Di seberang sana, Bu Sinta terkesiap mendengar suara ponsel berdering berapa kali. Walaupun perabotan rumahnya sudah dijual, tetapi Bu Sinta masih punya HP. Meskipun model dulu, ini adalah satu-satunya ponsel dia untuk berhubungan dengan anaknya. Dia kaget karena ada nomor baru yang tertera di sana. Ini bukan nomor Hp, melainkan nomor telepon. Wanita itu mulai kebingungan, karena sudah beberapa kali ponselnya terus berdering. Untunglah saat ini suaminya sedang keluar, jadi dia bisa leluasa mengangkat telepon. Ada rasa takut jika orang yang menelponnya itu adalah rentenir. Tetapi kalau tidak diangkat juga dia penasaran, mengingat saat ini Maura dan Mila ada di luar sana. Bu Sinta jadi berpikir kemungkinan besar itu adalah Maura yang menelepon. Walaupun masih ragu, tetapi akhirnya Bu Sinta pun menerima telepon dari seberang sana. "Halo," ucap Bu Sinta dengan pelan-pelan. Ini diantisipasi kalau di seberang sana itu adalah rentenir. Jadi dia bisa langsung menutup panggilan.Namun kala
"Memang apa yang Ibu ingin katakan? Katakan saja. Waktuku tidak banyak," ujar Mila.Sekarang sipir yang melihatnya itu mulai kesal, tampak sekali raut wajahnya. Semu sebab dari tadi Mila belum selesai bertelepon. "Kami akan membebaskan kamu, tapi kamu harus melunasi hutang-hutang kami," pinta Bu Sinta membuat Mila terkesiap. Wanita hamil itu sampai tidak bisa bergerak dalam beberapa detik, lalu dia tersadarkan saat Ibu Sinta kembali memanggil nama Mila. Sang wanita tersenyum getir, ternyata di saat seperti ini pun ibunya masih meminta sesuatu yang mestinya tidak pernah dia lakukan. "Kenapa, Bu? Apakah Ayah berhutang lagi? Ibu dan Ayah terlilit hutang, lalu tidak tahu harus membayarnya pakai apa. Apakah Ibu juga akan menjualku lagi?" tanya Mila, membuat Bu Sinta terdiam. Wanita hamil itu jadi teringat beberapa tahun silam, saat dia baru mau duduk di bangku SMA. Karena itu juga alasan Mila akhirnya memilih untuk pergi ke Jakarta dan merantau, bersekolah dengan tabungan yang ada semb
Suara ketukan pintu membuat Maura terkesiap. Kala itu sang gadis sedang bermain dengan Alia di ruang tamu. Kedua gadis berbeda usia saling pandang, mereka seolah bertanya dalam diam. Ketukan kedua membuat Maura semakin kaget."Kak, sepertinya ada tamu," ucap Alia yang diangguki oleh Maura.Sebenarnya dia tidak berani membuka pintu, takutnya itu adalah mantan mertuanya Lusi. Karena sebelumnya wanita itu sudah memperingatkan Maura agar tidak membukakan pintu untuk Bu Sinta apalagi Raka. Tetapi rasanya mustahil sebab Raka dipenjara. "Ya sudah, begini saja. Alia tunggu di sini. Biar Kakak yang buka, ya?" ucap Maura dengan wajah tegang. Dia benar-benar khawatir jika orang yang di depan itu adalah Bu Sinta. Dengan jantung yang berdetak kencang, gadis itu pun akhirnya membuka pintu. Maura terkesiap melihat sosok di depannya begitu tampan dan menawan, usianya juga pasti matang. Sesaat Maura terpukau dengan pesona Devan. Ya, yang ada di depan itu adalah Devan. Sang pria pun merasa aneh dan
"Devan?" gumam Lusi secara tidak sengaja mengucapkan nama itu, sampai dia yang mendengar namanya disebut langsung tersentak. Devan seolah tersadarkan dari lamunannya sendiri. Dia berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin, walaupun hatinya merasa sakit melihat keadaan Lusi saat ini. Sementara itu Maura yang melihat interaksi antara keduanya pun masih tetap diam di tempat, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tetap di sana.Harusnya gadis itu pergi dan menyiapkan minuman atau camilan untuk tamu, tetapi perasaan sebelumnya yang sangat kagum kepada sosok Devan membuat Maura terdorong untuk tetap di sana, menonton apa yang akan terjadi selanjutnya antara Lusi dan Devan. "Ya, ini aku Devan. Kamu masih ingat, kan?" tanya Devan berusaha untuk menghibur Lusi dengan candaan seperti itu. Lusi terdiam sejenak. Lalu tak lama kemudian terkekeh sembari menggelengkan kepala. "Tentu saja aku ingat. Ya sudah, duduklah," ucap Lusi mempersilakan Devan untuk kembali duduk, karena sebelumnya dia itu
Devan berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin. Sepertinya dia harus mencari cara lain agar Lusi tidak terus-terusan memberikan kata-kata pedas atau dia akan benar-benar mati kutu dan tidak bisa melakukan apa pun lagi di depan wanita itu. Devan menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan diri. Pikirannya harus tenang, karena kalau tidak, dia akan benar-benar merasa terpojokkan. "Iya, Lus. Maaf kalau kedatanganku itu membuatmu tidak nyaman. Aku memang tidak punya sangkut paut denganmu, aku juga tidak punya hak mencampuri urusanmu. Tetapi aku tidak bisa diam saja melihat orang yang sangat kukenal baik berubah seperti ini." Mendengar itu tubuh Lusi yang sebelumnya santai, langsung menegang. Dia tidak menyangka kalau Devan bisa membalikkan ucapannya seperti itu. Tetapi Lusi tidak mau lemah. Sudah cukup dia berbaik hati kepada lawan jenis dan pada akhirnya wanita itu tetap dikhianati juga disakiti. Jadi, Lusi akan tetap membuat benteng pertahanan yang sangat kuat agar tidak ada la
Lusi tersenyum miring. Dia lalu melipat tangan di depan dada dengan perasaan kesal. Lusi tahu, kalau Devan itu sebenarnya punya niat baik untuknya. Tetapi sayangnya Lusi tidak suka cara penyampaian Devan seperti itu, seolah-olah menceramahi dan memojokkan Lusi. Kalau memang mau menyadarkan Lusi, bukan begini caranya. Cari cara yang sekiranya tidak membuat Lusi tersinggung. Wanita itu benar-benar kesal."Terima kasih atas semua niat baikmu untuk menyadarkanku, Devan. Tapi sekali lagi aku bilang, kamu tidak tahu posisiku saat ini. Kamu tidak merasakan bagaimana dikhianati oleh dua orang yang kupercaya sekaligus. Ditambah lagi mertuaku sendiri juga menginginkan Alia dengan paksa. Kamu tidak tahu, kan, kalau ibunya Mas Raka itu pernah ingin menculik Alia?" tanya Lusi dengan sarkas, juga nada kesal. Devan langsung terkesiap, tentu saja pria itu tidak tahu masalah yang disebutkan Lusi, sampai akhirnya Lusi kembali tersenyum miring. "Kalau begitu diam dan jangan ikut campur urusanku. Kit
"Tapi, Lusi ...." "Pergilah, Devan. Aku mohon, jangan membuat aku semakin marah dengan kedatanganmu. Aku tidak mau merusak hubungan baik kita. Jangan pernah berharap apa pun dariku, karena sampai kapan pun juga aku tidak akan mau berhubungan dengan siapa pun. Entah sampai kapan, tetapi untuk sekarang aku hanya ingin fokus kepada Alia," papar Lusi begitu tegas memberikan ultimatum kepada Devan. Sementara pria itu tampak sedih mendengar pernyataan dari wanita yang ada di depannya. Padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki keadaan, membantu Lusi untuk keluar dari kubangan kesakitan. Tetapi ternyata wanita itu memilih untuk memelihara luka dan membiarkan semua perasaan sakitnya merajalela di hati.Devan tidak punya pilihan lain, akhirnya pria itu pun memilih untuk berbalik. Sementara itu Maura langsung berdiri. Dia kembali mengambil nampan dan berjalan cepat ke ruang tamu sebelum Devan benar-benar hilang di balik pintu. Gadis itu tiba-tiba saja menyerukan sang pria. "
Di saat Maura dan Devan sedang berbicara, Alia tampak melihat mereka dari jendela. Sebelumnya gadis kecil itu hendak menghampiri Devan dan ingin berbicara banyak dengan pria itu, tetapi ternyata saat sudah sampai di ruang tamu, dia tidak mendapati satu orang pun. Alia menautkan kedua alis. Dia bingung karena tak melihat kedua orang itu, sedang rasa penasaran dari seorang gadis kecil itu pun menyeruak. Tadinya Alia ingin langsung menghampiri mereka berdua, tetapi saat melihat ibunya bersedih di kamar, akhirnya Alia mengurungkan niat dan memilih untuk berbicara dengan ibunya saja. Sebelumnya Lusi pun memberitahu Alia, jika sedang ada tamu atau orang dewasa sedang berbicara jangan diganggu, karena itu tidak sopan. Dari itulah Alia pun memilih lapor saja kepada Lusi. Ibunya itu sedang berdiam diri di kamar, menatap lurus ke depan. Lusi benar-benar syok mendengar pernyataan dari Devan. Padahal sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi ternyata cinta pertamanya masih memendam perasaan. Lalu