“Jangan diam saja. Kalau kamu mau jujur, sebaiknya katakan. Aku akan membantumu.”Arya tentu saja tidak sungguh-sungguh mengatakan itu semua. Dia punya niat terselubung. Melihat Devan yang tampak kacau dengan tingkahnya pada Maura, itu bisa dijadikan senjata tambahann agar Devan semakin hancur.Ini pasti akan menyiksa pria itu, karena harus menikahi seorang wanita yang tidak dicintai. Bukankah itu sangat menyiksa dibandingkan tidak menikah atau mencintai wanita lain dengan diam-diam?“Maksudnya?”Maura yang awalnya memilih untuk bungkam pun terpancing dengan tawaran yang diberikan oleh sang pria. Seperti mendapat secercah cahaya untuk mendapatkan hak atas tanggung jawab dari Devan.“Ya, aku akan membantumu mendapatkan Devan. Kamu tidak mau rugi sendiri, kan?”Maura menggulum bibir, seperti sedang berpikir keras. Satu hal terlintas di benak, apakah Arya melakukan ini dengan niat baik atau ada niat terselubung lainnya?“Kalau kamu masih diam, aku anggap kamu menolak tawaranku, ya.”Arya
Adiba masih diam, tampak syok. Gadis itu menatap mata Mila yang terlihat datar. Masih berusaha untuk mencerna kalimat yang baru saja dikatakan oleh Mila.“Haha, jangan bercanda kamu! Aku yakin, ini hanya akal-akalanmu saja, kan?”Mila memejamkan mata sembari menghela napas kasar. Sulit sekali meyakinkan orang ini. Kalau saja tidak ingat kalau dirinya harus mempertahankan Raka, tidak mungkin Mila melakukan semua ini. Seperti merendahkan diri sendiri.‘Tahan ... tahan! Demi Mas Raka dan bayi ini,’ gumam Mila dalam hati.“Jadi, menurutmu aku sedang bercanda? Ya, itu terserah padamu, sih. Aku juga malas bahas ini, tapi aku mengatakan ini semua demi bayi yang ada dalam kandunganku.”Adiba kembali terdiam. Dia juga berpikir demikian, untuk apa Mila datang padanya yang memang tidak saling kenal kalau bukan karena kepentingan mendesak.“Kalau benar begitu, kenapa kamu datang ke sini? Tidak langsung saja temui Lusi.”Mereka berdua malah mengobrol dan terkesan sedang berdabat, padahal ini masih
Devan sangat kaget saat tiba-tiba saja pintu ruangannya dibuka. Pria itu sedang terduduk lemas di kursi kebesarannya pun langsung berdiri, tampak Amanda masuk dengan wajah kesal bercampur rasa iba. Apalagi melihat Devan yang terlihat kacau.“Kenapa kamu malah masuk?!” tanya Devan, menaikkan nada bicaranya.Amanda sempat tersentak mendengar nada bicara Devan. Untuk pertama kalinya sejak mengenal Devan, sang wanita baru mendengar pria itu marah.“Ma-maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa hanya menunggu di luar saja. Kalau Bapak memang ada masalah, apa tidak sebaiknya diselesaikan? Bukan malah mengurung diri di sini. Apalagi banyak pekerjaan yang meunggu Bapak.”Sebenarnya bukan ini alasan utama Amanda mengatakan ini semua. Itu karena dia ingin mendengar langsung apa yang sudah terjadi di antara Devan dan Maura. Dia berusaha membantah semua perkiraan Arya kemarin.Devan terdiam sejenak. Bercerita? Tidak mungkin. Untuk saat ini, tidak ada orang yang bisa dipercaya untuk memegang rahasianya, seb
Devan berjalan cepat ke kantor Lusi. Di sana seperti biasa, sibuk dengan produksi percetakan. Pria itu memang sedang kacau balau, tapi Devan tidak bisa diam saja. Apalagi setelah melihat dan mendengar kalau mereka akan rujuk. Pasti ada yang tidak beres.Devan akan simpan sebentar masalah dirinya dengan Maura. Lagian, Maura tidak menghubunginya lagi. Jadi, dia akan berusaha sadar dan mengendalikan keadaan saat ini.Karyawan yang mengenali Devan pun tersenyum kaku, menyambut kedatangan mantan pacar bos mereka.“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya salah satu karyawan, berusaha untuk bersikap normal. Mungkin saja kali ini Devan ada kepentingan lain.“Saya mau bertemu dengan Lusi.”Karyawan itu terkesiap, wajahnya juga tampak bingung. Sebab, sebelumnya Raka sudah memberi wanti-wanti agar menolak kedatangan orang yang mau menemui Lusi, siapa pun termasuk Devan.“Maaf, Pak. Tidak bisa.”Devan menautkan kedua alisnya. Dia tahu, jika Lusi pasti ada di tempat, sebab Devan melihat mobil Lusi terp
Setelah dipikir-pikir, sang pria memilih untuk tidak menghampiri Maura. Yang ada bisa menjadi masalah baru unruknya. Dia pun memilih untuk menunggu. Entah sampai kapan, tapi yang jadi harapan terkahir bagi Devan adalah Adiba.Entah berapa lama sang pria menunggu di mobil, sampai dia ketiduran. Hingga akhirnya yang ditunggu pun datang. Di saat jam makan siang, Adiba datang dengan mobilnya. Dia bersama Alia.Tanpa menunggu lama, Devan langsung berlari untuk menghampiri Adiba, sebelum sang gadis masuk ke rumah. Bisa-bisa sang pria bertemu dengan Maura dan berabe semuanya.“Adiba, tunggu!”Sang gadis yang baru saja beberapa langkah dari mobilnya pun menoleh, kaget mendapati ada Devan di sini.“Loh, kamu ngapain ke sini?” tanya Adiba, benar-benar merasa aneh.Devan menelisik ke sekitar, takut jika ada Maura yang melihat keberadaannya.“Bisakah kita bicara di luar gerbang? Ada hal yang harus aku katakan. Ini pernting dan urgent.”Adiba menautkan kedua alisnya. Dia menoleh pada Alia yang sud
“Gila kamu! Itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku gak kena guna-guna, yang akan ngefek itu kalau si peminumnya kena ilmu sihir.”Adiba diam, memandangi wajah Mila yang serius. Mungkin kali ini wanita hamil itu jujur. Sang gadis menarik kembali tangannya sembari menghela napas kasar.“Baiklah. Aku juga tidak punya pilihan lain. Jadi, apakah kamu akan ke rumah Lusi besok?”“Tentu saja. Hubungi aku jika acara akan dimulai. Kalau air ajian itu sudah bereaksi, Lusi pasti kaget jika ternyata dirinya mau kembali pada Mas Raka.”Adiba menganggukkan kepala. “Kalau aku kasihnya malam, gimana?”“Ya, itu malah lebih bagus lagi. Dengan begitu, Lusi akan langsung membatalkan rencana ijab kabul mereka.”Adiba mengangguk paham. Setelah itu, sang gadis pun memilih untuk pergi dari sana. Dia akan mencoba untuk menyadarkan Lusi.Sepeninggalnya Adiba, wanita hamil itu terdiam dengan perasaan campur aduk. Uangnya terkuras habis demi membuktikan kalau anak dalam kandungannya adalah darah daging Raka. Teta
Setelah Magrib, Lusi baru pulang. Kala itu Adiba, Maura dan Alia sedang makan malam. Wanita itu tampak tergesa datang. Dia langsung mencium pipi Alia dan mengatakan maaf karena baru pulang.“Makan malamnya tungguin aku, ya. Aku mau mandi dulu,” ucap Lusi langsung pergi ke kamar, semtara ketiga perempuan itu malah saling diam dan kebingungan.Di saat seperti ini, Alia tiba-tiba saja bersuara dengan wajah murung.“Tante, kalau Ibu sama Ayah balikan lagi, aku mau tinggal sama Tante saja, ya?”Adiba terkesiap, begitu juga dengan Maura. Wanita itu memang sedang kacau balau, tapi dia juga tertarik dengan perkataan Alia barusan.Adiba langsung menghampiri Alia dan berjongkok di depan gadis kecil itu yang terduduk di kursi.“Kenapa begitu? Bukankah Alia senang kalau Ayah sama Ibu balikan?”“Tunggu, maksudnya mereka balikan, gimana, ya, Mbak?” tanya Maura mulai penasaran dengan maksud dari pembicaraan mereka.Sebab, sudah 2 hari Maura hanya murung dan memikirkan kejadian di rumah Devan tempo h
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali isi rumah Lusi sudah sibuk. Meskipun hanya ijab kabul, tapi Lusi sampai memesan catering untuk tetangga yang mungkin saja datang. Maura yang ditugaskan untuk mengatur itu semua. Sementara Adiba mendampingi Lusi.Wanita itu bahkan dirias dan akan memakai kebaya. Benar-benar seperti seorang pengantin baru. Wajah Lusi terlihat sembirangah, tapi tidak dengan Adiba. Wanita itu harus mencoba memberikan air ajian pada sang wanita, mumpung belum ada yang datang.“Diba, apakah aku cantik?” tanya Lusi sembari menatap pantulan diri di cermin.“Iya, kamu cantik.”Adiba mengatakan itu sembari tersenyum kaku. Jantungnya berdegup kencang saat dia mengeluarkan air dari botol yang diberikan oleh Mila.“Oh iya, Lus. Sebelum ijab kabul, kamu minum dulu deh. Biar gak tegang dan gugup,” ucap Adiba memberikan alasan.Lusi menoleh pada Adiba, menatap gadis itu cukup lama dan malah membuat Adiba khawatir jika aksinya akan ketahuan oleh sang teman.“Ah, kamu bener banget! Ak
"Apa di otakmu itu hanya terpikirkan kalau aku ini berkhianat dan kejelekanku saja, Mila?" tanya Raka.Akhirnya Raka bersuara, sudah tidak kuasa. Tetapi dia berusaha untuk tetap mendam emosinya dengan berkata tanpa menaikkan nada bicara. "Bagaimana aku tidak curiga, Mas? Dan bagaimana aku tidak berpikir tentang kejelekanmu? Kamu tidak pamit kepadaku dan aku juga tidak tahu kamu pergi ke mana, ditambah kamu tidak menerima teleponku. Bagaimana aku bisa berpikiran positif kepadamu? Coba saja! Semua wanita dan istri di seluruh dunia akan berpikiran macam-macam kalau kamu melakukan hal itu, Mas!"Mila berucap dengan bahu naik turun, menandakan kalau wanita ini sedang benar-benar emosi. Raka memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosinya agar tidak meledak. Bagaimanapun wanita ini sedang mengandung anaknya. Dia tidak boleh membuat Mila stress dan akan berakibat fatal kepada anaknya itu. "Dengar, Mila. Aku sudah bilang kemarin, kan? Aku ke rumah Ibu." "Oh, ya? Mana buk
"Aaah, sial!"Mila berteriak sembari membanting semua barang-barang yang ada di kamarnya. Ini sudah jam 08.00 pagi, tapi dia belum mandi dan sarapan. Perutnya yang terasa lapar pun tak dipedulikan, dari tadi sudah termakan emosi. Padahal berkali-kali dia menghubungi Raka, tapi tak ada sahutan. Ditambah Maura juga tidak ada di sini.Kecurigaan menyeruak dalam dada, mungkin saja kedua orang itu kabur darinya dan meninggalkan Mila sendirian bersama anak yang ada dalam kandungan. Membayangkannya saja yang membuat dia merasa terbakar. Ingin sekali memaki atau menyakiti dua orang itu. "Kenapa tidak ada satu pun orang yang mengerti posisiku di sini?! Aku sedang hamil, tapi tak ada yang mau berusaha untuk mengikuti semua kemauanku!" seru Mila dengan berteriak.Dia mengacak rambutnya dan menangis. Ini benar-benar memuakkan untuknya. Harusnya Raka itu mengangkat telepon dan memberi kabar di mana sang pria berada. Tak masalah kalau misalkan pria itu pergi ke tempat lain, asalkan Raka memberi k
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan