"Memang ada apa, Lusi? Kenapa kamu terlihat marah?""Sebelum aku ke sini pun, aku memang sudah marah kepadamu, Mas. Merasa jijik karena kamu sudah berani-berani melakukan hal kotor seperti itu bersama Mila. Sudahlah! Dengarkan aku, tolong bilang kepada ibumu jangan ganggu Alia." Raka terlihat mengernyit dan alis bertautan. Dia tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Lusi."Apa maksudmu? Memangnya kenapa dengan Ibu?" Wanita itu mendengkus kasar. Dia memalingkan wajah sejenak, lalu kembali menatap suaminya dengan nyalang. "Ibumu datang kepadaku dan memaksa Alia untuk ikut dengannya. Alia sampai trauma dan terus-terusan menangis karena ketakutan kepada neneknya sendiri. Apa kamu tahu apa yang dilakukan ibumu?" Kontan Raka menggelengkan kepala. "Dia bilang akan menahan Alia sampai aku benar-benar bisa membebaskanmu dan tidak bisa bercerai denganmu." Tubuh pria itu menegang. Dia kaget mendengar perkataan dari istrinya. Ada ketidakpercayaan dari wajah itu, tetapi memang kenyataanny
"Aku tidak bisa membebasan kamu, Mas," ucap Lusi dengan tegas. "Kenapa?" "Ini memang harusnya menjadi tempatmu, Mas." "Kenapa kamu seperti ini? Kamu itu adalah orang penyabar dan baik hati." "Itu dulu saat aku belum disakiti olehmu, Mas," timpal Lusi dengan nada penuh penekanan. Raka tampak sedih. Dia benar-benar menyesal. Kalau Lusi akan berubah drastis seperti ini, Raka tidak akan pernah terlintas sedikit pun untuk berkhianat kepada wanitanya. Dia menginginkan Lusi yang dulu, seorang wanita yang benar-benar sabar dan baik hati. Tidak tega dan jahat seperti ini."Aku tahu kamu sakit hati kepadaku, Lus. Tetapi kamu tidak boleh dendam dan membuat hatimu menjadi buruk. Kamu adalah orang yang baik hati. Aku tidak mau sampai mengubahmu menjadi seseorang yang jahat seperti ini," ungkap Raka dengan setulus hati.Dia hanya menginginkan Lusi kembali. Jika pun Raka harus mendekam di penjara ini dan tidak punya pilihan lain, harusnya Lusi itu tetap menjadi wanita yang terpuji. Seperti dulu
Raka terlihat berjalan gontai hendak memasuk kembali ke sel tahanannya. Raka benar-benar menangis. Kalau tidak malu, pria itu pasti akan berguling-guling dan menjerit memanggil Lusi. Dia hanya menginginkan wanitanya kembali, tetapi lagi-lagi semua sesal itu tidak ada gunanya. Lusi saat ini sudah sangat membenci Raka. Beribu harapan pun hanya bisa menggantung saja, tanpa pernah tercapai sekalipun. Baru juga beberapa langkah keluar dari tempat besuk, tiba-tiba saja penjaga napi kembali memanggil. Katanya ada seseorang yang ingin bertemu Raka. Pria itu terkesiap, wajahnya tampak kaget. Dia pikir itu adalah Lusi, dengan cepat pria itu pun kembali datang untuk bertemu wanitanya. Namun senyuman itu seketika luntur saat tahu siapa yang menemuinya. Itu adalah ibunya. Seseorang yang membuat Raka lagi-lagi harus menderita. Dari dulu ibunya itu memang materialistis. Bahkan sebelum Raka mengenal Lusi, ibunya selalu menuntut harta apa pun yang dimiliki oleh Raka. Setiap gajian, Raka selalu memb
"Jadi, maksud Ibu aku harus membayar semua pengeluaran yang Ibu berikan kepadaku untuk membebaskanku dari sini, begitu?" "Benar sekali, Raka. Ibu tidak mau sampai rugi. Apalagi barang-barang itu mahal. Ada yang belasan juta dan puluhan juta. Jadi mana mungkin Ibu begitu saja mengeluarkan uang-uang itu, apalagi semuanya minta dari Lusi. Belum tentu setelah ini Lusi bisa memberikan semuanya kepada ibu, kan?" Raka terperangah. Dia tersenyum miris sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa Ibu perhitungan sekali kepadak? Bukakan kalau aku kembali lagi kepada Lusi, Ibu juga akan mendapatkan semuanya, kan? Lalu kenapa harus mengganti apa yang dikeluarkan sekarang?" Tentu saja Raka mempertanyakan semua itu. Bukankah memang sewajarnya jika seorang ibu memberikan pengorbanan yang begitu banyak kepada anaknya? Termasuk materi. Tetapi kenapa ibunya Raka malah seperti ini? Seolah-olah wanita paruh baya itu sedang memberikan hutang piutang kepada Raka. Benar-benar membuat Raka merasa miris.
"Kenapa diam saja? Benar kan perkataan ibu? Kamu sih apa-apa tidak pernah bilang sama ibu. Lagian Kamu itu kenapa sih sampai seperti ini, Raka? Memang Lusi itu kurangnya apa?" tanya ibunya sembari mamangku dagu. Dia ingin tahu saja apa yang dipikirkan oleh Raka. Padahal jelas dari segi manapun Lusi itu lebih baik daripada Mila. Hanya saja mungkin Mila itu terlalu berani untuk memakai pakaian yang terbuka, berbeda sekali dengan Lusi. Tetapi ibunya juga yakin kalau Lusi itu lebih cantik jika berpakaian terbuka juga di depan Raka.Raka mengguyar rambutnya dengan kasar. Dia juga benar-benar frustrasi memikirkan alasan dirinya berselingkuh. Awalnya pria itu hanya iba saja kepada Mila, karena tahu kehidupan Mila yang memprihatinkan. Tetapi semakin ke sini dia merasa nyaman berinteraksi dengan Mila. Apalagi wanita itu terlalu berani mendekatinya yang tidak lain agresif, sampai dia akhirnya tergoda.Imannya waktu itu benar-benar lemah. Raka tidak memikirkan efek apa yang akan didapatkannya j
Pak Bara terdiam sejenak. Melihat bagaimana ekspresi Bu Sinta saat ini, sang paruh baya itu yakin kalau Bu Sinta itu sebenarnya tahu perihal gugatan perceraian yang akan diajukan oleh Lusi kepada Raka, mengingat Bu Sinta sendiri yang meminta Lusi untuk tidak menceraikan Raka saat hendak membawa Alia pergi.Namun, pria paruh baya itu tidak mau berdebat. Bakalan panjang urusannya jika harus ada mulut dengan wanita seperti Bu Sinta. Jadi, pria itu pun memilih untuk menjelaskan inti permasalahan agar tujuannya kali ini cepat selesai. Dia benar-benar tidak betah jika harus berdekatan dengan Bu Sinta. Entah bagaimana nasib Raka bisa memiliki Ibu seperti Bu Sinta. "Begini, Bu. Saya yakin Ibu pasti mendengar dari Raka atau mungkin dari Lusi sendiri, kalau Lusi itu memang akan mengajukan gugatan cerai untuk Raka." Mendengar itu Bu Sinta langsung mendengkus kesal. Bahkan wanita paruh baya itu melipat tangan di depan dada, tampak sekali kalau dia arogan dan tidak mau menyetujui semua perkataan
"Baiklah kalau begitu. Nanti saya akan sampaikan kepada Lusi. Mungkin hanya itu saja yang ingin saya sampaikan, lalu satu lagi, Bu. Lusi menitipkan amanat untuk berbicara serius dengan Ibu masalah Alia," ucap Pak Bara, kali ini wajah pria itu benar-benar serius, tidak lagi tampak santai seperti sebelumnya. "Memangnya apa? Kenapa dengan Alia?" tanya Bu Sinta sembari mendelik. Dia benar-benar kesal dengan ekspresi Pak Bara saat ini, seolah kalau dia ini adalah musuh yang harus dijauhi. "Lusi berkata, kalau misalkan Bu Sinta kembali berencana untuk menculik Alia, maka dipastikan Bu Sinta akan mendekam di penjara sekaligus menagih hutang-hutang yang Lusi berikan kepada Ibu selama ini."Tubuh wanita paruh baya itu langsung menegang di tempat. Dia langsung merasa terpojokkan dan terancam. Baru kali ini melihat kalau Lusi begitu jahat kepadanya. Padahal sebelumnya Lusi sangat perhatian. Tidak sedikit pun Lusi membantah perintah dari Bu Sinta. Inilah mungkin yang disebut membangunkan sisi
"Bagaimana, Pak? Bagaimana tanggapan Ibu, Pak?" tanya Lusi saat Pak Bara sudah sampai rumahnya. Dia benar-benar penasaran dan ingin tahu sekali bagaimana reaksi dari Bu Sinta. Sebenarnya Lusi ingin sekali bertemu langsung dengan Bu Sinta dan membicarakan masalah harta gono-gini beserta perceraian dengan Raka. Tetapi masalahnya Lusi pasti akan emosi mengingat bagaimana perlakuan Ibu mertuanya kepada Alia. Apalagi sekarang Alia masih trauma dan kepikiran tentang perlakuan neneknya yang menarik tangan Alia dengan paksa, sampai anak itu meringis kesakitan. Jadi dia memilih untuk mengutus Pak Bara menemui Bu Sinta. Ini bentuk dari sopan santunnya kepada Bu Sinta agar tidak terjadi pertengkaran hebat di antara dirinya dan sang mertua. Pak Bara terlihat menghela napas panjang. Dia menatap Lusi dengan iba. Kasihan sekali anak sahabatnya ini, harus mendapat nasib yang buruk. Suami selingkuh, hartanya hampir saja dirampas oleh Raka. Lalu mendapat mertua yang seperti itu, benar-benar membuat L
"Kalau gitu, kenapa Mas masih bertahan? Tinggalin saja Mbak Mila," ucap Maura dengan frontal, membuat pria itu langsung menoleh.Bahkan Raka sampai menawarkan kedua alisnya. "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kan kamu tahu kalau Mila itu sedang mengandung anakku," elak Raka tiba-tiba saja dengan tatapan mengintimidasi, membuat Maura seketika ciut.Namun dengan niat yang penuh dengan rasa dendam, Maura berusaha untuk memberanikan diri, meracuni pikiran Raka agar bisa melepaskan Mila.Biar saja kakaknya itu sengsara. Anak yang ada dalam kandungan juga harus merasakan sengsara. Karena dia tidak terima kalau kehidupan Mila dan turunannya itu bahagia, sementara dia mendapatkan trauma yang begitu dalam di masa lalu. Tidak, Maura tidak pernah ikhlas dengan semua itu. "Iya, aku tahu, sih, Mas. Bukan maksudku buruk. Tapi, kasihan aja sama Mas. Apalagi sama Ibu Mas. Walaupun memang orang tua bersikap buruk, tapi tidak seharusnya dibalas dengan buruk juga, kan? Kalau aku jadi Mbak Mila, itu le
"Tidak, aku tidak pernah bermaksud seperti itu.""Lalu, kata-kata tadi apa, Mas?" tanya Maura. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini, karena semua perkataan Raka itu terus terngiang-ngiang di telinganya. "Begini, dengarkan aku baik-baik. Aku kasihan kepadamu kalau terus-terusan di rumah Mila. Dia pasti akan terus menjadikan kamu pelampiasan amarahnya, karena kamu tahu sendiri, kan? Mila itu tempramental, ditambah dia dalam keadaan hamil. Pasti akan semakin sering menyalahkanmu. Jadi, aku pikir bagaimana kalau misalkan kamu pindah saja?"Maura terperangah. Di sisi lain, dia merasa tersanjung karena ternyata Raka memikirkan tentang nasibnya. Tetapi, dia juga bingung kalau tidak di rumah itu, lalu dia harus di mana?Mana mungkin Maura tiba-tiba saja bilang akan tinggal di rumah Bu Sinta? Bagaimana kalau misalkan Raka berkunjung ke rumah Bu Sinta dan tahu kalau dirinya tinggal di sana, mungkin pria itu akan bertanya macam-macam kepada dirinya. "Lalu, kalau misalkan aku ke
"Kenapa kamu diam saja? Jangan takut, bicara kepadaku. Apa Mila mengusirmu juga?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Maura semakin kelabakan. Dia takut salah bicara dan malah berbalik menjadi bumerang untuknya. Tetapi dalam situasi seperti ini, dia juga tidak mau kalah dari Mila. Harus benar-benar membuat kakaknya menderita."Iya, aku juga nggak tahu, sih, Mas. Apakah dia mengusir aku atau enggak, tapi intinya tadi itu Mbak Mila marah-marah kepadaku karena tiba-tiba saja menghilang. Padahal kan aku disuruh sama dia buat keluar dulu, belanja," ungkap Maura tiba-tiba saja mendapat ide seperti itu. Dia sudah mengarang cerita dan mungkin kelanjutannya akan semakin melebar kebohongannya. "Terus gimana?" tanya Raka, ingin tahu.Kalau misalkan Raka benar-benar mengusir, maka wanita itu sudah benar-benar parah. Membuat orang yang tidak tahu apa-apa ikut terseret dalam masalah mereka. "Ya, aku cuma disuruh keluar dulu. Tapi, nggak tahu apakah itu diusir atau cuma amarahnya saja yang keluar
Anak buah David berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin. Dia akan memperlihatkan keramahtamahan, agar wanita itu tidak curiga kepadanya. "Kebetulan saya juga karyawan di sana, Teh. Jadi, saya menawarkan saja. Bos saya lagi cari asisten. Siapa tahu Teteh berminat. Silakan," ucap orang itu sembari menyodorkan kartu nama. Lusi awalnya ragu-ragu. Tetapi dia melirik kepada pemilik warteg dan tersenyum sembari mengangguk. "Ambil aja, Teh. Siapa tahu rezeki di situ. Mana jadi asisten Bos lagi. Kayaknya gajinya gede," ujar wanita itu sembari tersenyum. Lusi tersenyum kaku. Akhirnya dia menerima kartu nama itu. Untuk masalah apakah dia akan melamar atau tidak, mungkin nanti dipikirkan lagi. Yang terpenting jangan sampai menyindir orang yang berbaik hati seperti di depannya.Setelah itu, Lusi pamit untuk pergi. Sang pria berusaha untuk menjeda jarak di antara kepergian Lusi dan dirinya. Dia tidak mau dicurigai oleh Ibu warteg itu dan malah berbuntut panjang, sebab dia tahu sekarang di mana
David tersenyum senang saat mendengar kabar itu. Dia akan memberikan bonus yang sangat banyak kepada anak buah yang menemukan Lusi. "Bagus, kalau begitu kamu terus ikuti. Bila perlu kamu berpura-pura saja jadi pedagang atau apa pun yang bisa menggali informasi untuk Lusi. Yang pasti aku ingin tahu apa yang diinginkan oleh wanita itu," terang David dan langsung diikuti oleh anak buahnya. Kebetulan saat itu Lusi mampir di sebuah warteg tak jauh dari tempat sekolah Alia. Sebenarnya dia bisa saja pergi ke restoran, tapi entah kenapa wanita itu lebih nyaman di warteg karena memang dalam keadaan sepi juga dekat dengan jalan. Jadi, dia bisa leluasa tanpa perlu harus mencari kafe lagi hanya untuk makan.Melihat wanita itu pergi ke warteg, anak buah yang diutus oleh David pun ikut dan pura-pura makan di sana. Dia ingin mendengarkan apa yang mungkin saja bisa menjadi informasi berharga untuk bosnya. Setelah memesan makanan, Lusi pun maka dengan santai di sana. Si pemilik ke warteg pun bertan
"Jangan menguji kesabaranku, Maura! Kamu tidak seharusnya mengetahui semua itu," ucap Mila. Maura tersenyum sinis. Dia melipat tangan di depan dada. "Seharusnya aku lebih tahu banyak tentang masa lalu Kakak, agar aku bisa menyimpan kartu AS Kakak dan tidak semena-mena kepadaku," ungkap wanita itu dengan santai. Dia sudah menyingkirkan rasa takutnya kepada Mila. Ternyata kalau dilawan, wanita hamil itu tidak ada apa-apanya. Cukup memegang bukti kuat tentang kejelekan Mila, maka semua akan baik-baik saja. Begitu pikir Maura. "Kamu salah sudah berurusan denganku, Maura. Kamu tidak tahu seperti apa aku.""Oh, tentu saja. Aku harus tahu dulu Kakak seperti apa, agar aku bisa melawan Kakak. Dipikir-pikir, kenapa nggak dari dulu aja aku lawan Kakak? Dengan begitu Kakak tidak akan semena-mena kepadaku." Mila mengepalkan kedua tangannya. Dia benar-benar sudah muak dengan semua perbincangan ini. Adiknya sudah kelewat batas mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya diketahui.Tanpa mengatakan
"Aku tidak bisa memberikan uang sebanyak itu. Terlalu banyak.""Tidak mungkin. Kakak punya usaha yang lancar, aku yakin dalam tabungan Kakak itu pasti lebih dari nominal yang kuinginkan."Ya, memang benar apa yang dikatakan Maura. Tetapi kalau dia mengeluarkan uang sebanyak itu, maka akan ada bahan-bahan untuk usahanya yang harus diminimalisir. Sementara uang sebanyak itu bisa dijadikan modal usaha lagi yang besar. Membayangkannya saja Mila merasa kesal, apalagi kalau benar-benar terjadi. Maka dia akan rugi besar. 'Bukan masalah itunya, Maura. Tapi uang banyak itu terlalu banyak. Kamu tahu? Untuk memulai usaha itu tidak mudah. Bahkan itu dua kali lipat dari modal yang aku keluarkan untuk usaha ini."Maura mengedikkan bahu. "Ya itu terserah, sih. Kalau misalkan Kakak mau Mas Raka tahu kalau tadi aku mengikutinya, ya terserah." Mila memijit pelipisnya yang berdenyut. Rasa lapar dan juga tekanan dari berbagai arah membuat wanita itu benar-benar merasa kewalahan. Dia tidak bisa berpikir
Mila tersenyum miring dengan tatapan sinis kepada adiknya. Dia harus hati-hati dengan Maura. Tetapi wanita itu juga tidak mau kalah telak, harus memanipulasi balik adiknya agar merasa terpojok. "Kamu licik sekali, ya, Maura? Beraninya kamu mengatakan hal seperti itu kepada kakakmu sendiri. Apa kamu tidak malu? Sudah menumpang, merepotkanku. Harusnya kamu itu membayar uang sewa kepadaku, tapi aku tidak bebankan itu, kan? Kamu hanya perlu mengikuti semua perkataanku, tapi sekarang kamu malah meminta bayaran yang kuyakini kamu tidak akan memintanya dengan kecil. Iya, kan?" Maura diam sejenak, lalu dia terkekeh dan menggelengkan kepala."Oh ya? Rasanya kata-kata itu harusnya balik lagi kepada Kakak.""Apa maksud kamu?" "Iya, selama ini kan aku yang disuruh-suruh. Dari kecil aku selalu mengalah dan mengikuti semua kemauan Kakak. Bukankah Kakak juga harus memberikan timbal balik yang pas untukku? Rasanya kalau sekedar hanya hitungan uang saja itu tidak cukup, mungkin ratusan juta pun Kak
Maura mengalami napas berkali-kali, berusaha untuk tenang karena dia takut kalau nanti Mila menolak apa yang diinginkannya."Ada, Kak. Aku punya buktinya." Tiba-tiba saja mata Mila berbinar. Maura mengeluarkan ponsel dari sakunya. Seketika Mila hendak meraihnya, tetapi langsung dicegah oleh Maura. Wanita itu menarik HP-nya ke atas dan membuat Mila kebingungan."Apa yang kamu lakukan? Katanya kamu punya bukti. Berikan! Aku ingin lihat," ucap Mila dengan enteng, membuat Maura menggelengkan kepala dan tiba-tiba saja wanita itu tersenyum sinis, membuat Mila terdiam. Mila tidak mengerti apa yang sedang dilakukan adiknya ini. Seperti sedang mempermainkannya. "Jangan membuatku marah! Aku baru saja bertengkar dengan Raka. Kalau kamu membuatku marah kamu akan--""Kakak tidak akan mendapatkan apa-apa jika Kakak memarahiku," sela Maura dengan berani, membuat Mila terdiam beberapa saat. "Apa maksudmu berkata seperti itu?" Sekarang Mila mulai waspada dengan adiknya, takut jika Maura melakukan