"Kenapa, Maura? Ayo katakan sesuatu! Jangan membuatku curiga dengan gelagatmu yang seperti itu." Maura tersentak. Dia benar-benar tidak bisa berdiam diri lagi atau Lusi akan benar-benar mencurigai semuanya atau lebih parahnya lagi Lusi akan mamviralkan Maura seperti yang dilakukan wanita itu kepada kakaknya sendiri. Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak, bukan seperti itu, Mbak. Aku berpikir kalau misalkan ada pembantu baru, apa mungkin Alia bisa beradaptasi? Sementara Alia itu kan tidak mudah dekat dengan orang lain," ucap Maura.Dia harus berusaha membujuk Lusi, untuk tidak merekrut pembantu agar menginap di sana. Harus pulang pergi saja, dengan begitu dia tidak akan merasa terusik ataupun terancam dengan semua rencananya. "Bagaimana? Menurutmu kalau misalkan Alia tidak menerima pembantu itu? Aku harus meminta bantuan siapa?" tanya Lusi tidak habis pikir dengan pemikiran Maura. Gadis itu pun langsung menjawabnya, karena dia benar-benar harus juga meracuni pikiran Lusi agar
"Ya Tuhan! Masa kamu lupa sama teman sendiri, sih? Mentang-mentang sekarang sudah sukses," ucap orang di seberang sana, membuat Lusi mendesah. Kenapa dia malah mengungkit masalah kesuksesan?"Iya, bukan masalah itunya. Cuma kan kalau kita sering ketemu, aku akan hafal. Tapi masalahnya aku tidak tahu nomor ini dan mungkin kita sudah lama tidak bertemu. Aku minta maaf kalau misalkan menyinggungmu karena tidak ingat siapa kamu sebenarnya. Tapi, tolong katakan saja siapa kamu. Aku benar-benar lupa. Mohon maaf sekali," ujar Lusi, berusaha untuk mencari tahu orang yang di seberang sana. Karena dia benar-benar tidak mau menerka-nerka. Takutnya salah. Orang di seberang sana pun akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu. Aku Adiba," ucap seseorang yang ternyata adalah gadis. "Adiba?" gumam Lusi pelan, mengingat-ingat tentang siapa teman yang bernama Adiba. Lalu, tak lama kemudian Lusi pun melotot. Dia sampai berdiri dan berjalan menjauh dari kamar anaknya. Lusi akan kembali b
"Halo, siapa ini?" tanya Raka dengan sangat hati-hati, takut jika orang tersebut pernah dikenal atau itu seseorang yang jahil atau mungkin juga membahayakan bagi Raka. "Ini aku, Maura," ucap suara di seberang sana. Ternyata yang menelepon adalah Maura. Saat ini Maura sedang berada di taman belakang rumah Lusi. Dia harus hati-hati berbicara dengan pria itu, takut jika ketahuan oleh Lusi. Gadis itu ingin memberitahu kalau rencananya mulai berhasil, karena Alia sudah terhasut dengan ucapannya sendiri. "Maura? Kamu gadis yang di taman itu, kan?" tanya Raka lagi, memastikan. "Iya, Mas. Siapa lagi?" "Ada apa kamu malam-malam nelepon?" tanya Raka kaheranan. Karena dia pikir kalau Maura akan menghubunginya nanti pagi atau mungkin saat mereka bertemu di rumah Lusi. "Begini, Mas. Aku sudah menjalankan misi pertama." "Misi pertama apa?" Raka kembali bertanya, kebingungan karena memang sebelumnya mereka belum membicarakan apa pun rencana selanjutnya.Maura hanya mengatakan kalau dirinya s
"Mbak Lusi, sejak kapan ada di sini?" tanya Maura dengan suara terbata-bata. Dia tidak mungkin berdiam diri saja, sementara Lusi juga malah bungkam. Lusi meneliti wajah Maura. Dia tahu ada yang disembunyikan oleh anak ini, tapi entah apa. Bahkan wanita itu dengan serius meneliti apa yang sebenarnya lakukan Maura di malam hari, di belakang rumah pula. Wanita itu melipat tangan di depan dada, masih tetap mengawasi ekspresi Maura. "Mbak, kenapa melihatku seperti itu?" tanya Maura semakin ketakutan dan juga risi sebab dari tadi Lusi malah mau memandangnya sedemikian rupa.Ini benar-benar tidak nyaman untuknya. Tatapan itu dia dapatkan saat dirinya kepergok kala Maura itu adalah adiknya Mila. Tatapan yang mengintimidasi dan sangat menguliti, sampai gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, ketakutannya semakin mencuat bahkan tangannya juga semakin dingin. Dia merasa gemetar, apalagi dari tadi Lusi tidak pernah berpaling dari wajahnya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Maura?" tanya
"Wah, rumah kamu besar banget, ya, Lus? Kamu benar-benar luar biasa," ucap Adiba membuat Lusi tersenyum kaku. "Nggak, kok. Ini semua peninggalan ayahku. Kalau aku, tidak punya ini semua. Mana mungkin aku bisa membeli ini semua. Ayahku memberikan jaminan agar aku tidak hidup sengsara di masa depan."Semuanya benar, karena semua ini adalah pemberian dari Ayah Lusi, kecuali perusahaan percetakan dan penerbitan. Dia sendiri yang merintisnya sebelum menikah dengan Raka. Adiba tersenyum, dia ingin sekali membicarakan masalah mantan suami Lusi, tetapi gadis itu berpikir dua kali. Takut menyinggung perasaan temannya yang memang sudah lama tidak bertemu. Akhirnya dia pun hanya mengobrol-ngobrol tentang pekerjaan Adiba dan kehidupan mereka berdua selama bertahun-tahun. Sementara itu Maura masih melihat dari kejauhan. Dia benar-benar tidak suka dengan kedekatan Adiba dan Lusi. Ini sangat mengganggu Maura. Dia takut kalau Adiba itu akan menjadi batu sandungan untuknya atau bisa-bisa penghancur
Lusi diam sejenak. Dia sama sekali tidak mengatakan apa yang ingin diutarakan. Sepertinya wanita itu terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan, membuat Adiba keheranan sendiri, karena temannya malah diam. "Loh, kok malah diam? Katanya mau minta bantuan? Apa? Sebut aja, kalau aku bisa bantu kamu pasti aku bantu, kok," ucap Adiba.Wanita itu tersenyum kikuk, kemudian menggelengkan kepala. "Nanti saja aku bicaranya, sebaiknya kamu istirahat aja." "Loh, kok gitu? Nggak apa-apa. Lagian, aku juga dari tadi kan di taksi, terus ketiduran. Untung saja Bapak sopirnya baik. Aku hanya menyebutkan alamatmu dan dia langsung mengantarkannya ke sini," ujar Adiba, karena memang sebelumnya seperti itu. Dia sempat ketiduran di taksi dari bandara. Untunglah sopir yang mengendarai taksi itu sangat baik, sampai dia membangunkan di tempat tujuan. Padahal zaman sekarang itu sudah sekali mendapatkan orang yang baik seperti tadi. Kebaikan sedang menghampiri Adiba. Jadi, dia pun ingin melakukan kebaikan lagi
Pukul 10 malam, Maura terbangun karena rasa haus yang mendera. Biasanya gadis itu akan menyiapkan minuman di pinggir nakas kasur, tapi mungkin karena hari ini ada kedatangan tamu dan perasaan yang tidak karuan sebab diintrogasi oleh Lusi tadi, akhirnya gadis itu lupa untuk mengisi air minum. Dia pun memilih untuk segera pergi ke dapur, karena yakin kalau jam 10 malam rumah akan kosong. Di saat terduduk, dia jadi teringat kenapa tidak malam saja dia menelepon Raka? Saat orang-orang sudah terlelap. Jadi, sudah dipastikan tidak ada yang bisa mengganggunya atau dicurigai oleh Lusi.Dia menyimpan dulu ide itu dan harus secepatnya mengambil air minum. Saat sampai di dapur, betapa terkejutnya Maura saat melihat ada seorang perempuan yang sedang duduk di meja makan sembari memakan camilan. Dia sampai berdiri di ambang pintu dan hampir saja memecahkan gelas yang ada di tangan. Maura pun langsung menghampiri dan bertanya. Takut jika yang dilihatnya itu hantu atau mungkin hanya bayangan saja.
"Mbak, ngomong apa, sih? Kenapa tiba-tiba saja menyerang saya seperti itu?! Kita kan baru saja kenal. Harusnya Mbak tidak boleh bertanya hal yang sensitif seperti tadi," ucap Maura berusaha untuk mengelak dari apa pun yang dituduhkan oleh Adiba. Sementara itu Adiba hanya tersenyum miring. Dia mendesah kasar sembari menggeleng-gelengkan kepala, tak lupa menyadarkan punggung ke sandaran kursi yang ada di sana. Setelahnya gadis itu mengetuk-ngetukkan jari sembari tetap menatap Maura sedemikian rupa, sehingga Maura tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Adiba saat ini. "Bagus sekali, Maura. Ternyata sifat aslimu seperti ini, ya? Apakah Lusi tahu kalau kamu manipulatif seperti sekarang, hah?!"Maura terdiam. Untuk pertama kalinya ada yang menyerangnya sebagai seorang manipulatif. Padahal selama ini dia itu hanya terdiam, menerima segala siksaan dari kedua orang tuanya. Lalu tiba-tiba saja kalau dirinya melawan dan tidak suka atas apa yang dilakukan orang lain kepadanya. Apakah