Di tempat lain, saat ini Ibu Sinta sudah mondar-mandir kebingungan di depan kamarnya. Setelah mendapatkan telepon dari Mila beberapa hari yang lalu, wanita itu belum juga bercerita kepada suaminya. Yang dia takutkan adalah suaminya murka karena tidak memberitahukan tentang telepon yang dia sembunyikan selama ini. Bu Sinta juga harus mencari cara bagaimana menyampaikan semua ini tanpa harus berdebat terlebih dahulu. Ketakutannya itu, sang suami akan memarahi Bu Sinta habis-habisan atau bahkan bermain tangan. Membayangkannya saja membuat Bu Sinta bergidig, apalagi sampai kenyataan. Suara pintu terbuka membuatku Bu Sinta terkesiap. Ternyata itu adalah suaminya. Pria paruh baya itu mengernyitkan dahi melihat reaksi Bu Sinta yang tampak kaget. "Kenapa kamu malah kaget seperti itu? Kenapa? Apa kamu sudah melakukan sesuatu?" tanyanya membuat Bu Sinta terlihat kikuk, tetapi wanita itu berusaha untuk bersikap normal. Karena bagaimanapun suaminya itu bisa menebak apa pemikiran Bu Sinta kala
"Kenapa Ibu malah menangis seperti itu? Jangan berpura-pura bersedih melihat keadaanku seperti ini. Bukankah Ibu memang nantikan saat-saat seperti ini, kan? Membebaskan aku dan menjadikan aku sebagai alat penghasil uang untuk kalian?" tanya Mila dengan nada tenang, tapi entah kenapa itu sangat menyakitkan di telinga Bu Sinta. Wanita paruh baya itu sampai berhenti menangis dan menatap anaknya tak percaya. Memang benar ujung-ujungnya Bu Sinta akan memperalat Mila untuk menjadikan mesin uang, tetapi saat ini wanita paruh baya itu benar-benar merasa prihatin kepada nasib anaknya yang seperti ini. Di luar dugaan, seharusnya Mila yang sedang hamil muda tidak boleh diperlakukan tak baik di dalam sel, apalagi sampai ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Hanya sepertinya, anaknya sudah mati rasa kepada kedua orang tua. Dia benar-benar tidak punya pilihan lain, selain menjelaskan apa yang sebenarnya dirasakan oleh Bu Sinta kepada Mila saat ini. "Kamu boleh bilang seperti itu, karena kamu memb
"Baiklah kalau begitu, terserah pada Ayah saja. Yang pasti cepat keluarkan aku dari sini. Aku muak berada di tempat ini.""Kalau begitu, mana alamat Lusi?" tanya ayahnya.Mila pun meminta bolpoin dan selembar kertas kepada sipir. Sebelumnya sang sipir agak kesal karena sikap Mila yang seolah-olah sedang berbicara dengan kawannya sendiri, tetapi sipir wanita itu tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mau membuat keributan dan malah menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Mila langsung menuliskan alamat Lusi dengan jelas, sampai menyuruh orang tuanya memakai angkot apa saja yang harus dinaiki sebelum sampai ke rumah Lusi. Setelah itu, kedua paruh baya pun pergi dari sana.Sebelumnya Bu Sinta menyodorkan makanan kesukaan Mila. Sesaat wanita hamil itu tertegun. Untuk sekarang dia merasa terharu walaupun tidak memperlihatkannya secara langsung. Kalau saja ibunya tidak seperti ini, menganggapnya sebagai ATM berjalan, mungkin Mila juga akan menghormati ibunya setulus hati, tanpa memandang
"Maaf, Pak. Bilang saja kalau saya tidak ada, karena saya harus meminta izin dulu kepada Mbak Lusi jika ingin menerima tamu." Satpam yang menjaga di depan pun tampak keheranan sebab jawaban dari Maura. Seharusnya kalau memang di depannya ini adalah kedua orang tua Maura, anak itu mau menerima Bu Sinta dan suaminya. Tetapi ini malah menolak secara halus.Namun demikian, satpam itu tidak mau ambil pusing. Lagian ini bukan urusannya. Dia memilih untuk mengatakan semua yang disampaikan oleh Maura. "Maaf, Bu. Orang rumah dari Bu Lusi tidak bisa menerima kalian berdua."Mendengar ucapan dari penjaga itu, tentu saja Bu Sinta terkesiap. Dia menoleh kepada suaminya, keheranan karena ditolak seperti ini. "Kenapa Bapak bilang seperti itu? Tadi siapa yang menjawab teleponnya?" tanya Bu Sinta ingin tahu. "Kalian tidak perlu tahu, yang pasti orang-orang yang ada di rumah Bu Lusi itu tidak mau menerima kalian. Sebaiknya kalian pergi saja," ujar penjaga itu dengan tegas. "Tidak bisa, Pak. Kami h
Hening. Dalam beberapa saat, tidak ada yang memulai pembicaraan. Maura dari tadi pun memilih untuk diam dan menunduk. Dia sama sekali tidak mau melihat kedua orang tuanya, terutama sang ayah. Karena bagaimanapun di sini yang memprovokasi ibunya untuk menjual dirinya ke rentenir adalah Ayah tirinya sendiri. Maura benar-benar frustrasi, takut dikira kalau dirinyalah yang memberikan alamat rumah Lusi, sampai disambangi oleh kedua orang tuanya. Belum lagi yang lebih ditakutkan, kedua orang tuanya akan mengambil Maura dan menjualnya kepada rentenir. Pikiran buruk lainnya pun muncul. Apakah Lusi tidak akan bersama memperjuangkannya atau mempertahankannya di sini jika kedua orang tanya meminta Maura kembali? Gadis itu ingin sekali menangis. Jari jemarinya terus saling meremas. Sebenarnya Lusi melihat gelagat Maura yang begitu ketakutan dan gugup. Tetapi dia memilih untuk diam, karena fokusnya hari ini adalah bertanya apa kedatangan kedua orang tua Maura ke sini. Tentu saja pertanyaan perta
Lusi terdiam sejenak. Dia menautkan kedua alisnya, sementara Maura menggeleng-gelengkan kepala. Benarkah apa yang Maura dengan barusan? "Jadi, Bapak dan Ibu benar-benar akan mengikhlaskan Maura untuk diambil hak asuhnya oleh saya? Lalu, kenapa kemarin kalian begitu ngotot tidak mau melepaskan Maura? Apakah kalian sekarang sudah tidak punya uang, lalu hendak meminta saya untuk memberikan sejumlah uang sebagai imbalan karena saya mengambil hak asuh Maura, begitu?" papar Lusi, tiba-tiba saja membuat kedua orang tua Maura terkesiap. Jantung mereka berdetak dengan sangat kencang. Mereka jadi kaget, karena sepertinya Lusi bisa menebak kata yang sedang mereka pikirkan. Namun demikian, keduanya juga tidak berbuat banyak sebab apa pun yang akan dikatakan oleh Bu Sinta maupun suaminya, semua itu adalah kebenaran.Mereka memang mengikhlaskan Maura hanya untuk mendapatkan sejumlah uang, demi mendapatkan uang bagaimanapun caranya keduanya harus benar-benar mendapatkan kepercayaan Lusi. Jika tida
"Tentu saja Pak. Saya memang ingin menyekolahkan Maura karena itu bentuk dari kebaikan hati saya. Merasa kasihan juga sebab gadis sebaiknya harus dimanfaatkan oleh orang tuanya sendiri. Padahal dia pasti punya prestasi di sekolah."Sebelum dia memulai kata-kata untuk mematikan kedua orang yang ada di depannya ini. "Lalu, kenapa Nak Lusi tiba-tiba saja berubah pikiran? Padahal kan sebelumnya Nak Lusi bersikukuh untuk mengambil hak asuh Maura. Saya juga meminta uang sesuai dengan utang-utang kami," tanya pria paruh baya itu, masih tidak percaya dan juga tidak mau sampai apa yang sudah direncanakannya itu berantakan sebab penolakan Lusi. "Bapak, yang benar saja. Saya harus menyediakan uang 500 juta hanya untuk menebus Maura. Sama saja kalian menjual Maura kepada saya," ucap Lusi membuat Maura tersentak.Gadis itu menunduk dalam. Dia mulai menitikkan air mata, ternyata harga dirinya itu tidak lebih dari uang 500 juta. Bahkan, bisa saja tidak mau menebusnya. Dia benar-benar tidak punya a
Melihat ketegangan di antara suaminya dan sang anak, Bu Sinta pun memilih untuk menjadi penengah. Dia tidak boleh membiarkan suaminya itu berkata sembarangan di depan Maura, takutnya Lusi mendengar dan semua uang yang diharapkan hilang begitu saja."Pak, sudahlah. Jangan terus-terusan marah kepada Maura. Biarkan saja dia sesuka hatinya. Lagi pula kita sudah lepas tangan, kan? Dia sudah diadopsi oleh Lusi, dengan begitu beban kita juga sudah berkurang," ungkap Bu Sinta, berusaha mengatakan itu demi menenangkan suaminya.Namun, setiap kalimat yang dilontarkan oleh wanita paruh baya itu malah membuat hati Maura merasa sakit. Ternyata memang kehadirannya itu tidak lebih dari seorang anak yang harus berbakti dengan cara memberikan uang begitu banyak. Bahkan di saat seperti ini, Bu Sinta harusnya memberikan petuah kepada dirinya, agar Maura bisa menitipkan diri dan juga berlaku baik di depan Lusi. Namun sayangnya, tidak ada satu kalimat pun yang dilontarkan Bu Sinta untuk Maura. Wanita i