"Aku ... aku tidak mau di sini, Mbak. Kalau memang mbak mengizinkan aku untuk bekerja di sana, aku akan lakukan. Aku akan menjadi anak yang baik dan berjanji akan memberikan prestasi yang baik pula."Lusi menaikkan sebelah alisnya. Dia melipat tangan di depan dada, ingin tahu apakah adiknya ini benar-benar tulus dengan ucapannya. "Kamu yakin?"Maura dengan cepat mengangguk. "Aku yakin. Aku tidak mau terus-terusan dipaksa untuk menikah dengan rentenir itu. Walaupun tidak dipaksa menikah, pasti ayah menyuruhku untuk mencari uang. Bahkan aku pernah hampir saja dijual." Lusi langsung terperanjat. Dia menegakkan punggung, kaget dengan perkataan Maura barusan. Dalam hati Lusi merutuki sepasang suami istri itu. Bu Sinta yang memang ibu kandung, harusnya mencegah semua itu terjadi. Tetapi ternyata malah seperti ini. Bu Sinta digelapkan dengan materi dan uang, sampai rela menjual anaknya sendiri. "Tapi kamu tidak jadi dijual, kan?" tanya Lusi memastikan. "Alhamdulillah, tidak. Karena waktu
"Aku ... aku ikut dengan Mbak," ucap Maura, nadanya terdengar sedih. Dia juga sampai menunduk. Mungkin pilihan sulit karena Lusi menginginkan Maura untuk tidak membicarakan tentang Mila, tetapi sepertinya gadis itu tidak punya pilihan lain. Jika di sini, sama saja dengan kembali masuk ke lubang neraka. "Baiklah kalau begitu. Pak, jalan," ucap Lusi kepada sopir itu. Selama perjalanan, Maura hanya terdiam dan memandangi jalanan dari jendela. Dia benar-benar tidak menyangka kalau hidupnya seperti ini, memperjuangkan Mila malah terjebak dalam situasi yang sulit. Jika Maura kembali kepada kedua orang tua itu, maka kehidupannya benar-benar akan menderita. Tidak ada lagi situasi belajar yang tenang. Bahkan, Maura pasti akan terus-terusan dijadikan sapi perah untuk lunasi utang-utang Ayah tirinya yang begitu banyak. Entah sudah berapa lama, Maura melamun, sampai dia pun terlelap. Lusi yang melihatnya pun tersenyum kecil. Dalam hati Lusi benar-benar meminta maaf kepada Maura, karena sudah
Apa yang Ibu lakukan di sini?!" tanya Lusi dengan nada tinggi. Dia tidak suka dengan kehadiran Ibu mertuanya, apalagi sampai cekcok dengan Bu Murni yang sudah jelas-jelas orang baik bagi Lusi. Wanita paruh baya itu berkacak pinggang sembari melotot."Ibu mau menjemput Alia." Tentu saja Lusi kaget mendengar ucapan itu. Sang wanita langsung memasang badan, berdiri di depan Bu Murni untuk menghadapi Ibu mertuanya yang tak tahu diri itu. "Untuk apa Ibu mau mengambil Alia? Dia itu anakku.""Dia juga anak Raka!" "Tapi Ibu tidak punya hak untuk mengambil Alia." "Kenapa tidak berhak?" "Karena Ibu hanya neneknya dan sebentar lagi akan menjadi mantan mertuaku," ucap Luci akhirnya dengan berani. Setelah sekian lama wanita itu hanya diam dan menerima semua perlakuan mertuanya. Kali ini Lusi pun berani untuk mengungkapkan semua pemikiran dan perasaannya. Dia tidak mau dijadikan sapi perah, ATM berjalan atau budak bagi Ibu mertuanya itu. Karena semuanya hampir berakhir. Jadi, untuk apa Lusi
"Oh, gitu? Kalau misalkan Ibu ingin mengambil Alia, kembalikan semua uang yang aku berikan kepada Ibu."Wanita paruh baya itu tiba-tiba saja pucat. Ada kekagetan yang begitu kentara di sana. Dia tahu apa yang dimaksud Lusi. Hanya saja wanita paruh baya itu tidak menyangka kalau menantunya ini bisa berkata seperti itu. Sang Ibu memang sering meminta uang dalam jumlah banyak, karena dia pikir Lusi itu terlalu baik sampai bisa diperas sedemikian rupa.Ibu mertua juga sengaja menyetujui permintaan Raka untuk menikahi Lusi, sebab tahu kalau Lusi itu orang kaya raya dan juga terlalu baik. Jadi bisa dimanfaatkan. Tetapi ternyata dia tidak mengira kalau Lusi bisa berubah drastis seperti ini karena pengkhianatan anaknya. Jika dia disuruh membayar semua uang yang diberikan oleh Lusi, tentu saja itu terlalu banyak. Mungkin sang Ibu juga harus menggadaikan sertifikat rumah untuk membayar utangnya, itu pun tidak cukup. "Kenapa diam saja, Bu? Ayo berbicara! Aku akan izinkan Ibu mengasuh Alia, tap
"Aku tidak mau sampai kembali lagi kepada Mas Raka, Bu. Bagaimanapun Mas Raka itu sudah membuat aku sakit hati. Rasanya tidak mungkin kalau harus menjalin rumah tangga lagi dengan Mas Raka. Terlebih Mila sedang hamil." Bu Murni mengusap pundak Lusi. Dia merasa kasihan kepada wanita ini. Sudah yatim piatu, disakiti suaminya, hartanya juga hampir saja dirampas. Untung saja Lusi dengan cepat mengambil alih semua yang dimilikinya selama ini. "Iya, Ibu tahu. Maka dari itu kamu harus mencari cara bagaimana agar Alia itu tidak jatuh kepada Ibu mertuamu. Sepertinya Ibu mertuamu itu tidak benar-benar menyayangi Alia. Dia hanya ingin menjadikan Alia sebagai alat agar kamu bisa kembali kepada Raka," papar Bu Murni.Lusi pun setuju dengan wanita paruh baya itu. Sekarang dia benar-benar harus serius menghadapi semua ini, mumpung Raka dan Mila masih dipenjara. Jadi, wanita itu bisa menyusun strategi yang lainnya. "Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ucap Pak Bara, tiba-tiba saja bergabung dala
"Memang tidak akan semudah yang dikira, Nak Lusi. Tetapi kalau kamu tidak bertindak, maka kemungkinan Alia dibawa oleh Ibu mertuamu itu akan semakin besar," ucap Pak Bara memberikan keterangan. "Betul apa yang dikatakan oleh Pak Bara. Kalau kamu diam saja, maka tidak menutup kemungkinan Ibu mertuamu itu akan datang dan kembali mengambil Alia. Kalau misalkan tidak ada yang menjaganya, bagaimana? Lebih parahnya lagi dia mungkin saja datang ke sekolah untuk mengambil Alia," tambah Bu Murni yang membuat Lusi takut. Dia benar-benar tidak berpikir jauh ke arah sana, karena terfokuskan pada Mila, Raka dan juga Maura. Sekarang wanita itu kembali memijat pelipisnya yang berdenyut. Kalau sudah seperti ini, dia benar-benar butuh bantuan orang banyak. Tetapi yang ada hanya Bu Murni dan Pak Bara saja. "Jadi, sebaiknya kita ke pengadilan?" "Benar, kamu bisa mengajukan gugatan perceraian dari sekarang. Apakah surat nikah kamu dan Raka masih ada?" Lusi pun langsung menganggukkan kepala. Tanpa be
"Memang ada apa, Lusi? Kenapa kamu terlihat marah?""Sebelum aku ke sini pun, aku memang sudah marah kepadamu, Mas. Merasa jijik karena kamu sudah berani-berani melakukan hal kotor seperti itu bersama Mila. Sudahlah! Dengarkan aku, tolong bilang kepada ibumu jangan ganggu Alia." Raka terlihat mengernyit dan alis bertautan. Dia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Lusi."Apa maksudmu? Memangnya kenapa dengan Ibu?" Wanita itu mendengkus kasar. Dia memalingkan wajah sejenak, lalu kembali menatap suaminya dengan nyalang. "Ibumu datang kepadaku dan memaksa Alia untuk ikut dengannya. Alia sampai trauma dan terus-terusan menangis karena ketakutan kepada neneknya sendiri. Apa kamu tahu apa yang dilakukan ibumu?" Kontan Raka menggelengkan kepala. "Dia bilang akan menahan Alia sampai aku benar-benar bisa membebaskanmu dan tidak bisa bercerai denganmu." Tubuh pria itu menegang. Dia kaget mendengar perkataan dari istrinya. Ada ketidakpercayaan dari wajah itu, tetapi memang kenyataanny
"Aku tidak bisa membebasan kamu, Mas," ucap Lusi dengan tegas. "Kenapa?" "Ini memang harusnya menjadi tempatmu, Mas." "Kenapa kamu seperti ini? Kamu itu adalah orang penyabar dan baik hati." "Itu dulu saat aku belum disakiti olehmu, Mas," timpal Lusi dengan nada penuh penekanan. Raka tampak sedih. Dia benar-benar menyesal. Kalau Lusi akan berubah drastis seperti ini, Raka tidak akan pernah terlintas sedikit pun untuk berkhianat kepada wanitanya. Dia menginginkan Lusi yang dulu, seorang wanita yang benar-benar sabar dan baik hati. Tidak tega dan jahat seperti ini."Aku tahu kamu sakit hati kepadaku, Lus. Tetapi kamu tidak boleh dendam dan membuat hatimu menjadi buruk. Kamu adalah orang yang baik hati. Aku tidak mau sampai mengubahmu menjadi seseorang yang jahat seperti ini," ungkap Raka dengan setulus hati.Dia hanya menginginkan Lusi kembali. Jika pun Raka harus mendekam di penjara ini dan tidak punya pilihan lain, harusnya Lusi itu tetap menjadi wanita yang terpuji. Seperti dulu
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,