"Devan?" gumam Lusi secara tidak sengaja mengucapkan nama itu, sampai dia yang mendengar namanya disebut langsung tersentak. Devan seolah tersadarkan dari lamunannya sendiri. Dia berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin, walaupun hatinya merasa sakit melihat keadaan Lusi saat ini. Sementara itu Maura yang melihat interaksi antara keduanya pun masih tetap diam di tempat, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tetap di sana.Harusnya gadis itu pergi dan menyiapkan minuman atau camilan untuk tamu, tetapi perasaan sebelumnya yang sangat kagum kepada sosok Devan membuat Maura terdorong untuk tetap di sana, menonton apa yang akan terjadi selanjutnya antara Lusi dan Devan. "Ya, ini aku Devan. Kamu masih ingat, kan?" tanya Devan berusaha untuk menghibur Lusi dengan candaan seperti itu. Lusi terdiam sejenak. Lalu tak lama kemudian terkekeh sembari menggelengkan kepala. "Tentu saja aku ingat. Ya sudah, duduklah," ucap Lusi mempersilakan Devan untuk kembali duduk, karena sebelumnya dia itu
Devan berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin. Sepertinya dia harus mencari cara lain agar Lusi tidak terus-terusan memberikan kata-kata pedas atau dia akan benar-benar mati kutu dan tidak bisa melakukan apa pun lagi di depan wanita itu. Devan menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan diri. Pikirannya harus tenang, karena kalau tidak, dia akan benar-benar merasa terpojokkan. "Iya, Lus. Maaf kalau kedatanganku itu membuatmu tidak nyaman. Aku memang tidak punya sangkut paut denganmu, aku juga tidak punya hak mencampuri urusanmu. Tetapi aku tidak bisa diam saja melihat orang yang sangat kukenal baik berubah seperti ini." Mendengar itu tubuh Lusi yang sebelumnya santai, langsung menegang. Dia tidak menyangka kalau Devan bisa membalikkan ucapannya seperti itu. Tetapi Lusi tidak mau lemah. Sudah cukup dia berbaik hati kepada lawan jenis dan pada akhirnya wanita itu tetap dikhianati juga disakiti. Jadi, Lusi akan tetap membuat benteng pertahanan yang sangat kuat agar tidak ada la
Lusi tersenyum miring. Dia lalu melipat tangan di depan dada dengan perasaan kesal. Lusi tahu, kalau Devan itu sebenarnya punya niat baik untuknya. Tetapi sayangnya Lusi tidak suka cara penyampaian Devan seperti itu, seolah-olah menceramahi dan memojokkan Lusi. Kalau memang mau menyadarkan Lusi, bukan begini caranya. Cari cara yang sekiranya tidak membuat Lusi tersinggung. Wanita itu benar-benar kesal."Terima kasih atas semua niat baikmu untuk menyadarkanku, Devan. Tapi sekali lagi aku bilang, kamu tidak tahu posisiku saat ini. Kamu tidak merasakan bagaimana dikhianati oleh dua orang yang kupercaya sekaligus. Ditambah lagi mertuaku sendiri juga menginginkan Alia dengan paksa. Kamu tidak tahu, kan, kalau ibunya Mas Raka itu pernah ingin menculik Alia?" tanya Lusi dengan sarkas, juga nada kesal. Devan langsung terkesiap, tentu saja pria itu tidak tahu masalah yang disebutkan Lusi, sampai akhirnya Lusi kembali tersenyum miring. "Kalau begitu diam dan jangan ikut campur urusanku. Kit
"Tapi, Lusi ...." "Pergilah, Devan. Aku mohon, jangan membuat aku semakin marah dengan kedatanganmu. Aku tidak mau merusak hubungan baik kita. Jangan pernah berharap apa pun dariku, karena sampai kapan pun juga aku tidak akan mau berhubungan dengan siapa pun. Entah sampai kapan, tetapi untuk sekarang aku hanya ingin fokus kepada Alia," papar Lusi begitu tegas memberikan ultimatum kepada Devan. Sementara pria itu tampak sedih mendengar pernyataan dari wanita yang ada di depannya. Padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki keadaan, membantu Lusi untuk keluar dari kubangan kesakitan. Tetapi ternyata wanita itu memilih untuk memelihara luka dan membiarkan semua perasaan sakitnya merajalela di hati.Devan tidak punya pilihan lain, akhirnya pria itu pun memilih untuk berbalik. Sementara itu Maura langsung berdiri. Dia kembali mengambil nampan dan berjalan cepat ke ruang tamu sebelum Devan benar-benar hilang di balik pintu. Gadis itu tiba-tiba saja menyerukan sang pria. "
Di saat Maura dan Devan sedang berbicara, Alia tampak melihat mereka dari jendela. Sebelumnya gadis kecil itu hendak menghampiri Devan dan ingin berbicara banyak dengan pria itu, tetapi ternyata saat sudah sampai di ruang tamu, dia tidak mendapati satu orang pun. Alia menautkan kedua alis. Dia bingung karena tak melihat kedua orang itu, sedang rasa penasaran dari seorang gadis kecil itu pun menyeruak. Tadinya Alia ingin langsung menghampiri mereka berdua, tetapi saat melihat ibunya bersedih di kamar, akhirnya Alia mengurungkan niat dan memilih untuk berbicara dengan ibunya saja. Sebelumnya Lusi pun memberitahu Alia, jika sedang ada tamu atau orang dewasa sedang berbicara jangan diganggu, karena itu tidak sopan. Dari itulah Alia pun memilih lapor saja kepada Lusi. Ibunya itu sedang berdiam diri di kamar, menatap lurus ke depan. Lusi benar-benar syok mendengar pernyataan dari Devan. Padahal sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi ternyata cinta pertamanya masih memendam perasaan. Lalu
Saat Maura masuk ke rumah, dia dikagetkan dengan sosok Lusi yang sudah berdiri di ambang pintu utama. Wanita itu melipat tangan di depan dada sembari berekspresi dingin. Sebelumnya Lusi sudah selesai memasak dan hanya menyiapkan menu sederhana saja, jadi tidak perlu memakan waktu banyak. Maura wajahnya terlihat gugup dan itu bisa diteliti oleh Lusi secara langsung."Mbak ada di sini?" tanya Maura tiba-tiba saja, membuat Lusi tersenyum miring. Terlihat sekali kalau gadis ini tampak ketakutan."Tentu saja. Ini kan rumahku. Menurut kamu apa yang aku lakukan di sini?" jawab Lusi dengan jutek, berhasil membuat sisi keberanian Maura langsung menciut.Tampaknya Maura sudah tahu apa yang membuat Lusi seperti ini. Pertanyaan pun muncul di benak sang gadis. Mungkinkah Lusi melihat pembicaraannya dengan Devan? Tetapi gadis itu tidak berani mengajukan pertanyaan dan memilih untuk diam."Apa yang kamu lakukan tadi bersama Devan?" tanya Lusi, spontanitas, karena dia tidak mau berbasa-basi lagi se
"Itu ...." Maura menggantungkan ucapannya sejenak. Dia masih memikirkan apa jawaban yang baik untuk dilontarkan kepada Lusi. Karena sekalinya salam berucap, maka nasib Maura dipertaruhkan. Dia tidak mau sampai kembali lagi kepada kedua orang tuanya atau malah berakhir di jalanan. Dengan terpaksa gadis itu sepertinya harus menutupi perasaannya sendiri di depan Lusi. Maura tidak tahu sebenarnya bagaimana perasaan Lusi kepada Devan, mengingat kalau Lusi itu adalah cinta pertama Devan. Mungkin saja pria itu juga termasuk cinta pertama wanita yang ada di depannya ini. Semua itu membuat Maura mau tidak mau harus menelan lagi kesakitan yang sama, berpura-pura tidak merasakan apa pun demi bertahan hidup di sini. Katakanlah tidak tahu diri. Tetapi hanya ini yang bisa Maura lakukan, daripada masuk ke lubang buaya, lebih baik dia dipenjara dalam sangkar emas yang Lusi buat. Begitu perumpamaan posisi Maura saat ini."Kenapa malah berpikir? Cepat katakan! Apakah kamu punya perasaan kepada Devan
"Aku benar-benar tidak menyangka mendapat kabar darimu dan kamu tiba-tiba saja ingin bertemu denganku. Ini sangat luar biasa. Sungguh, aku sangat senang," ucap Devan setelah dia terduduk saling berhadapan dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Lusi tidak menjawab atau menimpali setiap perkataan dari Devan, ingin tahu saja apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya, setelah tahu kalau dirinya mengatakan bertemu secara dadakan. "Syukurlah kalau kamu memang senang dengan pertemuan ini. Semoga saja kamu juga akan tetap tersenyum seperti itu setelah apa yang akan kukatakan nanti," timpal Lusi yang membuat senyuman di wajah Devan luntur, karena saat ini pria itu merasa kalau Lusi akan mengatakan sesuatu yang membuatnya khawatir. Entah kenapa perasaannya juga tiba-tiba saja tak enak hati. Mungkinkah Lusi akan mengatakan sesuatu yang bisa membuat Devan down? Pria itu tidak mau menebak-nebak dulu dan memilih untuk diam, menunggu apa yang akan dikatakan Lusi selanjutnya. "Memang apa y
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,