Lusi keluar dari kamar Alia dengan lesu. Dia pun memilih untuk duduk dulu di meja makan dan mengambil minum. Hari ini dia benar-benar lelah, banyak sekali kejadian yang tidak pernah diduga. Dari mereka kedatangan Raka, lalu tiba-tiba saja Devan menyuruhnya untuk berhenti melanjutkan rencananya dan sekarang Alia yang tiba-tiba ingin bertemu dengan Raka. Padahal sebelumnya anak itu anti sekali membicarakan perihal Ayah kandungnya. Semua benar-benar di luar dugaan yang tidak bisa ditebak sama sekali. Bahkan dia tidak mungkin menghindar semua masalah ini sendirian. Wanita itu memijat pelipis yang berdenyut. Benar-benar membuatnya sangat pusing tujuh keliling sebab bisa seperti itu. Maura yang keluar dari kamar pun dan ingin mengambil camilan terdiam di ambang pintu dapur. Dia melihat dengan jelas kalau Lusi sedang duduk lesu. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu, tapi yang pasti Maura merasa senang. Karena itu artinya sang wanita sedang menghadapi masalah. Mungkin ini terl
"Kenapa, Maura? Ayo katakan sesuatu! Jangan membuatku curiga dengan gelagatmu yang seperti itu." Maura tersentak. Dia benar-benar tidak bisa berdiam diri lagi atau Lusi akan benar-benar mencurigai semuanya atau lebih parahnya lagi Lusi akan mamviralkan Maura seperti yang dilakukan wanita itu kepada kakaknya sendiri. Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak, bukan seperti itu, Mbak. Aku berpikir kalau misalkan ada pembantu baru, apa mungkin Alia bisa beradaptasi? Sementara Alia itu kan tidak mudah dekat dengan orang lain," ucap Maura.Dia harus berusaha membujuk Lusi, untuk tidak merekrut pembantu agar menginap di sana. Harus pulang pergi saja, dengan begitu dia tidak akan merasa terusik ataupun terancam dengan semua rencananya. "Bagaimana? Menurutmu kalau misalkan Alia tidak menerima pembantu itu? Aku harus meminta bantuan siapa?" tanya Lusi tidak habis pikir dengan pemikiran Maura. Gadis itu pun langsung menjawabnya, karena dia benar-benar harus juga meracuni pikiran Lusi agar
"Ya Tuhan! Masa kamu lupa sama teman sendiri, sih? Mentang-mentang sekarang sudah sukses," ucap orang di seberang sana, membuat Lusi mendesah. Kenapa dia malah mengungkit masalah kesuksesan?"Iya, bukan masalah itunya. Cuma kan kalau kita sering ketemu, aku akan hafal. Tapi masalahnya aku tidak tahu nomor ini dan mungkin kita sudah lama tidak bertemu. Aku minta maaf kalau misalkan menyinggungmu karena tidak ingat siapa kamu sebenarnya. Tapi, tolong katakan saja siapa kamu. Aku benar-benar lupa. Mohon maaf sekali," ujar Lusi, berusaha untuk mencari tahu orang yang di seberang sana. Karena dia benar-benar tidak mau menerka-nerka. Takutnya salah. Orang di seberang sana pun akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu. Aku Adiba," ucap seseorang yang ternyata adalah gadis. "Adiba?" gumam Lusi pelan, mengingat-ingat tentang siapa teman yang bernama Adiba. Lalu, tak lama kemudian Lusi pun melotot. Dia sampai berdiri dan berjalan menjauh dari kamar anaknya. Lusi akan kembali b
"Halo, siapa ini?" tanya Raka dengan sangat hati-hati, takut jika orang tersebut pernah dikenal atau itu seseorang yang jahil atau mungkin juga membahayakan bagi Raka. "Ini aku, Maura," ucap suara di seberang sana. Ternyata yang menelepon adalah Maura. Saat ini Maura sedang berada di taman belakang rumah Lusi. Dia harus hati-hati berbicara dengan pria itu, takut jika ketahuan oleh Lusi. Gadis itu ingin memberitahu kalau rencananya mulai berhasil, karena Alia sudah terhasut dengan ucapannya sendiri. "Maura? Kamu gadis yang di taman itu, kan?" tanya Raka lagi, memastikan. "Iya, Mas. Siapa lagi?" "Ada apa kamu malam-malam nelepon?" tanya Raka kaheranan. Karena dia pikir kalau Maura akan menghubunginya nanti pagi atau mungkin saat mereka bertemu di rumah Lusi. "Begini, Mas. Aku sudah menjalankan misi pertama." "Misi pertama apa?" Raka kembali bertanya, kebingungan karena memang sebelumnya mereka belum membicarakan apa pun rencana selanjutnya.Maura hanya mengatakan kalau dirinya s
"Mbak Lusi, sejak kapan ada di sini?" tanya Maura dengan suara terbata-bata. Dia tidak mungkin berdiam diri saja, sementara Lusi juga malah bungkam. Lusi meneliti wajah Maura. Dia tahu ada yang disembunyikan oleh anak ini, tapi entah apa. Bahkan wanita itu dengan serius meneliti apa yang sebenarnya lakukan Maura di malam hari, di belakang rumah pula. Wanita itu melipat tangan di depan dada, masih tetap mengawasi ekspresi Maura. "Mbak, kenapa melihatku seperti itu?" tanya Maura semakin ketakutan dan juga risi sebab dari tadi Lusi malah mau memandangnya sedemikian rupa.Ini benar-benar tidak nyaman untuknya. Tatapan itu dia dapatkan saat dirinya kepergok kala Maura itu adalah adiknya Mila. Tatapan yang mengintimidasi dan sangat menguliti, sampai gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, ketakutannya semakin mencuat bahkan tangannya juga semakin dingin. Dia merasa gemetar, apalagi dari tadi Lusi tidak pernah berpaling dari wajahnya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Maura?" tanya
"Wah, rumah kamu besar banget, ya, Lus? Kamu benar-benar luar biasa," ucap Adiba membuat Lusi tersenyum kaku. "Nggak, kok. Ini semua peninggalan ayahku. Kalau aku, tidak punya ini semua. Mana mungkin aku bisa membeli ini semua. Ayahku memberikan jaminan agar aku tidak hidup sengsara di masa depan."Semuanya benar, karena semua ini adalah pemberian dari Ayah Lusi, kecuali perusahaan percetakan dan penerbitan. Dia sendiri yang merintisnya sebelum menikah dengan Raka. Adiba tersenyum, dia ingin sekali membicarakan masalah mantan suami Lusi, tetapi gadis itu berpikir dua kali. Takut menyinggung perasaan temannya yang memang sudah lama tidak bertemu. Akhirnya dia pun hanya mengobrol-ngobrol tentang pekerjaan Adiba dan kehidupan mereka berdua selama bertahun-tahun. Sementara itu Maura masih melihat dari kejauhan. Dia benar-benar tidak suka dengan kedekatan Adiba dan Lusi. Ini sangat mengganggu Maura. Dia takut kalau Adiba itu akan menjadi batu sandungan untuknya atau bisa-bisa penghancur
Lusi diam sejenak. Dia sama sekali tidak mengatakan apa yang ingin diutarakan. Sepertinya wanita itu terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan, membuat Adiba keheranan sendiri, karena temannya malah diam. "Loh, kok malah diam? Katanya mau minta bantuan? Apa? Sebut aja, kalau aku bisa bantu kamu pasti aku bantu, kok," ucap Adiba.Wanita itu tersenyum kikuk, kemudian menggelengkan kepala. "Nanti saja aku bicaranya, sebaiknya kamu istirahat aja." "Loh, kok gitu? Nggak apa-apa. Lagian, aku juga dari tadi kan di taksi, terus ketiduran. Untung saja Bapak sopirnya baik. Aku hanya menyebutkan alamatmu dan dia langsung mengantarkannya ke sini," ujar Adiba, karena memang sebelumnya seperti itu. Dia sempat ketiduran di taksi dari bandara. Untunglah sopir yang mengendarai taksi itu sangat baik, sampai dia membangunkan di tempat tujuan. Padahal zaman sekarang itu sudah sekali mendapatkan orang yang baik seperti tadi. Kebaikan sedang menghampiri Adiba. Jadi, dia pun ingin melakukan kebaikan lagi
Pukul 10 malam, Maura terbangun karena rasa haus yang mendera. Biasanya gadis itu akan menyiapkan minuman di pinggir nakas kasur, tapi mungkin karena hari ini ada kedatangan tamu dan perasaan yang tidak karuan sebab diintrogasi oleh Lusi tadi, akhirnya gadis itu lupa untuk mengisi air minum. Dia pun memilih untuk segera pergi ke dapur, karena yakin kalau jam 10 malam rumah akan kosong. Di saat terduduk, dia jadi teringat kenapa tidak malam saja dia menelepon Raka? Saat orang-orang sudah terlelap. Jadi, sudah dipastikan tidak ada yang bisa mengganggunya atau dicurigai oleh Lusi.Dia menyimpan dulu ide itu dan harus secepatnya mengambil air minum. Saat sampai di dapur, betapa terkejutnya Maura saat melihat ada seorang perempuan yang sedang duduk di meja makan sembari memakan camilan. Dia sampai berdiri di ambang pintu dan hampir saja memecahkan gelas yang ada di tangan. Maura pun langsung menghampiri dan bertanya. Takut jika yang dilihatnya itu hantu atau mungkin hanya bayangan saja.
Pria itu ternyata David. Dia melihat sosok Lusi yang begitu cantik dengan pakaian resmi. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Ingin sekali pria itu mengenalkan diri sebagai David. Tetapi sayangnya pasti akan terlalu frontal dan mungkin membuat wanita itu ilfeel kepadanya. Jadi, David pun tiba-tiba saja berpikir untuk mengganti namanya sementara waktu, sampai dia bisa benar-benar mendekati dan mendapatkan hati Lusi. "Perkenalkan nama saya Damian. Saya tetangga baru di sebelah sana," ucap David sembari menunjuk rumah di pinggir Bu melati.Alia, Lusi, dan Adiba menoleh. Sementara Bu Melati mengangguk-anggukan kepala. "Oh, jadi ini yang mengontrak rumah sebelah?" tanya Bu Melati, memastikan.Memang rumah sebelah Bu Melati sudah lama kosong. Bahkan pemiliknya sama sekali tidak mengurus rumah itu dan hampir terlihat seperti bangunan terbengkalai, tetapi Bu Melati tidak menyangka kalau ada penyewa di sana. Bahkan tersebar gosip kalau ada hantu di sana, tetapi Bu Melati memilih untuk
Pagi-pagi sekali Lusi sudah bersiap dengan pakaian rapi. Tampak sekali seperti akan menghadiri suatu acara. Adiba yang melihatnya pun keheranan. "Kamu mau ke mana?" tanya Adiba sambil menenteng cangkir berisi teh hangat dan duduk di depan Lusi yang ada di ruang makan.Belum juga menjawab, datanglah Alia dengan seragam sekolah. Lusi menyapa Alia dulu sebelum menjawab Adiba dan memilih untuk berbicara dengan Alia dulu. Wanita itu menyiapkan makanan untuk anak tercinta. "Sarapan, ya, Sayang."Alia tersenyum mendengar itu. Hanya ada mereka bertiga di sana. Bu Melati sedang di luar, menyapu halaman. Dia akan makan setelah ketiga wanita berbeda usia itu sarapan, karena menurutnya akan lebih tenang jika pekerjaan rumah selesai dan beres."Jadi, kamu mau kerja di tempat Pak David?" tanya Adiba lagi, yang membuat Lusi terdiam. Seperti sedang berpikir sejenak. "Mungkin di tempat lain aja kali, ya?" "Kok gitu? Kalau aku jadi kamu, pasti aku terima kerjaannya." "Masalahnya bisa itu pasti m
Suara ketukan pintu di kamar Alia membuat gadis itu menoleh, ternyata Lusi sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman merekah. "Ibu boleh masuk?" tanya Lusi yang langsung diangguki oleh gadis kecil itu. Sang wanita ingin bercerita, meminta izin kepada anaknya untuk bekerja. Bagaimanapun saat ini yang tersisa hanyalah Alia. Satu-satunya keluarga yang bisa diandalkan dan alasan Lusi bisa bersemangat sampai hari ini."Apakah Ibu mengganggu kamu?" Alias tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Enggak kok, Bu. Aku baru selesai mengerjakan PR." Lusi tersenyum sembari mengurus kepala anak itu. "Bagaimana sekolahnya? Apa sudah punya teman?""Iya, aku udah punya teman. Mereka pada baik kok, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Tidak ada yang bertanya tentang Ibu atau Ayah?" Seketika Alia terdiam. Dia tidak memperlihatkan kesedihan atau kesenangan. "Enggak ada teman-teman Alia juga nggak pernah nanyain Ayah kerja di mana, Ibu kerja. Mereka semua baik," ungkap Alia, membuat Lusi menghela na
"Bukan masalah itunya, Adiba. Mau perusahaan hebat atau tidak, bukan. Bukan itu yang lebih utamanya. Aku sudah punya usaha sendiri, hanya ingin mengisi waktu luang bukan menyibukkan diri dan tidak ada waktu untuk anakku," ujar Lusi menjelaskan. Dia tidak mau terlalu larut dalam dunia sendiri. Sementara ada anak yang harus diurus olehnya. "Ya, kalau gitu di rumah saja," ucap Adiba, akhirnya memberikan solusi. "Tetapi akan bosan kalau aku di sini terus. Kamu tahu kan, setiap hari aku biasanya itu punya kegiatan. Kalau misalkan hanya berdiam diri juga waktuku terbuang percuma.""Ya sudah, kalau begitu terima saja tawarannya," ujar Adiba lagi, lama-lama kesel sendiri dengan kelakuan sahabatnya ini. "Tapi, bagaimana dengan Alia?" Adiba berdecak sembari duduk di samping temannya itu. "Percaya deh sama aku, Alia juga pasti senang kalau kamu punya kegiatan. Yang penting kan kamu pasti punya waktu sama Alia, ditambah lagi sekarang ada ibuku. Bisa saja Alia main sama Ibu. Anggap dia main
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu