"Kamu terlalu sempurna, punya segalanya dan sialnya kamu adalah orang baik. Semua orang memujimu. Aku juga tidak suka, Lus. Harusnya, kamu jahat saja padaku, membullyku. Dengan begitu, sebagian orang akan memberikan simpati padaku, bukan membandingkan atau memperolokku!"Mila masih mengeluarkan keluh kesahnya. Dia bahkan mengatakan itu semua dengan serius. Ada kilatan amarah yang menggebu di sorot mata Mila.Lusi benar-benar dibuat kaget dengan pernyataan ini. Jadi, semua ini hanya karena dia tidak suka jika dibandingkan dengan Lusi, dan kesal saat semua orang malah mengasihaninya dan mencap Mila sebagai benalu.Lusi kira Mila tidak menganggap serius perkataan mereka. Toh, orang-orang hanya bisa berkomentar tanpa tahu kehidupan yang dijalani Mila. Tetapi, sepertinya Mila tidak begitu.Dari dulu, Mila memang selalu mengedepankan gengsi. Jadi, dia akan lalukan apa pun demi terpenuhinya gengsi. Lusi selalu membantunya dalam memenuhi gengsi itu, karena dia pikir memang Mila ingin menyenan
"Sudah puas?" tanya Lusi pada Mila yang tengah menahan amarah dengan napas terengah-engah.Wanita sundal itu mendelik pada Lusi. Ya, dia memang benar-benar benci. Terlepas dari alasannya itu, Lusi tetap menganggap Mila adalah orang yang tidak tahu diri.Sudah cukup drama mengamuknya, sekarang giliran Lusi yang membuat wanita itu tak berdaya. Dia memanggil Pak Bara untuk masuk ke ruang besuk ini.Kekagetan terlihat di wajah Mila dan Lusi tersenyum untuk hal itu. Dia akan buat perhitungan yang sangat malah untuk Mila."Nah, Pak Bara. Tolong dengarkan baik-baik perkataan saya. Bila perlu, tulis saja."Laki-laki paruh baya itu mengangguk paham. Dia mengeluarkan secarik kertas beserta bolpoinnya. Kekagetan Mila berubah menjadi wajah penasaran.Lagi-lagi Lusi tersenyum melihat ekspresi wanita sialan itu. Wah, ternyata balas dendam itu memang memuaskan seperti ini. Sayangnya, semua ini akan kembali dibalas oleh Mila dengan dalih balas dendam pula.Namun, Lusi tidak peduli akan hal itu. Toh,
"Kak, ini aku," ucap gadis itu dengan wajah sendu. Terlihat ada genangan air mata yang siap jatuh.Mila masih memalingkan wajah, sementara Lusi dan Pak Bara sengaja diam menyaksikan mereka. Ah, sepertinya akan ada drama baru di sini."Kenapa Kakak seperti ini? Ibu dan Ayah merindukan Kakak. Ayo kita pulang, Kak!" seru gadis bernama Maura itu sembari menyentuh lengan Mila.Wanita jalang itu langsung menepisnya dan mengibas-ngibas bekas sentuhan Maura. Dia menoleh dengan tatapan nyalang. Lusi melihat, banyak kebencian yang tergambar di sorot mata Mila.Wah, sepertinya seru juga. Apakah Mila akan mengakui adiknya? Atau malah mengusir adiknya dengan segudang caci-maki? Duh, Lusi seperti tengah menonton drama sinetron."Jangan sentuh aku! Lagian, siapa kamu?! Aku tidak punya adik. Aku anak tunggal dan seorang yatim piatu!" serunya dengan suara yang sangat lantang.Saking lantangnya, petugas di sana memberikan peringatan agar Mila mengecilkan suara. Memang wanita yang memalukan.Sekarang, d
Suara tamparan menggema di ruangan itu. Lusi mendorong Mila hingga terjerembab. Tak dihiraukan jeritan wanita jalang itu, atau seruan dari polisi untuk berhenti.Terdengar Pak Bara juga berusaha memisahkan Lusi dan Mila. Dia menarik tangan Lusi untuk melepaskan jambakan di kepala Mila. Bahkan, masih terdengar isakan Maura yang meminta kakaknya untuk berhenti.Itu semua tidak dihiraukan. Sejauh ini, Lusi sudah menahan diri untuk tidak bermain fisik. Tetapi, wanita sundal itu malah memulainya dan itu tidak bisa dibiarkan.Dia sudah berani berbuat kasar padanya dan Lusi tidak bisa menerimanya. Mila sudah cukup menghempaskan kehidupan Lusi ke kubangan penderitaan, tapi sekarang tidak lagi.Lusi menarik rambutnya sekuat tenaga sampai Mila meringis kesakitan. Lalu, sebelah tangannya terus menampar pipinya berulang-ulang. Wanita jalang itu terdengar menangis dan mengucapkak kata sakit. Tetapi, tidak ada permohonan ampun atau maaf untuk Lusi.Jadi, Lusi teruskan saja menamparnya sampai dia te
"Dia pingsan, Lus. Bekas tamparannya sangat jelas. Kamu bisa dituntun karena melakukan penganiayaan."Pak Bara berkata seperti itu sembari msmeperlihatkan kondisi Mila yang sangat menyedihkan. Pipinya bengkak karena bekas tamparan Lusi, tidak lupa juga rambut yang sudah acak-acakan.Di dalam sana juga, Lusi melihat Maura tengah menangis meratapi kakaknya yang sedang terbaring lemah. Saat ini, Lusi seperti tertampar oleh fakta di depan mata.Kenapa dia melakukan ini semua? Pertanyaan itu muncul berulang-ulang di benaknya. Emosi dan amarah membuat akal sehat Lusi hilang.Sungguh, ini bukan hal yang dia inginkan. Sejauh ini, Lusi sudah bisa menahan diri untuk tidak bersikap kasar. Tetapi, karena Mila yang menyerang duluan, dia jadi tersulut api amarah. Hingga terjadilah perkelahian ini.Menyesal pun sudah tak ada gunanya lagi. Semua sudah terjadi dan Lusi harus bisa membela diri."Bapak tahu, kan, kalau aku melakukan itu semua karena dia yang memulai. Bisa dilihat di CCTV di sana. Kalau
"S-siapa laki-laki ini?" tanya Lusi dengan suara yang sedikit bergetar.Bukan hanya itu saja. Tangan itu pun ikut bergetar menunjuk foto yang ada di sana. Kerongkongannya terasa kering, hingga sulit sekali hanya untuk menelan saliva.Ya Tuhan, jantungnya terasa dipaksa loncat dari tempatnya saat melihat foto itu. Banyak dugaan-dugaan yang muncul sampai rasanya sesak dada Lusi."Ini ... dia almarhum ayahku, Mbak."Digigit bibir itu untuk menahan gemetar tubuh. Sungguh? Benarkah kalau sosok itu ayahnya. Kalau begitu Maura ini adalah ...."Aku dan Kak Mila itu satu Ibu beda Ayah, Mbak. Kata Ibu, dia dan ayahnya Kak Mila bercerai karena masalah ekonomi. Lalu, Ibu menikah lagi dengan ayahku dan lahirlah aku."Lusi terdiam sembari menahan napas. Mulut itu terasa kaku untuk digerakkan. Bukan hanya itu saja, otaknya seolah hanya terpusat pada Maura dan ucapannya. Tubuh itu dipaksa untuk mendengarkan sebuah fakta yang mungkin akan menyakitkan untuknya."Lalu, saat aku beranjak dewasa Ayah juga
"Sebaiknya kamu hubungi mereka. Aku ingin bertemu dengan orang tuamu," ucap Lusi pada Maura.Gadis itu terperanjat dan langsung menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya langsung pucat dengan sorot mata ketakutan. Kenapa reaksinya jadi seperti ini?"J-Jangan, Mbak. Nanti ... nanti saya pulang kalau Kak Mila sudah keluar dari penjara," ujarnya membuat Lusi keheranan. Ini aneh, menurut Lusi. Harusnya dia bereaksi biasa saja. Toh, yang bermasalah, kan, Mila. Bukan dirinya. Tetapi, reaksi Maura terlalu berlebihan menurut Lusi.Ah, kepalanya rasanya sangat sakit. Denyutan di pelipis membuat konsentrasi Mila mulai buyar. Dia terlalu banyak berpikir sampai akhirnya seperti ini."Mbak baik-baik saja?" tanya Maura, terlihat khawatir.Gadis itu tampak kaku. Dia seperti ingin mendekati Lusi, tapi juga terlihat sungkan. Sampai akhirnya, Maura memilih untuk kembali duduk.Lusi memejamkan mata, merasakan denyutan yang menyakitkan di kepala. Sepertinya dia harus istirahat. Akhirnya, Lusi menyuruh Maura
"Ada apa, Lus? Tumben kamu mau ketemu Bapak pagi sekali?" tanya Pak Bara saat Lusi menghampiri ke kantornya.Lusi hanya senyum ringan padanya. Dia mempersilakan duduk dan Lusi pun langsung mengubah ekspresi wajah itu."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang Ayah?" tanya Lusi yang membuat dahi Pak Bara mengernyit.Laki-laki paruh baya itu diam dan terlihat kebingungan. Lusi tidak tahu, apakah dia benar-benar bingung atau sedang berpikir akan pertanyaannya tentang Ayah."Apa maksudmu, Lus?" Akhirnya, pertanyaan itu muncul dari mulutnya, sesuai dugaan Lusi.Lusi tak langsung menjawab, melainkan menyandarkan punggung sembari menyilangkan tangan di depan dada."Gadis bernama Maura itu menyodorkan sebuah foto yang ada gambar Ayah. Dia menyebutkan nama Darma Wijaya. Wajah dan nama yang sama. Katakan, Pak. Apa benar Ayah punya anak dari wanita lain?"Pak Bara terdiam, tapi Lusi melihat ketegangan pada aura wajahnya. Dia juga tidak bergerak sama sekali. Gelagatnya itu membuktikan kalau semua pert
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu
Dengan senyuman getir Winda pun menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Aku sudah tahu semuanya." Mendengar itu Bu Sinta terperangah sembari membulatkan mata. Wanita ini benar-benar tulus. Bahkan pria yang dinikahinya sedang berjuang untuk mendapatkan hak asuh anak dari istri pertama malah didukung dan dibiarkan begitu saja. Bu Sinta sampai tidak bisa berkata-kata sesaat. "Kamu serius sudah tahu semuanya?" Winda kembali menganggukkan kepala dengan pelan. "Iya, Bu. Aku tidak apa-apa, kok. Aku yakin, seiring berjalannya waktu Mas Raka pasti bisa menaruh hati kepadaku. Semua harus ada perjuangan dan aku yakin tidak akan mengkhianati hasil," ungkap Winda, membuat Bu Sinta benar-benar merasa terharu. Kalau saja dia bisa mengotak-atik hati Raka, mungkin sudah dihapus nama Mila dan membiarkan pria itu tidak peduli terhadap anak yang dikandung oleh Mila."Yang sabar ya, Winda. Pokoknya Ibu akan selalu mendukungmu. Lagi pula Ibu tidak suka sama Mila. Dia itu bukan perempuan baik, jadi istri pun n
"Sah!"Suara menggema itu dikeluarkan oleh beberapa orang di sana. Dua saksi, satu penghulu, satu wali hakim dan juga ada ART Winda beserta Bu Sinta. Benar-benar sedikit dan tak ada orang lain lagi selain mereka semua. Sebenarnya Winda merasa sedih sebab pernikahan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, seolah kalau dirinya memang tidak diakui oleh Raka. Tetapi ini lebih baik dibandingkan dirinya terus mengejar-ngejar pria itu. Katakanlah Winda itu adalah wanita bodoh. Dia bisa saja mendapatkan pria kaya, melebihi siapa pun termasuk Raka. Tetapi entah kenapa dia merasa kalau kebahagiaannya pasti ada bersama pria itu. Walaupun harus menjadi yang kedua, Winda rela. Lagi pula yang dicari bukanlah harta, tetapi kasih sayang dari laki-laki yang dicintai. Raka menyematkan cincin di jari manis Winda, lalu mencium keningnya. Ada haru biru yang menyelimuti acara ini. Bu Sinta sampai menantikan air mata, akhirnya sang anak mendapatkan istri yang baik menurut pandangan Bu Sinta. Winda
Sesuai dengan perkiraan, Mila memang datang ke butik yang itu adalah tempat kerja sang wanita hamil. Maura hanya melihat dari kejauhan. Untunglah ada minimarket di depan tempat Mila, jadi dia bisa terus meneliti wanita itu seharian di sana. Meskipun mungkin membosankan, tetapi setidaknya dia sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Sementara itu Mila saat sampai kantor pun dia hanya termenung menatap tumpukan laporan penjualan dan juga invoice lainnya. Ingin sekali dia menyelesaikan semua ini, karena bagaimanapun dia harus tetap bekerja. Ada pelanggan yang menunggu dan pesanan yang akan dikirim. Ini membuat Mila merasa stres.Saat seperti ini, yang ada dalam perutnya itu menendang-nendang, seolah mengerti kalau sang Ibu sedang banyak pikiran. Wanita itu pun mengelus bayi yang ada di dalam kandungan dengan memberikan kata-kata yang sekiranya bisa menenangkan anak itu. "Tenang ya, Nak. Kamu jangan ikutan pusing, biar Ibu saja yang pusing. Ibu akan cari cara untuk bertemu dengan ayahmu.
"Kamu pikir aku percaya begitu saja dengan sikap baikmu yang tiba-tiba? Tentu tidak! Kamu salah jika berurusan denganku atau mau menipuku. Aku tidak akan semudah itu dipermainkan," timpal Mila, setelah itu dia pun kembali menutup pintu membuat Maura terdiam. Tampaknya dia benar-benar salah sedang pura-pura baik kepada wanita ini. Maura hanya bisa berdiri di depan pintu dan memilih untuk pergi saja. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi dan hanya akan memantau ke mana wanita itu pergi. Lagi pula dia sudah berusaha untuk berpura-pura baik agar rencananya mudah, tetapi sayangnya memang Mila tidak semudah itu dibohongi. Mila hanya terdiam diri di depan pintu sembari menatap lurus ke depan. Dia seperti orang stress yang kehilangan sesuatu, tetapi memang kenyataannya wanita itu merasa kalau saat ini dirinya lemah tanpa adanya Raka. Anaknya juga sering menendang di perut kalau sang suami tidak ada di sampingnya. Mila kembali meneteskan air mata, merasa hidupnya benar-benar tak berguna karen
Pagi-pagi sekali Maura sudah membereskan semua pekerjaan di rumah Mila. Hatinya merutuk, tetap saja kalau begini wanita itu seperti pembantu. Tetapi mengingat uang yang akan diberikan Raka, Maura merasa senang. Dia yakin pasti tidak sedikit, sebab ini akan sulit karena harus mengikuti Mila ke manapun dan mencegah wanita itu untuk pergi ke tempat Raka. Mila bangun dengan perasaan malas dan juga tak karuan. Ruang hatinya merasa aneh karena tidak ada Raka di sini. Kerinduan begitu menyeruak dalam dada, hingga wanita itu pun menangis. Dia mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit, berbicara kepada anak yang ada di dalam kandungan kalau mereka berdua harus kuat menjalani semua ini. "Nggak apa-apa, ya, Nak. Kita pasti kuat menjalaninya. Kamu harus tenang, Ibu akan melakukan apa pun agar Ayah tetap di samping kita. Tenang saja. Ibu sudah terbiasa merasakan sakit hati dan kebal dengan semua keadaan. Ibu berjanji akan menyingkirkan semua orang yang berusaha untuk memisahkan kita bertiga.
"Iya, Mas. Katakan saja. Aku akan melakukan apa pun, sekiranya bisa membantumu," ucap Maura dengan semangat, membuat Raka merasa heran. Tetapi tak urung pria itu tetap memilih untuk mengatakan sesuatu secara rahasia. Pernikahan dia dan Winda tidak boleh diketahui oleh siapa pun, termasuk Maura. Tidak ada yang tahu kalau wanita itu bisa saja mengkhianatinya demi uang. Sekarang saja Maura pasti mau melakukan segalanya demi uang. Sebab dia juga ingin keluar dari rumah Mila dan mendapatkan tempat tinggal. Apalagi kalau bukan uang yang akan membeli rumah itu? "Maura, besok ada acara penting. Aku akan pergi dengan Ibu. Aku takut kalau Mila tiba-tiba saja mencariku ke rumah Ibu dan malah ngamuk-ngamuk tidak jelas. Jadi, bisakah kamu pastikan kalau Mila tidak pergi ke rumah ibuku?" pinta Raka, tiba-tiba saja membuat semangat Maura yang sebelumnya tinggi langsung meredup. Dia sangat kecewa sebab yang diberitakan oleh Raka itu berbeda jauh dengan harapannya, berarti pernikahan mereka bukan
Raka menatap ibunya sejenak. Setelah dipikir-pikir mungkin sebaiknya dia tidak menceritakan apa pun kepada Bu Sinta. Ini demi kebaikan bersama, karena selama beberapa kali mendapat masalah karena ibunya. Raka harus berpikir ulang, takut kalau Bu Sinta melakukan hal yang di luar batas dan akan mengacaukan segalanya. "Tidak, Bu. Aku hanya mengatakan itu saja, Ibu yang bilang sendiri kalau aku mau lepas dari Mila harus mengambil anak itu. Jadi, aku hanya akan berencana mengambil anaknya setelah Mila melahirkan," ungkap pria itu akhirnya memilih untuk berbohong. Memang sebaiknya diam saja dan tidak perlu mengatakan apa pun kepada Bu Sinta. Lebih sedikit yang diketahui wanita paruh baya itu lebih baik dibandingkan terjadi sesuatu nanti yang akan menghancurkan segalanya. Bu Sinta hanya menganggukkan kepala dan mereka berdua pun kembali melanjutkan makan. Tak ada yang bersuara sampai semuanya selesai. Raka istirahat di kamarnya yang dulu. Dia tiduran sembari menatap langit-langit kamar.
Amanda menatap amplop itu dengan diam. Sebenarnya dia ingin sekali mengambil gaji yang diberikan oleh Devan, tetapi ada hal yang membuatnya tertahan. "Aku tidak akan mengambil gajinya. Mas, simpan saja. Lagi pula kamu tidak percaya padaku, kan? Anggap saja itu kompensasi yang aku berikan kepadamu, karena kamu merasa tidak aman sebab kehadiranku," ujar wanita itu dan akhirnya pergi dari hadapan Devan. Pria itu diam saja. Dia menetap kepergian Amanda dengan perasaan gelisah. Sebenarnya sang pria ingin mempertahankan Amanda, setidaknya ada bantuan karena pegawai yang ada di sini hanya 2 koki dan dirinya saja. Beberapa mantan karyawan, enggan bergabung dengan restoran Devan lagi. Sebab yakin kalau restorannya tidak akan seramai dulu, tapi melihat Amanda yang sudah mendatangi seorang dukun membuat Devan juga ketakutan bila dirinya dicelakai oleh wanita itu. Tidak ada yang menjamin. Dia juga belum mengenal Amanda sepenuhnya, yang bisa dilakukan hanyalah membuat dirinya aman sampai benar-