Gemintang mengawasi kepergian Janu dengan tatapan penuh tanya. Hatinya turut tak tenang melihat suaminya yang begitu tergesa-gesa, bahkan langkah kakinya bergerak cepat sebelum Gemintang memberikan persetujuan.Namun, wanita itu memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu dan memilih membereskan beberapa barang dan pakaian kotor yang perlu dicuci.“Maura, main sendiri dulu, ya? Ibu mau cuci baju yang kotor,” ujar Gemintang, yang dijawab dengan anggukan oleh Maura.Hanya saja, ketika sedang menyortir pakaian, ponsel Gemintang bergetar dari dalam tasnya.Ia lantas bangkit berdiri mengambil ponsel itu dan melihat layar. Ada panggilan video masuk dari Baskara.Gemintang lalu mengusap layarnya untuk menjawab.“Ya, Bas?” tanyanya ketika ponselnya menampilkan Baskara yang tengah duduk di sebuah restoran. Beberapa hari tak bertemu, Gemintang hampir lupa dengan pria itu.“Hai, apa aku sedang mengganggumu? Aku menghubungimu sejak semalam, tetapi sepertinya kau sedang sibuk.” Baskara terlih
Di sisi lain, Janu yang baru saja tiba di kantor, merasakan atmosfir yang berbeda.Para karyawan yang biasanya sibuk dengan rutinitas masing-masing, tampak saling berbisik satu sama lain, seolah sedang membicarakan sesuatu.Janu lalu melangkah cepat ke ruangannya, berharap segera bertemu dengan Manggala untuk mendapatkan penjelasan.Manggala menoleh saat mendengar suara pintu, lalu berdiri untuk menyambut kedatangan Janu.“Apa yang terjadi?” tanya Janu tanpa basa-basi.Manggala menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ada dua masalah besar. Kau ingin dengar yang mana?”Janu mendudukkan dirinya di atas kursi kerja lalu berkata, “Terserah.”Manggala kemudian mengambil sebuah map kuning. “Ini laporannya. Empat mesin cetak spandek di pabrik alfa meledak tiba-tiba dan mengalami kerusakan serius. Tidak ada korban jiwa, hanya saja, itu membuat produksi spandek terhenti sejak tadi malam dan target pemasiran tidak terpenuhi.”Tentu saja, kabar ini mengejutkan bagi Janu. Selama ini, ia selalu
Prang!Gemintang yang sedang sibuk menyusun menu makan malam hampir kehilangan degup jantungnya karena terkejut.Di waktu yang sama, entah bagaimana caranya piring keramik di hadapan Maura terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai.Pecah berkeping-keping dan berhamburan ke segala arah.Wanita dengan apron hijau yang masih melekat di tubuhnya itu segera mendekat ke arah putrinya.“Maura? Kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.Sementara gadis kecil itu menundukkan kepala dan berkata, “Maaf, Bu. Maura tidak sengaja.”Sejenak Gemintang membuang napas panjang, mengamati pecahan keramik yang tersebar di lantai, lalu mengembalikan pandangan ke arah Maura dan mengusap paha mungilnya dengan pelan.“Tidak apa-apa, Sayang. Ibu tidak marah, yang penting Maura tidak terluka. Lain kali, hati-hati ya. Kamu boleh minta bantuan Ibu kalau kesulitan.”Maura memberikan respon dengan anggukan kepala. Gemintang lantas meminta gadis itu tetap berada di tempatnya dan segera mengambil sapu untuk membersi
Sayangnya sebelum pertanyaan itu terjawab, ketukan pintu bertambah semakin keras, seolah mendesak agar seseorang segera membukanya.Dengan langkah tergesa, wanita berpiyama merah muda itu meletakkan buku di meja, lalu berteriak, “Ya, sebentar!”Pintu terbuka, dan sepasang mata membulat tak percaya saat menangkap sosok Janu di baliknya. Lelaki itu terlihat berbeda dari biasanya. Pakaian kantornya telah berganti dengan pakaian santai, celana pendek dan hoodie hitam. Satu tangannya menusuk saku jaket, sementara yang lain menggenggam sebuah paper bag hijau.Ketika pintu terbuka, sepasang mata Gemintang melebar, beberapa kali ia mengerjap tak yakin saat melihat seorang pria berdiri di hadapannya. Dia tahu, itu Janu, hanya saja lelaki itu datang dengan penampilan yang berbeda. Pakaian kantornya telah berganti dengan celana pendek dan hoodie berwarna hitam. Satu tangannya bersembunyi dalam saku jaketnya, sementara satu tangan yang lain membawa sebuah paper bag berwarna hijau.Dan, benar saj
Janu menegakkan tubuhnya, bersandar pada kepala ranjang sebelum menoleh ke arah Gemintang.Istri keduanya itu terlihat sedang mengamatinya dengan tatapan serius. Tanpa Gemintang sadari pula, wajah Janu yang sedari tadi hanya dihiasi raut lelah, kini dihiasi senyum tipis.Ingatan saat Menggala berteriak padanya terputar kembali di kepalanya.Dalam waktu yang sangat singkat itu, ia melihat tumpukan kanal baja mulai berjatuhan ke arahnya. Dengan reflek cepat, ia berhasil menghindar, jika tidak, entah bagaimana nasibnya setelah tertimbun tumpukan kanal tersebut.Ia bertanya-tanya, apakah ia harus memberitahu Gemintang bahwa hari ini ia hampir tidak pulang? Bagaimana reaksi Gemintang jika mengetahui betapa besar hal yang ia alami?Terlebih, insiden itu hampir merenggut nyawanya jika ia terlambat bergerak satu detik saja. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur masih selamat, meski tangan kirinya tergores cukup dalam dan memerlukan penangan medis yang serius. “Hanya luka kecil,” ucap Janu
Drrtt! Suara getar yang berulang dari ponsel memaksa Janu membuka matanya. Ia perlahan menarik lengan yang menjadi alas tidur Gemintang, berusaha agar tidak membangunkannya.Pria itu kemudian meraih benda pipih yang masih bergetar, memicingkan mata sejenak untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang layar. Beberapa panggilan tak terjawab dan pesan masuk menumpuk di sana, tetapi satu nama yang terpampang di layar langsung menarik perhatiannya.“Manggala?” gumamnya pelan.Detik berikutnya, ia melirik ke arah Gemintang yang masih terlelap di sampingnya. Aktivitas panas mereka semalam seketika melintas di benaknya, membuat senyum tipis muncul tanpa disadarinya. Namun, getaran ponsel yang terus berulang kembali meminta perhatian lelaki itu.Janu menghela napas pelan sebelum akhirnya menggeser layar dan menjawab panggilan tersebut.“Untuk apa kau menelponku pagi-pagi begini? Sekarang bahkan baru jam lima,” desisnya begitu panggilan terhubung.Manggala terkekeh pelan dari seberang. “M
Namun, belum sempat ia menginterupsi, Bu Dewi yang mengutarakan niatnya lagi. Bu Dewi berkata, “Kau hanya perlu mengklarifikasi jika ada kekacauan pada pabrik Janu. Bilang pada mereka, bahwa itu semua disebabkan karena standar prosedur yang buruk.”Rosaline terhenyak. Ia bisa saja melakukannya.Bahkan mungkin sekarang para wartawan sedang menunggu informasi darinya. Namun, menyebarkan berita buruk tentang Ferinco hanya akan menambah kekacauan dalam hubungannya dengan Janu!Bagaimana jika pria itu mengetahui dan marah padanya? Ibu mertuanya ini tak memikirkan Rosaline sedikit pun!Wanita itu lantas mengurungkan niatnya untuk menyuap makanannya, lalu menatap Bu Dewi dengan tatapan tegas. “Aku tidak bisa melakukannya,” jawabnya terus terang.Mendapat perlawanan itu, Bu Dewi menyunggingkan senyum tipis. “Kau hanya takut jika Janu marah, bukan? Aku akan membantumu jika dia marah!”Sepasang mata Rosaline hampir berputar malas. Lagi-lagi Bu Dewi mengatakan janji itu. Hela napas panjang melun
Gemintang mengamati wajah ibunya itu yang tersenyum sendu. Bu Ningrum yang mengerti tatapan putrinya lantas menggelengkan kepala. “Tidak, Nak. Ibu tidak berniat menutup toko ini. Ibu hanya berpikir untuk menyerahkannya kepada kamu dan Baskara untuk masalah pengelolaannya, terutama setelah kamu lulus nanti, kamu juga akan jadi pemilik toko ini” ujar wanita berbaju biru muda itu. Bibir Gemintang membulat, merasa keputusan sang ibu berlebihan untuknya. Secara, dirinya hanyalah anak asuh di panti asuhan. “Bu, tapi seharusnya toko ini milik Baskara seorang saja. Gemintang hanya membantu. Tidak seharusnya Gemintang menjadi pemilik toko ini. Gemintang hanya anak—”“Meskipun kamu bukan putri kandung ibu, ibu merasa kamu berhak mendapatkannya. Selama ini, kamu yang membantu ibu di panti, rela mengorbankan masa depanmu untuk anak-anak yang lain. Sekarang, waktunya ibu membalas semuanya.” Bu Ningrum menepuk lengan Gemintang dengan lembut. “Ibu percaya kamu dan Baskara akan mampu menjalankan
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s