Gemintang mengamati wajah ibunya itu yang tersenyum sendu. Bu Ningrum yang mengerti tatapan putrinya lantas menggelengkan kepala. “Tidak, Nak. Ibu tidak berniat menutup toko ini. Ibu hanya berpikir untuk menyerahkannya kepada kamu dan Baskara untuk masalah pengelolaannya, terutama setelah kamu lulus nanti, kamu juga akan jadi pemilik toko ini” ujar wanita berbaju biru muda itu. Bibir Gemintang membulat, merasa keputusan sang ibu berlebihan untuknya. Secara, dirinya hanyalah anak asuh di panti asuhan. “Bu, tapi seharusnya toko ini milik Baskara seorang saja. Gemintang hanya membantu. Tidak seharusnya Gemintang menjadi pemilik toko ini. Gemintang hanya anak—”“Meskipun kamu bukan putri kandung ibu, ibu merasa kamu berhak mendapatkannya. Selama ini, kamu yang membantu ibu di panti, rela mengorbankan masa depanmu untuk anak-anak yang lain. Sekarang, waktunya ibu membalas semuanya.” Bu Ningrum menepuk lengan Gemintang dengan lembut. “Ibu percaya kamu dan Baskara akan mampu menjalankan
Di sisi lain, Janu dan Manggala baru saja kembali dari ruang rapat, suasana tegang dan serius yang menyelimuti diskusi siang itu masih membebani pikiran mereka. Keduanya berharap sofa empuk di ruang direktur bisa menghilangkan sejenak beban yang ada di kepala mereka. Namun, harapan itu hancur ketika sekretaris Janu memasuki ruangan dengan berita mengejutkan.Dalam tablet kerja yang diserahkan sekretaris, tertulis dengan jelas sebuah headline berita: "Standar Prosedur Ferinco Buruk: Rosaline Klarifikasi Mengenai Kekurangan Internal." Kalimat negatif itu paling mencolok. Di antara ribuan artikel lainnya, disertai foto Rosaline yang tersenyum percaya diri kepada para wartawan.Ya, Ferinco kini menjadi buah bibir di media massa."Rosaline...," gumam Janu, nada suaranya menyiratkan kemarahan yang tak bisa lagi ditahan. "Bagaimana dia bisa ceroboh seperti ini!"Manggala yang berada di sampingnya membuang napas panjang. "Ini di luar kendali kita. Dan, dia tahu lebih cepat dari perkiraan."
“A—apa maksudmu?” Rosaline berkata setelah menelan salivanya dengan susah payah. Selama ini, ia berleha-leha karena mengira semua barang bukti yang ia buang telah lenyap.Sialnya, dia yang tidak memikirkan kemungkinan lain!Sementara itu, Janu membuang senyum singkat sebelum kembali melayangkan tatapan elangnya kepada Rosaline. “Kau pikir aku diam, karena tidak tahu perbuatanmu? Kau yang membuat Maura alergi berat dengan kaldu ini! Kau bahkan tega mencelakai seorang anak demi kepuasan sendiri!”Rosaline menggigit bibirnya, mencoba menahan kegugupan yang semakin melanda dirinya. “Kau jangan hanya menyalahkan aku! Aku tidak pernah berniat menyakiti Maura. Aku hanya—” Wanita itu berhenti sejenak, merasa pembelaannya tidak berarti di mata Janu.“Hanya apa?” Segera Janu menimpali, sebelum Rosaline menyambung kalimatnya. “Melampiaskan kekesalanmu terhadap Gemintang?”“Maura sakit bukan salahku sepenuhnya! Gemintang sendiri tidak memperhatikan makanan anaknya! Dia yang selalu tidak ingat w
Emosi Rosaline membuat kamar itu seketika berantakan seperti kapal pecah. Entah berapa banyak botol parfume, bedak, dan lipstik yang jatuh berserakan. Para pembantu di rumahnya sudah berusaha secara maksimal memungut benda-benda yang masih utuh.Sisanya, terbuang percuma dan berakhir di tempat sampah. Meski demikian, rasa puas belum juga mendarat di hati Rosaline. Wanita itu masih kesal.Bagaimana tidak? Di saat seperti ini, Bu Dewi justru tidak ada di rumah. Wanita itu pergi menyelesaikan urusannya sendiri. Dan, jika Rosaline melapor, akankah wanita itu membelanya?Menyebalkan!“Nyonya, kami sudah selesai membereskan kamar,” lapor seorang pembantu yang baru saja menghadapnya, “apakah masih ada hal yang harus kami lakukan?”Rosaline membuang napas panjang. Wanita yang tengah duduk di pinggir kolam renang itu kini meletakkan gelas berisi lemonade. “Siapkan pakaian ganti, aku mau berenang,” ujarnya sebelum bangkit berdiri dan melepas piyama handuknya. Seorang pembantu tadi menganggu
"Maura tidak mau ini!"Gemintang yang baru saja selesai merapikan baju-baju di lemari itu menoleh ke arah putrinya dan menemukan gadis kecil berkuncir dua itu memajukan bibirnya.Jelas sekali, ia terlihat tak bersemangat memainkan boneka baru yang dibelikan Janu tadi malam.Benda itu bahkan sudah jatuh dan tergeletak di sudut ruangan.“Eh, kenapa dilempar-lempar, Sayang?” Gemintang segera memungut boneka itu, lalu mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Dengan lembut, ia mengangkat Maura ke pangkuannya.“Apa Maura tidak suka dengan bonekanya?” tanyanya, lagi.Kali ini, Maura menggeleng seraya merapatkan wajah mungilnya ke dada Gemintang. Dia menjawab pertanyaan ibunya dengan nada tinggi, “Maura kesal karena Ayah belum pulang! Ayah tidak sayang lagi dengan Maura, ya, Bu?”Gemintang lantas membelai rambut Maura dengan lembut, berusaha menenangkan putrinya. “Ayah belum pulang bukan karena tidak sayang, tapi dengan Maura, tetapi karena masih bekerja, mencari uang untuk Maura.”Maura men
Usai membahas beberapa hal bersama Manggala, kedua pria itu tak ingin berdiam lama-lama di perusahaan. Mereka segera pulang ke rumah masing-masing.Janu menghela napas kala sang driver akhirnya memarkir mobil di garasi rumah utama.“Sebelum jam enam pagi, saya harus sudah sampai di kantor, siapkan mobil lebih awal,” katanya mengingatkan sang driver, kemudian bergegas turun dan masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya terdengar berat. Rasa lelah mendera tubuhnya setelah seharian bergelut dengan masalah perusahaan. Dia memang sengaja tidak pulang ke rumah Gemintang malam ini. Ada beberapa hal yang harus ia lakukan.Ketika tiba di ruang tamu langkahnya terhenti ketika melihat Rosaline berdiri di sana sedang memainkan ponselnya.Wanita itu masih mengenakan gaun hitam yang terbuka di bagian dada dan belakang tubuhnya terekspos bebas, sepatu tinggi, juga riasan tebal. Ada aroma alkohol yang familiar di hidung Janu.Apa yang dilakukan Rosaline di sana? Mengapa rasanya sangat asik dengan ga
Sesuai ucapan Bu Dewi, pertemuan komisaris yang diadakan esok harinya berlangsung panas. Para petinggi perusahaan yang hadir dalam rapat sebelumnya—terutama adik kandung Bu Dewi—itu masih mempertahankan pendapat yang sama.Akan tetapi, orang-orang itu tidak tahu, jika Manggala telah diam-diam berdiskusi dengan ayahnya secara empat mata dan meminta agar mendukung usaha mereka. “Saya lalai mendidik istri, sehingga berbicara asal di hadapan media. Saya sudah menegur dan memberinya hukuman,” kata Janu saat rapat mulai berlangsung. “Mengenai hasil rapat kemarin, saya ingin mengajukan peninjauan ulang. Saya tidak bisa menutup pabrik alfa.”Berkat rencana Janu dan Manggala, akhirnya dukungan para komisaris terbelah menjadi dua kubu. Beberapa diantaranya merasa ragu dengan keputusan Janu untuk tetap mempertahankan pabrik alfa, mengingat potensi kerugian yang besar ditengah isu yang sedang berkembang. Namun, tidak sedikit yang percaya pada visinya, terutama setelah melihat pria itu menemuk
Di saat Janu sibuk dengan perusahaan yang sedang penuh kontroversi, Gemintang sudah mulai menempuh pendidikannya di Institut Seni Kuliner.Agar tidak dicurigai oleh orang-orang Janu, Gemintang berangkat ke toko roti milik sang ibu, kemudian menuju ISK bersama Baskara. Beruntung, pembelajaran setiap pertemuannya hanya berlangsung empat jam sehari, sehingga sampai saat ini Gemintang masih bisa menyusun rutinitasnya dengan rapi.“Semoga harimu menyenangkan, Gemintang. Masalah Maura biar ibu yang menjemputnya nanti,” kata Baskara setelah menepikan mobilnya di depan gerbang.Hari ini, dia tidak bisa menjemput Maura sekolah karena jadwal kelas diajukan. Sehingga harus merepotkan Baskara dan ibunya.Gemintang segera mengambil tasnya dan tersenyum ke arah baskara. “Terima kasih, sampaikan maafku pada ibu karena merepotkannya. Tadi, aku juga sudah berpesan kepada Maura dan gurunya kalau hari ini yang menjemput ibu bukan aku.”Sebuah anggukan kecil diberikan Baskara. “Tidak perlu sungkan,” jaw