Hening. Tak ada yang membuka suara di dalam mobil ini. Sesekali, Lusi melirik ke samping, tempat Maura berada.Gadis itu terlihat gugup dan mungkin ketakutan. Karena sedari tadi hanya diam, menunduk sembari memainkan jari jemarinya.Lusi sengaja membiarkannya seperti itu untuk kebaikannya sendiri. Saat ini, dia berusaha untuk menenangkan diri dan terus memberikan sugesti baik pada pikirannya agar tetap tenang dan tidak terpancing emosi.Sudah setengah jam berlalu sejak mereka berangkat dari rumah Lusi. Dia dan Pak Bara langsung pulang ke rumah dan menanyai gadis ini.Awalnya dia menolak mengantarkan Lusi bertemu dengan ibunya, karena beralasan kalau Maura tidak bisa pulang sebelum berhasil membawa Mila pulang.Namun, Lusi terus mendesaknya dan terpaksa mengancam Maura akan dilaporkan ke polisi atas tuduhan perbuatan tak menyenangkan. Sampai akhirnya, gadis itu pun menurut dan mengantarkan mereka untuk pergi ke tempat asalnya.Lusi berangkat bersama Pak Bara, sopir sewaan dan tentunya
Lusi dan Pak Bara sudah di depan pintu rumah kecil itu. Tanpa berpikir panjang lagi, langsung mengetuk pintu.Tidak ada sahutan. Lusi menoleh pada Pak Bara. Meminta pendapat, apa yang harus dia lakukan."Ketuk lagi saja, Lus. Toh belum tiga kali, kan?"Lusi mengangguk paham dan langsung mengetuk pintu kembali. Awalnya tak ada yang menyahut, lalu saat hendak mengetuk ketiga kali, seseorang membukanya dengan sangat kasar.Tampak wanita paruh baya dengan dandanan yang sangat menor. Walaupun demikian, itu tidak bisa menyembunyikan kerutan-kerutan di wajahnya. Bahkan, dengan dadanan itu, malah terlihat sekali kalau dia sudah menua."Siapa, ya?!" tanyanya dengan nada sinis dan tatapan menyelidik.Lusi menatapnya datar. Dari cara memandang dan menyambut tamu saja sudah terlihat kalau wanita ini kurang tatak krama."Dengan Bu Sinta?" tanya Lusi berusaha beramah tamah.Walaupun perangai Tuan rumah kurang baik, setidaknya Lusi masih waras dan tidak membalasnya dengan keburukan.Wanita itu tidak
"Oh iya, kalau boleh tahu, di mana Maura? Saya ingin bertemu dengannya," tanya Lusi langsung membuat dua wajah pasangan itu pucat.Ketegangan amat kentara dari ekspresi wajah Bu Sinta dan suaminya. Sepertinya benar kalau Maura kabur dari rumah. Tetapi, Lusi memang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Maura dan ibunya."Ma-Maura ada, kok. Dia ... dia ....""Dia sedang sekolah!" seru suaminya tiba-tiba."A-ah, benar. Sedang sekolah. Ya, dia kan masih sekolah SMA, jadi jam segini pasti sekolah, kan?" Bu Sinta membenarkan alasan suaminya. Tapi, wajah mereka masih terlihat gugup. Kentara sekali kebohongannya.Wah, dia salah sasaran. Harusnya, cari alasan yang logis dan lebih bisa diterima oleh Lusi. Siapa yang akan sekolah di hari libur seperti ini? Dasar orang-orang bodoh."Sekolah, ya?""Iya, Maura sekolah," jawab Bu Sinta dengan wajah menyakinkan."Em, Pak Bara. Sekarang hari apa?" tanya Lusi pada Pak Bara yang sedari tadi terdiam.Laki-laki paruh baya itu sepertinya paham akan
Lusi duduk di tempat semula, karena khawatir kalau Bu Sinta dan suaminya memergoki Lusi yang sedang menguping. Satu fakta sudah diketahui, dan itu cukup menjadikan alasan Lusi untuk mengambil hak asuh Maura.Selang beberapa menit, sepasang sialan itu pun keluar dan duduk di hadapan Lusi dengan senyuman yang memuakkan. Akan tetapi, Lusi tetap tenang dan membalas senyuman itu singkat."Em, jadi begini, Nak Lusi. Barusan kami telepon sama Maura. Katanya, dia sedang ada tugas kelompok untuk besok. Jadi, pulangnya agak sore."Lusi terdiam sesaat menatap mereka datar. Luar biasa sekali kebohongannya. Bahkan, Bu Sinta tampak tenang mengatakan itu semua. Benar-benar di luar dugaan. Kalau begini, artinya wanita sialan itu sudah terbiasa berbohong."Kalau begitu masih lama, ya? Em, saya minta alamat temannya saja, Bu. Biar saya saja yang menghampiri Mauda langsung."Wajah keduanya kembali pucat. Mereka pasti tak menyangka kalau Lusi bisa mengatakan semua ini. Sudah Lusi bilang, kan, mereka sala
Lusi memberi isyarat kepada Pak Bara untuk pergi dari sana. Ini sudah cukup menjadi bukti kalau Lusi harus segera mengambil hak asuh Maura. Kalau tidak, maka adiknya itu akan jadikan sapi perah untuk mencari uang. Ditambah lagi Lusi harus memastikan kalau Mila benar-benar tidak bisa bebas dari mana pun. Sesampainya di mobil, Maura terlihat kaget melihat kedatangan Lusi. Wajah gadis Itu tampak pucat. Sepertinya dia ketakutan dan mungkin saja anak itu ingin sekali mengatakan sesuatu. Hanya saja tidak ada yang keluar dari mulutnya sedikit pun. Pak Bara duduk di samping sopir, sementara Lusi duduk di sebelah Maura. "Jadi, bagaimana, Nak Lusi?" tanya Pak bara saat mereka sudah benar-benar masuk ke dalam mobil.Lusi memejamkan kedua matanya, lalu wanita itu menghela napas panjang. Dia menoleh kepada Maura dengan tatapan datar. Sebenarnya Lusi merasa kasihan kepada adiknya ini, tetapi juga rasa kaget akan kehadiran Maura belum bisa dinetralisir oleh Lusi. Sebelum Lusi memberitahu apa yang
"Aku hanya mau Kak Mila dibebaskan, Mbak. Aku mohon tolong bebaskan Kak Mila. Maafkan segala kesalahannya," ujar Maura dengan suara yang lirih. Matanya juga begitu tulus dan penuh permohonan.Lusi benci melihatnya karena dia malah membela saudara yang salah dan tidak pernah menyayangi Maura. Lagi-lagi Lusi hanya bisa diam. Dia tidak langsung menjawab permintaan dari Maura, hal yang tidak pernah bisa Lusi kabulkan yaitu membebaskan Mila.Kalau sampai Lusi melakukannya, maka kehidupan dia dan Alia pasti tidak akan tenang. Mila sudah dipastikan akan balas dendam atas semua yang dilakukan Lusi. "Aku tidak bisa." "Kenapa?""Kenapa kamu bilang? Kakakmu itu sudah merebut suamiku. Bukan hanya itu saja, Kakak kamu itu sudah banyak sekali berhutang kepadaku." "Berhutang apa?" Lusi menghela napas kasar. Sebenarnya dia tidak mau menghitung-hitung apa yang sudah dia berikan kepada Mila, tetapi mengingat bagaimana Mila bersikap kepadanya dan juga meremehkan segala sesuatu yang sudah Lusi berik
"Aku ... aku tidak mau di sini, Mbak. Kalau memang mbak mengizinkan aku untuk bekerja di sana, aku akan lakukan. Aku akan menjadi anak yang baik dan berjanji akan memberikan prestasi yang baik pula."Lusi menaikkan sebelah alisnya. Dia melipat tangan di depan dada, ingin tahu apakah adiknya ini benar-benar tulus dengan ucapannya. "Kamu yakin?"Maura dengan cepat mengangguk. "Aku yakin. Aku tidak mau terus-terusan dipaksa untuk menikah dengan rentenir itu. Walaupun tidak dipaksa menikah, pasti ayah menyuruhku untuk mencari uang. Bahkan aku pernah hampir saja dijual." Lusi langsung terperanjat. Dia menegakkan punggung, kaget dengan perkataan Maura barusan. Dalam hati Lusi merutuki sepasang suami istri itu. Bu Sinta yang memang ibu kandung, harusnya mencegah semua itu terjadi. Tetapi ternyata malah seperti ini. Bu Sinta digelapkan dengan materi dan uang, sampai rela menjual anaknya sendiri. "Tapi kamu tidak jadi dijual, kan?" tanya Lusi memastikan. "Alhamdulillah, tidak. Karena waktu
"Aku ... aku ikut dengan Mbak," ucap Maura, nadanya terdengar sedih. Dia juga sampai menunduk. Mungkin pilihan sulit karena Lusi menginginkan Maura untuk tidak membicarakan tentang Mila, tetapi sepertinya gadis itu tidak punya pilihan lain. Jika di sini, sama saja dengan kembali masuk ke lubang neraka. "Baiklah kalau begitu. Pak, jalan," ucap Lusi kepada sopir itu. Selama perjalanan, Maura hanya terdiam dan memandangi jalanan dari jendela. Dia benar-benar tidak menyangka kalau hidupnya seperti ini, memperjuangkan Mila malah terjebak dalam situasi yang sulit. Jika Maura kembali kepada kedua orang tua itu, maka kehidupannya benar-benar akan menderita. Tidak ada lagi situasi belajar yang tenang. Bahkan, Maura pasti akan terus-terusan dijadikan sapi perah untuk lunasi utang-utang Ayah tirinya yang begitu banyak. Entah sudah berapa lama, Maura melamun, sampai dia pun terlelap. Lusi yang melihatnya pun tersenyum kecil. Dalam hati Lusi benar-benar meminta maaf kepada Maura, karena sudah
Sesudah zuhur berkumandang, Lusi pun segera bersiap. David memang dari tadi sedang menunggu wanita itu, mencoba untuk mengikutinya. Dia akan mengajak Lusi untuk sama-sama berangkat kerja. Sementara itu Adiba saat ini bekerja di rumah. Dia bisa mengerjakan projectnya dan tidak perlu ke kantor. Jadi, gadis itu bisa menjaga Alia. Lusi sudah semangat untuk pergi bekerja. Ini hari pertama dan harus menjadi momen yang paling berharga. David yang melihat wanita itu keluar pun berusaha untuk mengejarnya. "Hai, mau berangkat kerja, ya?" tanya David, tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap. Dia langsung menoleh kepada pria itu."Oh, hai. Kamu juga mau berangkat kerja?""Iya." "Shif siang?" tanya Lusi, memastikan."Iya," jawab David sembari tersenyum. Lusi hanya tersenyum kikuk, merasa perkataan Adiba tempo hari ada benarnya. Mungkin saja pria ini punya maksud buruk, karena semuanya itu serba mendadak. Tetapi melihat bagaimana pria ini tidak melakukan hal yang di luar batas membuat Lusi mas
Di kamar yang sudah disediakan oleh Mila, Imel hanya termenung menatap lurus. Dia sama sekali tidak merasa antusias untuk melihat kamar yang akan ditempatinya. Meskipun ukurannya sama seperti kontrakan yang sebelumnya dia tinggali, tetapi kali ini pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dia lakukan mendengar berita-berita itu? Apakah Imel harus menelepon orang yang memasang iklan memberitahukan alamat Mila yang sebenarnya? Gadis itu akan mendapatkan uang yang banyak, bisa membuka usaha atau membeli kios untuknya. Terlepas dari status sebagai buruh. Tetapi, bagaimana kalau Mila tahu dan malah balas dendam kepadanya? Gadis itu tidak tahu bagaimana sifat Mila yang sebenarnya, jadi harus hati-hati dengan segala perlakuan Mila. Ini benar-benar membingungkan juga syok. Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Tiba-tiba saja suara Mila terdengar menyerukan nama Imel. Gadis itu langsung terkesiap dan memilih untuk menghampiri bosnya."Iya, Bu. Bagaimana?""Kamu sudah beres-beresnya
Setelah membereskan barang-barang di kontrakan yang dahulu, Imel berpamitan dan langsung pergi menggunakan angkot. Sebelumnya dia memang ingin menggunakan taksi, tetapi tarifnya pasti mahal. Tidak masalah kalau menggunakan angkot. Lagi pula barang bawaannya hanya sedikit.Saat di dalam angkutan umum, dia mendengar pembicaraan kalau ada iklan yang memberikan hadiah besar bagi yang bisa menemukan dan memberi informasi tentang Mila. "Oh, aku tahu! Ini yang dulu sempat viral kan gara-gara dia selingkuh dan digrebek sama istrinya? Benar-benar enggak tahu diri, ya!" "Kayaknya ini orang juga membuat masalah sampai dicari sama yang pasang iklan," timpal seseorang membuat Imel langsung menoleh. Dia kaget sebab yang disebutkan oleh penumpang angkot lainnya itu Mila. Imel terperanjat sebab dikatakan kalau Mila ini adalah orang yang dulu sempat digerebek karena perselingkuhan, ini sama persis yang seperti yang dikatakan oleh Maura tempo hari, saat mereka masih ada di rumah sakit.Kalau benar b
Entah sudah berapa lama Mila berada di kamar. Dia sampai ketiduran, mungkin karena kelelahan dan juga efek obat yang sebelumnya sempat diminum sebelum pulang dari rumah sakit.Wanita itu terbangun dan melihat sudah pukul 10.00, tapi tidak ada tanda-tanda Imel dan Maura pun sepertinya tidak ada. Karena rumah ini begitu hening. Sang wanita merasa tak enak hati. Dia memilih untuk keluar dari kamar dan mencari siapa yang sudah datang terlebih dahulu, antara Maura dan Imel. Entah kenapa dia merasa tidak mau sendirian mungkin karena dia sedang mengandung dan banyak kekhawatiran yang mungkin saja tiba-tiba muncul di pikiran itu, akan membuatnya semakin stres jika terus sendirian. Mila butuh seseorang untuk menemani. Wanita itu sampai memanggil-manggil nama Maura dan Imel, tetapi tidak ada sahutan. Rasa cemas tiba-tiba saja datang. Dia memilih untuk menelepon Imel, karena rasa gengsi kalau harus menghubungi Maura. Yang ada adiknya malah besar kepala dan mungkin akan meminta hal yang lebih b
Sementara itu, saat ini Lusi sedang mengantar Alia. Dia benar-benar bisa meluangkan waktu untuk anaknya. Sebenarnya Alia sudah menolak dan mengatakan kalau dia bisa berangkat sendiri, lagi pula sudah hafal jalan sekolah, tapi Lusi beralasan kalau dia ingin menghabiskan waktu bersama Alia sebelum berangkat kerja.Setelah Alia masuk, barulah Lusi kembali pulang. David yang sedari tadi uring-uringan karena tidak menemukan keberadaan Lusi di sekitar rumah Adiba pun mulai bingung. Harusnya dia meminta nomor ponsel wanita itu, tetapi karena kemarin terlalu senang dan waktunya buru-buru membuat mereka sampai tidak saling bertukar nomor ponsel. Saat melihat Lusi yang berjalan melewati rumahnya, senyuman di bibir David pun merekah. Dia akhirnya bisa melihat wanitanya itu. David akan pergi ke kantor bertepatan dengan Lusi pergi, sementara berkas-berkas penting yang harus dia tanda tangani dikirimkan secara online. Sekarang zaman sudah serba mudah, jadi tidak perlu direpotkan dengan semua itu.
Hari pertama kerja Maura benar-benar merasa lelah. Dia diberikan training untuk menyusun barang di bagian makanan. Wanita itu tidak tahu kalau pekerjaan seperti ini ternyata berat. Padahal sewaktu masih sekolah dia melihat semua itu gampang, tinggal menyusun saja tanpa perlu lelah atau capek. Ternyata semua di luar dugaan, harus menghitung barang, mencatat persediaan stok dan juga menyusunnya sesuai dengan lama atau akhir expired. Ini benar-benar membuat Maura kesal sendiri. Kalau tahu begini sebaiknya dia meminta dijadikan kasir saja. Tinggal berdiri menscan belanjaan lalu menghitung uang. Kalau begini, kapan dia istirahatnya? Di bagian sini sudah habis, lalu dia harus kembali melihat dan merestock di bagian makanan lainnya. Ini membuatnya benar-benar kesal.Karyawan lama yang melihat kedatangan Maura juga merasa heran. Anak ini melakukan pekerjaan seperti tidak ikhlas. Wajahnya ketus dan menyusun barang sembarangan. Sampai akhirnya HRD supermarket Winda pun menghampiri. "Kalau ka
Suara ponsel Winda berdering. Dia melihat ada nomor satpam yang menjaga supermarketnya. Wanita itu langsung meminta izin kepada Raka untuk mengangkat, takut terjadi apa-apa di tempat usahanya. "Iya, Pak. Ada apa?""Maaf, Bu Winda. Saya mengganggu waktunya, ini ada anak muda bersama Maura. Katanya dia mau kerja di sini itu atas rekomendasi Bu Winda. Apa benar?" Seketika Winda langsung terdiam. Dia menoleh kepada Raka yang sedang bersantai. Seharian kemarin mereka jalan-jalan dan Winda akhirnya bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Raka mau tidak mau harus memberikan nafkah batin kepada Winda. Dia takut kalau Winda mundur untuk mencari Alia. Entah itu karena terpaksa atau tidak, yang penting Raka sudah berusaha untuk membahagiakan Winda. Di manapun laki-laki akan diuntungkan jika berhubungan dengan wanita yang begitu mencintai, tetapi Raka merasa tertekan kalau harus berpura-pura memberikan kasih sayangnya kepada Winda. Untuk sekarang Raka tidak bisa melakukan lebih dari
Saat membuka pintu, Mila pikir ada Maura. Dia sampai memanggil-manggil adiknya itu, tetapi sayangnya tak ada siapa-siapa. "Ke mana anak itu?" ucap Mila. Dia menyuruh Imel untuk mencari ke sekitar rumah. Padahal gadis itu tidak tahu letak rumah ini dan bagaimana ruangannya, jadi sang gadis hanya melakukan apa yang disuruh majikannya. Entah itu mau ketemu atau tidak, yang penting sudah melaksanakan tugas."Saya lihat sampai belakang tidak ada, Bu. Tidak ada siapa-siapa," ujar gadis itu membuat Mila menghela napas panjang."Ke mana lagi sih anak itu?" gumam Mila, tetapi wanita-wanita berpikir sejenak. Mungkin Maura sudah kabur dari rumah ini. Dia tidak mengatakan apa-apa dan langsung berdiri untuk mengecek kamar Maura, ternyata masih ada barang-barangnya. "Ke mana sih dia? Kalau mau pergi harusnya pergi saja dan bawa semua barang-barang itu." Sementara Imel memilih untuk menunggu di ruang keluarga. Dia tidak berani mengikuti langkah majikannya, takut malah salah dan dimarahi. "Suda
Tepat pukul 08.00 pagi, akhirnya Mila bisa keluar dari rumah sakit itu. Dia menyuruh Imel untuk ikut ke rumahnya. Selama di perjalanan menggunakan taksi, Mila pun memilih untuk memberikan tugas penting kepada Imel. Karena dia yakin, kalau sendirian di rumah itu pasti tidak aman. Jika nanti Raka bertanya apa yang sebenarnya terjadi sampai ada orang baru di rumah, dia akan jujur mengatakan semuanya."Imel, saya memberikan tugas baru untukmu," ucap Mila tiba-tiba saja, membuat gadis itu menoleh. "Iya, Bu. Bagaimana?""Aku akan memberikan gaji dua kali lipat dibanding kamu kerja di toko saya, tapi tugasmu hanyalah menjadi asisten saya di rumah. Tugasmu memastikan kalau makanan saya baik dan semua yang berkaitan dengan saya, bagaimana?" tanya Mila membuat Imel terdiam.Gadis itu bukannya menjawab, tapi malah mengingat perkataan Maura tempo hari yang mengatakan kalau jika dirinya sampai mengurus Mila, maka harus sabar. Mengingat bagaimana perlakuan Mila di rumah sakit, membuat gadis itu