sebelum berkata, “Kau lihat saja. Setelah ini, akan ada banyak drama di perusahaan Rosaline. Jika kita mencari bidak dan aktor yang membuat permainan ini lebih menarik, maka Lorena lah orangnya.”Manggala meletakkan cangkirnya kemudian menatap Janu dengan wajah serius. “Namun, itu hanya upayaku untuk mengulur waktu, agar Dewi dan Rosaline tidak ikut campur sementara waktu. Lalu kau dan aku bisa fokus pada para bedebah itu, karena cepat atau lambat mereka akan menyerang kita!”Mendengar pendapat sepupunya Janu memijat tulang hidungnya.Ia juga harus melakukan sesuatu, sebab waktunya bersama Gemintang dan Maura hanya tinggal sebentar, selanjutnya mungkin ia akan jarang bersama mereka lagi.***Tidak terasa, hari berjalan begitu cepat. Progress kesembuhan Maura cukup baik, sehingga dia bisa dipulangkan lebih cep
[Ada apa?]Janu mengirim balasan, sesaat kemudian Manggala membalas pesannya.[Ada yang tidak beres dengan pabrik produksi. Kau segeralah ke kantor, aku jelaskan di sana saja.]Janu menaikan alisnya. Pesan terakhir itu mengisyaratkan jika ada hal serius yang terjadi di perusahaannya. Ketika persetujuannya terkirim, Janu lalu melanjutkan langkahnya menuju bagian administrasi untuk mengurus kepulangan Maura.Setelah urusan selesai dan dokter menyatakan bahwa Maura sudah boleh pulang, akhirnya Janu bisa membawa putri dan istrinya keluar dari rumah sakit.Ia lega putrinya bisa pulang lebih awal, tetapi sepanjang perjalanan, pria itu terus memikirkan pesan dari Manggala.Sejak Maura dirawat di rumah sakit, Janu belum sempat mengunjungi kantor.Segala urusan perusahaan ia percayakan kepada Manggala. Janu yakin, sepupunya itu bisa diandalkan dan tidak akan ceroboh dalam menjalankan tugasnya. Namun, pesan tadi membuat hatinya tak tenang.Apa yang terjadi? Hal genting apa yang membuat Mangga
Gemintang mengawasi kepergian Janu dengan tatapan penuh tanya. Hatinya turut tak tenang melihat suaminya yang begitu tergesa-gesa, bahkan langkah kakinya bergerak cepat sebelum Gemintang memberikan persetujuan.Namun, wanita itu memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu dan memilih membereskan beberapa barang dan pakaian kotor yang perlu dicuci.“Maura, main sendiri dulu, ya? Ibu mau cuci baju yang kotor,” ujar Gemintang, yang dijawab dengan anggukan oleh Maura.Hanya saja, ketika sedang menyortir pakaian, ponsel Gemintang bergetar dari dalam tasnya.Ia lantas bangkit berdiri mengambil ponsel itu dan melihat layar. Ada panggilan video masuk dari Baskara.Gemintang lalu mengusap layarnya untuk menjawab.“Ya, Bas?” tanyanya ketika ponselnya menampilkan Baskara yang tengah duduk di sebuah restoran. Beberapa hari tak bertemu, Gemintang hampir lupa dengan pria itu.“Hai, apa aku sedang mengganggumu? Aku menghubungimu sejak semalam, tetapi sepertinya kau sedang sibuk.” Baskara terlih
Di sisi lain, Janu yang baru saja tiba di kantor, merasakan atmosfir yang berbeda.Para karyawan yang biasanya sibuk dengan rutinitas masing-masing, tampak saling berbisik satu sama lain, seolah sedang membicarakan sesuatu.Janu lalu melangkah cepat ke ruangannya, berharap segera bertemu dengan Manggala untuk mendapatkan penjelasan.Manggala menoleh saat mendengar suara pintu, lalu berdiri untuk menyambut kedatangan Janu.“Apa yang terjadi?” tanya Janu tanpa basa-basi.Manggala menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ada dua masalah besar. Kau ingin dengar yang mana?”Janu mendudukkan dirinya di atas kursi kerja lalu berkata, “Terserah.”Manggala kemudian mengambil sebuah map kuning. “Ini laporannya. Empat mesin cetak spandek di pabrik alfa meledak tiba-tiba dan mengalami kerusakan serius. Tidak ada korban jiwa, hanya saja, itu membuat produksi spandek terhenti sejak tadi malam dan target pemasiran tidak terpenuhi.”Tentu saja, kabar ini mengejutkan bagi Janu. Selama ini, ia selalu
Prang!Gemintang yang sedang sibuk menyusun menu makan malam hampir kehilangan degup jantungnya karena terkejut.Di waktu yang sama, entah bagaimana caranya piring keramik di hadapan Maura terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai.Pecah berkeping-keping dan berhamburan ke segala arah.Wanita dengan apron hijau yang masih melekat di tubuhnya itu segera mendekat ke arah putrinya.“Maura? Kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.Sementara gadis kecil itu menundukkan kepala dan berkata, “Maaf, Bu. Maura tidak sengaja.”Sejenak Gemintang membuang napas panjang, mengamati pecahan keramik yang tersebar di lantai, lalu mengembalikan pandangan ke arah Maura dan mengusap paha mungilnya dengan pelan.“Tidak apa-apa, Sayang. Ibu tidak marah, yang penting Maura tidak terluka. Lain kali, hati-hati ya. Kamu boleh minta bantuan Ibu kalau kesulitan.”Maura memberikan respon dengan anggukan kepala. Gemintang lantas meminta gadis itu tetap berada di tempatnya dan segera mengambil sapu untuk membersi
Sayangnya sebelum pertanyaan itu terjawab, ketukan pintu bertambah semakin keras, seolah mendesak agar seseorang segera membukanya.Dengan langkah tergesa, wanita berpiyama merah muda itu meletakkan buku di meja, lalu berteriak, “Ya, sebentar!”Pintu terbuka, dan sepasang mata membulat tak percaya saat menangkap sosok Janu di baliknya. Lelaki itu terlihat berbeda dari biasanya. Pakaian kantornya telah berganti dengan pakaian santai, celana pendek dan hoodie hitam. Satu tangannya menusuk saku jaket, sementara yang lain menggenggam sebuah paper bag hijau.Ketika pintu terbuka, sepasang mata Gemintang melebar, beberapa kali ia mengerjap tak yakin saat melihat seorang pria berdiri di hadapannya. Dia tahu, itu Janu, hanya saja lelaki itu datang dengan penampilan yang berbeda. Pakaian kantornya telah berganti dengan celana pendek dan hoodie berwarna hitam. Satu tangannya bersembunyi dalam saku jaketnya, sementara satu tangan yang lain membawa sebuah paper bag berwarna hijau.Dan, benar saj