"S-siapa laki-laki ini?" tanya Lusi dengan suara yang sedikit bergetar.Bukan hanya itu saja. Tangan itu pun ikut bergetar menunjuk foto yang ada di sana. Kerongkongannya terasa kering, hingga sulit sekali hanya untuk menelan saliva.Ya Tuhan, jantungnya terasa dipaksa loncat dari tempatnya saat melihat foto itu. Banyak dugaan-dugaan yang muncul sampai rasanya sesak dada Lusi."Ini ... dia almarhum ayahku, Mbak."Digigit bibir itu untuk menahan gemetar tubuh. Sungguh? Benarkah kalau sosok itu ayahnya. Kalau begitu Maura ini adalah ...."Aku dan Kak Mila itu satu Ibu beda Ayah, Mbak. Kata Ibu, dia dan ayahnya Kak Mila bercerai karena masalah ekonomi. Lalu, Ibu menikah lagi dengan ayahku dan lahirlah aku."Lusi terdiam sembari menahan napas. Mulut itu terasa kaku untuk digerakkan. Bukan hanya itu saja, otaknya seolah hanya terpusat pada Maura dan ucapannya. Tubuh itu dipaksa untuk mendengarkan sebuah fakta yang mungkin akan menyakitkan untuknya."Lalu, saat aku beranjak dewasa Ayah juga
"Sebaiknya kamu hubungi mereka. Aku ingin bertemu dengan orang tuamu," ucap Lusi pada Maura.Gadis itu terperanjat dan langsung menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya langsung pucat dengan sorot mata ketakutan. Kenapa reaksinya jadi seperti ini?"J-Jangan, Mbak. Nanti ... nanti saya pulang kalau Kak Mila sudah keluar dari penjara," ujarnya membuat Lusi keheranan. Ini aneh, menurut Lusi. Harusnya dia bereaksi biasa saja. Toh, yang bermasalah, kan, Mila. Bukan dirinya. Tetapi, reaksi Maura terlalu berlebihan menurut Lusi.Ah, kepalanya rasanya sangat sakit. Denyutan di pelipis membuat konsentrasi Mila mulai buyar. Dia terlalu banyak berpikir sampai akhirnya seperti ini."Mbak baik-baik saja?" tanya Maura, terlihat khawatir.Gadis itu tampak kaku. Dia seperti ingin mendekati Lusi, tapi juga terlihat sungkan. Sampai akhirnya, Maura memilih untuk kembali duduk.Lusi memejamkan mata, merasakan denyutan yang menyakitkan di kepala. Sepertinya dia harus istirahat. Akhirnya, Lusi menyuruh Maura
"Ada apa, Lus? Tumben kamu mau ketemu Bapak pagi sekali?" tanya Pak Bara saat Lusi menghampiri ke kantornya.Lusi hanya senyum ringan padanya. Dia mempersilakan duduk dan Lusi pun langsung mengubah ekspresi wajah itu."Pak, apa Bapak tahu sesuatu tentang Ayah?" tanya Lusi yang membuat dahi Pak Bara mengernyit.Laki-laki paruh baya itu diam dan terlihat kebingungan. Lusi tidak tahu, apakah dia benar-benar bingung atau sedang berpikir akan pertanyaannya tentang Ayah."Apa maksudmu, Lus?" Akhirnya, pertanyaan itu muncul dari mulutnya, sesuai dugaan Lusi.Lusi tak langsung menjawab, melainkan menyandarkan punggung sembari menyilangkan tangan di depan dada."Gadis bernama Maura itu menyodorkan sebuah foto yang ada gambar Ayah. Dia menyebutkan nama Darma Wijaya. Wajah dan nama yang sama. Katakan, Pak. Apa benar Ayah punya anak dari wanita lain?"Pak Bara terdiam, tapi Lusi melihat ketegangan pada aura wajahnya. Dia juga tidak bergerak sama sekali. Gelagatnya itu membuktikan kalau semua pert
"Karena apa, Pak?" Lusi bertanya dengan setengah mendesak. Rasanya dia ingin tahu tentang mereka secepat kilat. Tetapi, Pak Bara malah bercerita pelan dan santai, kan kesal.Dia malah menatap Lusi dan terlihat gurat keraguan di wajahnya. Jangan bilang Pak Bara batal menceritakan semuanya. Jangan sampai!"Katakan saja, Pak. Aku tidak akan berbuat aneh pada mereka. Justru, kalau Bapak tidak cerita, mungkin aku akan melakukan sesuatu yang tak terduga."Terdengar Pak Bara menghela napas panjang sembari mengangguk-anggukan kepala."Baiklah, Nak Lusi. Kalau itu maumu, Bapak akan ceritakan semua. Tapi, mohon untuk tidak melakukan hal yang gegabah," terangnya memperingatkan.Lusi langsung mengangguk cepat dan setelah itu Pak Bara pun melanjutkan ceritanya."Itu semua terjadi karena ibunya Mila jatuh cinta pada Darma, Lus."Lusi tercengang mendengar pernyataan dari Pak Bara. Tetapi, tidak sampai di sana saja. Ada yang lebih membuatnya kaget saat Pak Bara kembali bercerita."Secara terang-teran
"Pantas saja, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Keduanya sama-sama jalang. Ternyata, ibunya Mila juga sama jalangnya." Lusi berdecih sembari melipat tangan di depan dada.Fakta-fakta ini bukan hanya membuat Lusi kaget, tapi dia bisa menyimpulkan sendiri betapa rendahnya wanita itu. Lusi juga jadi meragukan pengakuan Maura. Jangan-jangan dia disuruh untuk membebaskan Mila oleh jalang satunya. Atau bisa saja, selama ini Mila disuruh oleh ibunya untuk balas dendam kepada Ayah melewati Lusi.Semua kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi, hingga Lusi meragukan semua yang ada di sekelilingnya. Dia juga menatap Pak Bara dengan penuh selidik. Pria itu bisa juga menipu Lusi.Akh, kepala Lusi kembali berdenyut. Dia bisa gila karena semua ini. Benar-benar malang nasibnya ini."Pak, kenapa Bapak tidak cerita pada saya perihal ini?" tanya Lusi mulai menyelidik.Lusi tidak tahu siapa yang jujur atau berbohong. Karena saat ini, semua orang membuatnya ragu. Termasuk orang yang ada di depannya sek
Hening. Tak ada yang membuka suara di dalam mobil ini. Sesekali, Lusi melirik ke samping, tempat Maura berada.Gadis itu terlihat gugup dan mungkin ketakutan. Karena sedari tadi hanya diam, menunduk sembari memainkan jari jemarinya.Lusi sengaja membiarkannya seperti itu untuk kebaikannya sendiri. Saat ini, dia berusaha untuk menenangkan diri dan terus memberikan sugesti baik pada pikirannya agar tetap tenang dan tidak terpancing emosi.Sudah setengah jam berlalu sejak mereka berangkat dari rumah Lusi. Dia dan Pak Bara langsung pulang ke rumah dan menanyai gadis ini.Awalnya dia menolak mengantarkan Lusi bertemu dengan ibunya, karena beralasan kalau Maura tidak bisa pulang sebelum berhasil membawa Mila pulang.Namun, Lusi terus mendesaknya dan terpaksa mengancam Maura akan dilaporkan ke polisi atas tuduhan perbuatan tak menyenangkan. Sampai akhirnya, gadis itu pun menurut dan mengantarkan mereka untuk pergi ke tempat asalnya.Lusi berangkat bersama Pak Bara, sopir sewaan dan tentunya
Lusi dan Pak Bara sudah di depan pintu rumah kecil itu. Tanpa berpikir panjang lagi, langsung mengetuk pintu.Tidak ada sahutan. Lusi menoleh pada Pak Bara. Meminta pendapat, apa yang harus dia lakukan."Ketuk lagi saja, Lus. Toh belum tiga kali, kan?"Lusi mengangguk paham dan langsung mengetuk pintu kembali. Awalnya tak ada yang menyahut, lalu saat hendak mengetuk ketiga kali, seseorang membukanya dengan sangat kasar.Tampak wanita paruh baya dengan dandanan yang sangat menor. Walaupun demikian, itu tidak bisa menyembunyikan kerutan-kerutan di wajahnya. Bahkan, dengan dadanan itu, malah terlihat sekali kalau dia sudah menua."Siapa, ya?!" tanyanya dengan nada sinis dan tatapan menyelidik.Lusi menatapnya datar. Dari cara memandang dan menyambut tamu saja sudah terlihat kalau wanita ini kurang tatak krama."Dengan Bu Sinta?" tanya Lusi berusaha beramah tamah.Walaupun perangai Tuan rumah kurang baik, setidaknya Lusi masih waras dan tidak membalasnya dengan keburukan.Wanita itu tidak
"Oh iya, kalau boleh tahu, di mana Maura? Saya ingin bertemu dengannya," tanya Lusi langsung membuat dua wajah pasangan itu pucat.Ketegangan amat kentara dari ekspresi wajah Bu Sinta dan suaminya. Sepertinya benar kalau Maura kabur dari rumah. Tetapi, Lusi memang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Maura dan ibunya."Ma-Maura ada, kok. Dia ... dia ....""Dia sedang sekolah!" seru suaminya tiba-tiba."A-ah, benar. Sedang sekolah. Ya, dia kan masih sekolah SMA, jadi jam segini pasti sekolah, kan?" Bu Sinta membenarkan alasan suaminya. Tapi, wajah mereka masih terlihat gugup. Kentara sekali kebohongannya.Wah, dia salah sasaran. Harusnya, cari alasan yang logis dan lebih bisa diterima oleh Lusi. Siapa yang akan sekolah di hari libur seperti ini? Dasar orang-orang bodoh."Sekolah, ya?""Iya, Maura sekolah," jawab Bu Sinta dengan wajah menyakinkan."Em, Pak Bara. Sekarang hari apa?" tanya Lusi pada Pak Bara yang sedari tadi terdiam.Laki-laki paruh baya itu sepertinya paham akan