"Lusi, apa yang kamu lakukan di sini?!" seru pria itu yang tidak lain adalah Raka. Benar, beberapa menit sebelumnya Raka memang sudah dibebaskan oleh Bu Sinta. Ini semua berkat uang jaminan yang diberikan oleh By Sinta beserta pengacara yang sudah disewa oleh wanita paruh baya itu. Sebenarnya Bu Sinta berat hati menjual semua barang-barang branded dan baju-baju mahalnya itu, hanya untuk menebus Raka. Tetapi kalau bukan dia, siapa lagi? Sementara Bu Sinta tidak punya siapa-siapa selain Raka. Kalau dia membiarkan Raka tetap ada di penjara, maka sama saja dengan membuat Bu Sinta semakin melarat. Karena mau tidak mau wanita itu pun harus tetap menjual barang-barangnya demi menutupi kebutuhan hidup. Dia tidak bekerja dan juga tidak mungkin meminta uang lagi kepada Lusi yang sudah menjadi mantan menantunya. Saat dia dan Raka berada di jalan memakai taksi, pria itu tidak sengaja melihat Lusi keluar dari kafe. Yang lebih membuat hati Raka memanas adalah Lusi sedang berpegangan tangan bersa
"Apa yang kamu katakan barusan, Mas?" tanya Lusi. Dia benar-benar tidak bisa diam saja. Lusi pun maju, dia menggeser posisi Devan yang sebelumnya menghalanginya. Raka terdiam dengan wajah serius. Dia harus mengutarakan semua niatnya, sampai bisa bebas seperti ini. Apa pun yang terjadi Raka harus tetap mendapatkan Lusi kembali, karena saat ini secara terang-terangan ada pria yang ingin mendapatkan Lusi dan tentu saja Raka tidak ikhlas, apalagi jika Alia menyebut Devan sebagai Ayah. Itu akan semakin menyakiti Raka. Dia tidak akan terima sampai kapan pun jika itu terjadi. "Aku akan mendapat kamu, Lusi. Kesalahan besar karena aku sudah menuruti kemauanmu untuk bercerai. Benar kata Ibu, aku bisa menyelesaikan semuanya tanpa harus bercerai. Aku juga sudah bilang sebelumnya akan membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungan Mila itu bukan anakku." Lusi menggelengkan kepala sembari menghela napas kasar. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut. Kenapa jadi seperti ini? Lusi tidak memperkira
"Aku akan menemui Alia, Bu," ucap Raka. Sebelumnya pria itu sempat terdiam dan memikirkan cara apa yang sekiranya baik untuk mendekati Lusi dan membuat wanita itu tidak berkutik. "Apa kamu yakin? Bukankah Alia itu tidak mau bertemu denganmu?" "Iya, memang seperti itu. Tapi aku yakin juga, Bu. Lama-lama anak itu pasti akan luluh, karena bagaimanapun aku adalah ayahnya.""Kalau Lusi tahu, bagaimana?" "Itulah masalahnya. Aku harus mencari cara bagaimana agar bertemu Alia tanpa sepengetahuan Lusi," ujar Raka. Dia jadi bingung sendiri bagaimana harus menghadapi Lusi.Kedua orang itu saling diam, mereka memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertemu Alia tanpa sepengetahuan Lusi. Lalu beberapa saat kemudian, pria itu punya satu ide yang terlintas di benak. "Tentu saja. Bu, aku akan menemuinya di sekolah sebelum Lusi datang. Aku harus terlebih dahulu bertemu dengan Alia, karena guru-gurunya juga tahu kalau aku adalah ayahnya Alia. Lalu, selain itu juga aku akan menemui Alia di saat Lusi
Maura meneguk saliva dengan susah payah. Dia benar-benar kaget mendapat pertanyaan itu lagi. Padahal sang gadis berpikir kalau Lusi tidak akan membahas masalah Devan dan perasaannya. Kalau pun memang harus membicarakan pria itu, setidaknya Lusi tidak harus menanyakan perasaan gadis itu kepada sang pria. Ini sangat sensitif dan mungkin akan membuat hatinya sungkan untuk mengatakan itu semua. Lusi juga tidak punya cara lain untuk mencari tahu bagaimana perasaan Maura kepada Devan. Dia tidak mungkin bertanya kepada Devan, karena pria itu pun menolak dengan keras, kalau mereka tidak punya hubungan apa-apa. Tetapi Lusi juga tidak punya cara lain selain bertanya secara frontal kepada gadis itu. "Kenapa? Kenapa diam saja? Apa kamu takut aku marah jika kamu jujur?" tanya Lusi membuat wajah gadis itu terkesiap. Dia tampak kebingungan. Maura menunduk dalam sembari memainkan jari jemari. Ada rasa takut yang menyeruak, tapi kalau misalkan Maura tidak menjawab dengan jujur, pasti Lusi akan teru
"Iya, memang tidak ada salahnya. Itu hak kamu juga, tapi jangan mencoba mendekati Ibu dari anakku," ucap Raka akhirnya membuat Devan langsung terkesiap.Pria itu mengerti apa yang dimaksud oleh Raka. Namun demikian, Devan tidak mau kalah. Lagi pula, siapa Raka? Sekarang pria itu hanyalah mantan suami yang tidak tahu diri. Sudah bagus ditampung oleh Lusi dan diberikan kehidupan yang layak, tetapi malah berkhianat dengan teman Lusi pula. Ini benar-benar memalukan. Sebagai seorang pria, entah kenapa Devan juga merasa kesal dan muak dengan tingkah pria itu. Namun demikian, Devan tidak punya hak apa pun untuk mengadili seorang Raka. Dia hanya ingin memberitahu Raka kalau dirinya juga akan berusaha mendapatkan Lusi kembali, apa pun yang terjadi. "Memangnya kenapa kalau aku mengejar ibunya anakmu? Bukankah kalian juga sudah bercerai? Lagi pula aku yakin, anakmu juga masih belum mau bertemu denganmu, kan?" tanya Devan lagi-lagi membuat Raka tersentak. Setiap perkataan yang dibalikkan oleh
Di tempat lain, saat ini Ibu Sinta sudah mondar-mandir kebingungan di depan kamarnya. Setelah mendapatkan telepon dari Mila beberapa hari yang lalu, wanita itu belum juga bercerita kepada suaminya. Yang dia takutkan adalah suaminya murka karena tidak memberitahukan tentang telepon yang dia sembunyikan selama ini. Bu Sinta juga harus mencari cara bagaimana menyampaikan semua ini tanpa harus berdebat terlebih dahulu. Ketakutannya itu, sang suami akan memarahi Bu Sinta habis-habisan atau bahkan bermain tangan. Membayangkannya saja membuat Bu Sinta bergidig, apalagi sampai kenyataan. Suara pintu terbuka membuatku Bu Sinta terkesiap. Ternyata itu adalah suaminya. Pria paruh baya itu mengernyitkan dahi melihat reaksi Bu Sinta yang tampak kaget. "Kenapa kamu malah kaget seperti itu? Kenapa? Apa kamu sudah melakukan sesuatu?" tanyanya membuat Bu Sinta terlihat kikuk, tetapi wanita itu berusaha untuk bersikap normal. Karena bagaimanapun suaminya itu bisa menebak apa pemikiran Bu Sinta kala
"Kenapa Ibu malah menangis seperti itu? Jangan berpura-pura bersedih melihat keadaanku seperti ini. Bukankah Ibu memang nantikan saat-saat seperti ini, kan? Membebaskan aku dan menjadikan aku sebagai alat penghasil uang untuk kalian?" tanya Mila dengan nada tenang, tapi entah kenapa itu sangat menyakitkan di telinga Bu Sinta. Wanita paruh baya itu sampai berhenti menangis dan menatap anaknya tak percaya. Memang benar ujung-ujungnya Bu Sinta akan memperalat Mila untuk menjadikan mesin uang, tetapi saat ini wanita paruh baya itu benar-benar merasa prihatin kepada nasib anaknya yang seperti ini. Di luar dugaan, seharusnya Mila yang sedang hamil muda tidak boleh diperlakukan tak baik di dalam sel, apalagi sampai ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Hanya sepertinya, anaknya sudah mati rasa kepada kedua orang tua. Dia benar-benar tidak punya pilihan lain, selain menjelaskan apa yang sebenarnya dirasakan oleh Bu Sinta kepada Mila saat ini. "Kamu boleh bilang seperti itu, karena kamu memb
"Baiklah kalau begitu, terserah pada Ayah saja. Yang pasti cepat keluarkan aku dari sini. Aku muak berada di tempat ini.""Kalau begitu, mana alamat Lusi?" tanya ayahnya.Mila pun meminta bolpoin dan selembar kertas kepada sipir. Sebelumnya sang sipir agak kesal karena sikap Mila yang seolah-olah sedang berbicara dengan kawannya sendiri, tetapi sipir wanita itu tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mau membuat keributan dan malah menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Mila langsung menuliskan alamat Lusi dengan jelas, sampai menyuruh orang tuanya memakai angkot apa saja yang harus dinaiki sebelum sampai ke rumah Lusi. Setelah itu, kedua paruh baya pun pergi dari sana.Sebelumnya Bu Sinta menyodorkan makanan kesukaan Mila. Sesaat wanita hamil itu tertegun. Untuk sekarang dia merasa terharu walaupun tidak memperlihatkannya secara langsung. Kalau saja ibunya tidak seperti ini, menganggapnya sebagai ATM berjalan, mungkin Mila juga akan menghormati ibunya setulus hati, tanpa memandang
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B
Dengan perasaan tak karuan akhirnya Mila pun pergi ke rumah Bu Sinta. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali mengalah. Karena ada anak yang harus diperjuangkan di sini. Kalau saja tidak ada anak, mungkin Mila sudah melakukan hal yang macam-macam kepada Raka dan juga Bu Sinta, untuk memberikan ancaman yang lebih sakit lagi kepada pria itu, agar mau tetap ada di sisinya. Namun, sekeras apa pun Mila berusaha untuk menahan suaminya, Raka pasti akan berontak dan sekarang buktinya dia terlalu mengekang dan juga menggenggam Raka begitu erat, sampai lupa kalau pria itu juga butuh kebebasan dan sedikit udara untuk dirinya sendiri. Namun, karena pengalaman sebelumnya yang sudah pernah selingkuh, Mila berpikir ratusan kali untuk percaya kepada pria itu. Tetapi tampaknya Raka merasa kalau dirinya dikekang dan malah memilih untuk pergi dari rumah. Wanita itu memijat pelipisnya sembari menyetir, ini benar-benar membuatnya stres. Belum lagi Maura yang memi
"Halo, Ibu?" tanya Raka saat dia sudah menelepon ibunya dan untunglah Bu Sinta langsung menerima panggilan dari anaknya itu. Tentu saja sang wanita paruh baya benar-benar kaget dan melihat kembali ada nama Raka di layar ponsel. Karena sebelumnya anak itu sampai memblokir nomornya agar tidak bisa dihubungi.Tampaknya apa yang dikatakan oleh Maura itu benar. Dia harus pura-pura menderita dan membuat Raka merasa iba, agar anaknya kembali ke tangan sang wanita paruh baya. "Ada apa, Raka? Ibu kaget, kamu tiba-tiba saja menelepon." "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengan Ibu. Ada hal penting, yang harus aku katakan kepada Ibu." "Benarkah? Kalau begitu datang saja ke sini. Sebaiknya kita berbicara baik-baik di rumah. Ibu akan masakan makanan kesukaan kamu. Bagaimana?" Tiba-tiba saja di seberang sana Raka tersenyum kecut. Entah kenapa dia merasa kenangan itu kembali ke masa-masa sebelum dia menikah. Sebelumnya Bu Sinta selalu perhatian, apalagi kalau sudah gajian. Tetapi tetap saja