Janu melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau punya rencana lain?”Sambil meraih cangkir kopi, Manggala tersenyum misterius.Ia mencerup sedikit cairan pekat hitam di dalamnya sebelum berkata, “Kau lihat saja. Setelah ini, akan ada banyak drama di perusahaan Rosaline. Jika kita mencari bidak dan aktor yang membuat permainan ini lebih menarik, maka Lorena lah orangnya.”Manggala meletakkan cangkirnya kemudian menatap Janu dengan wajah serius. “Namun, itu hanya upayaku untuk mengulur waktu, agar Dewi dan Rosaline tidak ikut campur sementara waktu. Lalu kau dan aku bisa fokus pada para bedebah itu, karena cepat atau lambat mereka akan menyerang kita!”Mendengar pendapat sepupunya Janu memijat tulang hidungnya.Ia juga harus melakukan sesuatu, sebab waktunya bersama Gemintang dan Maura hanya tinggal sebentar, selanjutnya mungkin ia akan jarang bersama mereka lagi.***Tidak terasa, hari berjalan begitu cepat. Progress kesembuhan Maura cukup baik, sehingga dia bisa dipulangkan lebih cep
[Ada apa?]Janu mengirim balasan, sesaat kemudian Manggala membalas pesannya.[Ada yang tidak beres dengan pabrik produksi. Kau segeralah ke kantor, aku jelaskan di sana saja.]Janu menaikan alisnya. Pesan terakhir itu mengisyaratkan jika ada hal serius yang terjadi di perusahaannya. Ketika persetujuannya terkirim, Janu lalu melanjutkan langkahnya menuju bagian administrasi untuk mengurus kepulangan Maura.Setelah urusan selesai dan dokter menyatakan bahwa Maura sudah boleh pulang, akhirnya Janu bisa membawa putri dan istrinya keluar dari rumah sakit.Ia lega putrinya bisa pulang lebih awal, tetapi sepanjang perjalanan, pria itu terus memikirkan pesan dari Manggala.Sejak Maura dirawat di rumah sakit, Janu belum sempat mengunjungi kantor.Segala urusan perusahaan ia percayakan kepada Manggala. Janu yakin, sepupunya itu bisa diandalkan dan tidak akan ceroboh dalam menjalankan tugasnya. Namun, pesan tadi membuat hatinya tak tenang.Apa yang terjadi? Hal genting apa yang membuat Mangga
Gemintang mengawasi kepergian Janu dengan tatapan penuh tanya. Hatinya turut tak tenang melihat suaminya yang begitu tergesa-gesa, bahkan langkah kakinya bergerak cepat sebelum Gemintang memberikan persetujuan.Namun, wanita itu memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu dan memilih membereskan beberapa barang dan pakaian kotor yang perlu dicuci.“Maura, main sendiri dulu, ya? Ibu mau cuci baju yang kotor,” ujar Gemintang, yang dijawab dengan anggukan oleh Maura.Hanya saja, ketika sedang menyortir pakaian, ponsel Gemintang bergetar dari dalam tasnya.Ia lantas bangkit berdiri mengambil ponsel itu dan melihat layar. Ada panggilan video masuk dari Baskara.Gemintang lalu mengusap layarnya untuk menjawab.“Ya, Bas?” tanyanya ketika ponselnya menampilkan Baskara yang tengah duduk di sebuah restoran. Beberapa hari tak bertemu, Gemintang hampir lupa dengan pria itu.“Hai, apa aku sedang mengganggumu? Aku menghubungimu sejak semalam, tetapi sepertinya kau sedang sibuk.” Baskara terlih
Di sisi lain, Janu yang baru saja tiba di kantor, merasakan atmosfir yang berbeda.Para karyawan yang biasanya sibuk dengan rutinitas masing-masing, tampak saling berbisik satu sama lain, seolah sedang membicarakan sesuatu.Janu lalu melangkah cepat ke ruangannya, berharap segera bertemu dengan Manggala untuk mendapatkan penjelasan.Manggala menoleh saat mendengar suara pintu, lalu berdiri untuk menyambut kedatangan Janu.“Apa yang terjadi?” tanya Janu tanpa basa-basi.Manggala menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ada dua masalah besar. Kau ingin dengar yang mana?”Janu mendudukkan dirinya di atas kursi kerja lalu berkata, “Terserah.”Manggala kemudian mengambil sebuah map kuning. “Ini laporannya. Empat mesin cetak spandek di pabrik alfa meledak tiba-tiba dan mengalami kerusakan serius. Tidak ada korban jiwa, hanya saja, itu membuat produksi spandek terhenti sejak tadi malam dan target pemasiran tidak terpenuhi.”Tentu saja, kabar ini mengejutkan bagi Janu. Selama ini, ia selalu
Prang!Gemintang yang sedang sibuk menyusun menu makan malam hampir kehilangan degup jantungnya karena terkejut.Di waktu yang sama, entah bagaimana caranya piring keramik di hadapan Maura terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai.Pecah berkeping-keping dan berhamburan ke segala arah.Wanita dengan apron hijau yang masih melekat di tubuhnya itu segera mendekat ke arah putrinya.“Maura? Kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.Sementara gadis kecil itu menundukkan kepala dan berkata, “Maaf, Bu. Maura tidak sengaja.”Sejenak Gemintang membuang napas panjang, mengamati pecahan keramik yang tersebar di lantai, lalu mengembalikan pandangan ke arah Maura dan mengusap paha mungilnya dengan pelan.“Tidak apa-apa, Sayang. Ibu tidak marah, yang penting Maura tidak terluka. Lain kali, hati-hati ya. Kamu boleh minta bantuan Ibu kalau kesulitan.”Maura memberikan respon dengan anggukan kepala. Gemintang lantas meminta gadis itu tetap berada di tempatnya dan segera mengambil sapu untuk membersi
Sayangnya sebelum pertanyaan itu terjawab, ketukan pintu bertambah semakin keras, seolah mendesak agar seseorang segera membukanya.Dengan langkah tergesa, wanita berpiyama merah muda itu meletakkan buku di meja, lalu berteriak, “Ya, sebentar!”Pintu terbuka, dan sepasang mata membulat tak percaya saat menangkap sosok Janu di baliknya. Lelaki itu terlihat berbeda dari biasanya. Pakaian kantornya telah berganti dengan pakaian santai, celana pendek dan hoodie hitam. Satu tangannya menusuk saku jaket, sementara yang lain menggenggam sebuah paper bag hijau.Ketika pintu terbuka, sepasang mata Gemintang melebar, beberapa kali ia mengerjap tak yakin saat melihat seorang pria berdiri di hadapannya. Dia tahu, itu Janu, hanya saja lelaki itu datang dengan penampilan yang berbeda. Pakaian kantornya telah berganti dengan celana pendek dan hoodie berwarna hitam. Satu tangannya bersembunyi dalam saku jaketnya, sementara satu tangan yang lain membawa sebuah paper bag berwarna hijau.Dan, benar saj
Janu menegakkan tubuhnya, bersandar pada kepala ranjang sebelum menoleh ke arah Gemintang.Istri keduanya itu terlihat sedang mengamatinya dengan tatapan serius. Tanpa Gemintang sadari pula, wajah Janu yang sedari tadi hanya dihiasi raut lelah, kini dihiasi senyum tipis.Ingatan saat Menggala berteriak padanya terputar kembali di kepalanya.Dalam waktu yang sangat singkat itu, ia melihat tumpukan kanal baja mulai berjatuhan ke arahnya. Dengan reflek cepat, ia berhasil menghindar, jika tidak, entah bagaimana nasibnya setelah tertimbun tumpukan kanal tersebut.Ia bertanya-tanya, apakah ia harus memberitahu Gemintang bahwa hari ini ia hampir tidak pulang? Bagaimana reaksi Gemintang jika mengetahui betapa besar hal yang ia alami?Terlebih, insiden itu hampir merenggut nyawanya jika ia terlambat bergerak satu detik saja. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur masih selamat, meski tangan kirinya tergores cukup dalam dan memerlukan penangan medis yang serius. “Hanya luka kecil,” ucap Janu
Drrtt! Suara getar yang berulang dari ponsel memaksa Janu membuka matanya. Ia perlahan menarik lengan yang menjadi alas tidur Gemintang, berusaha agar tidak membangunkannya.Pria itu kemudian meraih benda pipih yang masih bergetar, memicingkan mata sejenak untuk menyesuaikan diri dengan cahaya terang layar. Beberapa panggilan tak terjawab dan pesan masuk menumpuk di sana, tetapi satu nama yang terpampang di layar langsung menarik perhatiannya.“Manggala?” gumamnya pelan.Detik berikutnya, ia melirik ke arah Gemintang yang masih terlelap di sampingnya. Aktivitas panas mereka semalam seketika melintas di benaknya, membuat senyum tipis muncul tanpa disadarinya. Namun, getaran ponsel yang terus berulang kembali meminta perhatian lelaki itu.Janu menghela napas pelan sebelum akhirnya menggeser layar dan menjawab panggilan tersebut.“Untuk apa kau menelponku pagi-pagi begini? Sekarang bahkan baru jam lima,” desisnya begitu panggilan terhubung.Manggala terkekeh pelan dari seberang. “M