“Janu-janu ... seacuh apa pun sikapmu padanya, tetap tidak bisa menutupi bahwa cinta juga bersemi dalam hatimu,” gumam Manggala memperhatikan kebodohan sepupunya itu.Bagaimana bisa Janu hebat dalam pekerjaan, tapi masalah hati sebebal ini? Dinasehati pun, tak mau mendengar. Rasanya, Manggala butuh teman curhat!Manggala menghela napas. Pikirannya jadi ke mana-mana.Lebih baik, Manggala pergi dan menyelesaikan tugas dari sepupunya itu sajalah! Apa yang sebenarnya membuat Maura, keponakan kecilnya, sampai alergi parah begini!Sementara itu.... Ketika Janu memasuki ruang rawat, dia membeku sejenak di ambang pintu. Tatapannya tertuju pada Gemintang yang duduk di kursi, matanya terpejam rapat. Tangan Gemintang menggenggam tangan Maura yang terbaring di brankar dengan penuh keteguhan, seolah tidak akan melepaskannya.Rambut Gemintang tergerai acak, beberapa helai menutupi wajahnya yang tampak pucat dan lelah. Wajahnya terlihat lebih letih dari biasanya. Janu merasakan sesak di dadanya,
Gemintang merenung beberapa saat. Kalimat Janu barusan membuatnya dilema.Sekarang dia harus memilih yang mana? Gemintang tak ingin semakin jauh dari putrinya. Namun, di sisi lain, tekadnya sudah mantap untuk bercerai dari Janu, ia juga terlanjur mengikuti seleksi dan berharap bisa lolos kualifikasi.Ia sudah memulai semua perjuangannya, mana mungkin menyerah secepat itu?“Aku tidak ingin berhenti bekerja,” jawab Gemintang setelah terdiam beberapa saat.Hal itu tentu membuat Janu menekuk dahinya. Entah mengapa istri keduanya yang penurut itu tiba-tiba menjadi keras kepala. Janu lalu menyorotnya dengan tatapan datar. “Kalau begitu jangan salahkan jika Maura terus berhubungan dengan Rosaline. Kau sendiri yang memilih jalan ini.” “Rosaline tidak perlu repot-repot mengurus Maura, aku bisa melakukannya,” balas Gemintang penuh percaya diri.“Kau sangat percaya diri bisa melakukan keduanya. Apa kau tidak belajar dari kesalahan?”“Tetapi aku juga butuh pekerjaan ini, Mas. Kau sendiri yang
Hingga Gemintang terlelap, pria itu tidak terlihat lagi.Entah ke mana perginya Janu semalam.Namun anehnya ketika terbangun keesokan harinya, Gemintang baru menyadari jika sebuah selimut sedang membelit tubuhnya.Segera ia menoleh ke sekeliling dan menemukan sang suami sedang terbaring di sofa di samping brankar. Ada beberapa berkas yang tertumpuk di meja, dan layar laptop yang masih menyala membuat Gemintang menekuk dahinya. Mungkinkah Janu begadang semalam suntuk dan baru tidur pagi ini?Di saat yang sama, ia merasakan pergerakan pada brankar. Ternyata, Maura juga bangun. Gemintang lantas mengembalikan perhatiannya pada gadis kecil itu.“Hei, anak ibu sudah bangun?” sapa Gemintang sambil melipat selimut yang ia gunakan.Namun, anak itu tidak menggubrisnya dan menyebutkan hal lain yang mampu membuat Gemintang perih. “Ayah! Maura mau dengan Ayah saja!”Gemintang tersenyum tipis. Rasa bersalah kembali bermukim dalam dadanya. “Ayah sedang tidur. Maura mau apa, hm? Ibu bisa ambilkan,”
Setelah berkata demikian, Janu terlelap di pundak Gemintang.Pria itu tidak memedulikan apa pun, bahkan tidak khawatir jika ada orang lain yang melihatnya dalam posisi seperti ini.Tanpa sadar, sebuah senyum tipis muncul di bibir Gemintang ketika mendengar napas teratur suaminya.“Aku tidak tahu apa maksud hatimu yang sesungguhnya,” ujarnya dalam hati.Terkadang, nada bicara Janu terdengar datar dan dingin, tempramennya buruk, tetapi di saat tertentu pria itu juga memperhatikannya dengan cara yang tidak terduga seperti menyuapinya semalam, dia juga masih sempat manja dengan Gemintang seperti ini.“Kau mengaku tidak memiliki perasaan denganku, tetapi mengapa kau masih peduli padaku?” Gemintang bertanya lagi dalam hati, tak berani mengungkapkannya.Namun, senyum itu perlahan memudar ketika Gemintang menyadari bahwa ada jarak yang jelas di antara mereka saat ini.“Aku selalu berusaha membencimu, tetapi setiap kita berdua seperti ini, hatiku selalu menghangat karena perlakuanmu.” Lagi-lag
Sementara Manggala melancarkan aksinya, Gemintang sedang berbincang dengan Maura sambil menyuapinya ransum yang telah disiapkan oleh rumah sakit.Berkat Janu, hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya. Maura kini sudah ingin bicara pada ibunya itu.Gemintang sendiri memaklumi emosi putrinya. Maura masih anak kecil yang belum paham, sehingga mudah terprovokasi dan dipengaruhi.Anak seusianya bisa mengatakan hal yang menyakitkan jika dihasut oleh orang lain, tidak mungkin ia memiliki pemikiran demikian dengan sendirinya."Bu, Maura tidak bisa makan lagi," ujar gadis itu sambil menolak suapan dari Gemintang. Kedua tangannya bergerak menutup mulutnya sendiri. "Maura mau muntah."Gemintang kemudian menaruh piring dan mengusap punggung Maura. "Baiklah, tidak apa-apa. Makan sebisanya dulu, tidak harus dihabiskan."Setelah memastikan Maura bisa menelan suapan terakhir, Gemintang memberikan segelas air hangat kepada putrinya. Maura menatap lesu piring yang telah diletakkan Gemintang di
Untungnya, jarak kantin rumah sakit dengan ruangan Maura tak begitu jauh.Gemintang hanya perlu turun ke lantai satu menggunakan lift untuk sampai di kafetaria.Ketika tiba di tempat yang tidak terlalu ramai itu, matanya segera menangkap sosok pria berkaos hitam yang duduk di sudut ruangan.Ada dua cangkir minuman sudah tersaji di hadapannya. Janu, tampak asyik berkutat dengan laptop dan beberapa berkas, sehingga tak menyadari kedatangannya.Tuk!Gemintang mengetuk meja, membuat Janu akhirnya menghentikan aktivitasnya. Beberapa saat ia terdiam, matanya tak berkedip saat mengamati penampilan istri keduanya itu."Mas?" Gemintang mengibaskan tangannya di depan wajah Janu, membuyarkan lamunan pria itu.Janu terkesiap, tetapi belum juga menjual ekspresi apa pun, hanya berkata, "Duduklah."Gemintang menurut dan duduk di hadapan suaminya. Pria itu kemudian menggeser secangkir teh hangat ke arah Gemintang.Sementara Gemintang yang baru saja melepas tas selempangnya, sejenak menikmati aroma te
Janu menatap dalam sepasang mata Gemintang. Itulah satu-satunya pilihan yang dapat dia berikan.Mungkin terdengar berlebihan, tetapi menjauhkan Maura dari Rosaline dengan mendekatkannya pada Gemintang adalah langkah terbaik.Meskipun Rosaline mencoba untuk mengganggu, Gemintang dapat melindunginya—bahkan tanpa Janu di sisinya.Selama dua minggu itu, Janu hanya berharap hubungan antara Gemintang dan putri mereka bisa pulih sepenuhnya.“Bagaimana kalau satu minggu saja?” Gemintang memberikan penawaran tetapi Janu tetap memberikan gelengan. “Dua minggu tetap dua minggu,” katanya seolah tak ingin dibantah.“Tapi, Mas—”“Kau sendiri yang bilang merasa jauh dari Maura, sekarang aku memberikan kalian waktu berdua, kau malah menolaknya?”Gemintang membuang napas pasrah, kedua bahunya tampak melemas. “Baiklah, aku akan ambil cuti dua minggu.”Sesaat kemudian yang tercipta diantara keduanya hanyalah keheningan. Hanya suara musik juga riuh beberapa orang dalam kafetaria itu.***Di tempat lain
Tak lama, mobil jemputan tiba. Meski Bu Dewi ingin langsung pergi ke rumah sakit, namun, pada akhirnya, ibu tiri Janu itu mengikuti kemauan sang menantu agar pulang lebih dulu.Hanya saja, setibanya di rumah, Bu Dewi dibuat bingung saat melihat Rosaline sibuk memeriksa tempat sampah khusus botol di dapur yang ternyata sudah kosong. Tak hanya itu, Rosaline juga tampak menggeledah seluruh kabinet di sekitarnya, seolah sedang mencari sesuatu.“Apa sebenarnya yang kamu cari, Rosaline?” tanya Bu Dewi, mulai merasa tak sabar dengan ketidakjelasan itu.Rosaline berdiri dan memutar tubuhnya menghadap Dewi. “Sebentar, Bu. Aku harus tahu ke mana perginya botol-botol di sini,” ujarnya lalu memanggil salah satu bibi, membuatnya semakin bingung.Namun, wanita itu memilih untuk menahan diri dan tidak berkomentar lebih jauh.“Bi, ke mana botol-botol di sini?” tanya Rosaline saat pelayan rumahnya datang.“Oh, maaf, Nyonya. Botol-botol itu sudah diangkut truck sampah tadi pagi,” jawab wanita muda itu
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s