"Apa yang kamu katakan barusan, Mas?" tanya Lusi. Dia benar-benar tidak bisa diam saja. Lusi pun maju, dia menggeser posisi Devan yang sebelumnya menghalanginya. Raka terdiam dengan wajah serius. Dia harus mengutarakan semua niatnya, sampai bisa bebas seperti ini. Apa pun yang terjadi Raka harus tetap mendapatkan Lusi kembali, karena saat ini secara terang-terangan ada pria yang ingin mendapatkan Lusi dan tentu saja Raka tidak ikhlas, apalagi jika Alia menyebut Devan sebagai Ayah. Itu akan semakin menyakiti Raka. Dia tidak akan terima sampai kapan pun jika itu terjadi. "Aku akan mendapat kamu, Lusi. Kesalahan besar karena aku sudah menuruti kemauanmu untuk bercerai. Benar kata Ibu, aku bisa menyelesaikan semuanya tanpa harus bercerai. Aku juga sudah bilang sebelumnya akan membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungan Mila itu bukan anakku." Lusi menggelengkan kepala sembari menghela napas kasar. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut. Kenapa jadi seperti ini? Lusi tidak memperkira
"Aku akan menemui Alia, Bu," ucap Raka. Sebelumnya pria itu sempat terdiam dan memikirkan cara apa yang sekiranya baik untuk mendekati Lusi dan membuat wanita itu tidak berkutik. "Apa kamu yakin? Bukankah Alia itu tidak mau bertemu denganmu?" "Iya, memang seperti itu. Tapi aku yakin juga, Bu. Lama-lama anak itu pasti akan luluh, karena bagaimanapun aku adalah ayahnya.""Kalau Lusi tahu, bagaimana?" "Itulah masalahnya. Aku harus mencari cara bagaimana agar bertemu Alia tanpa sepengetahuan Lusi," ujar Raka. Dia jadi bingung sendiri bagaimana harus menghadapi Lusi.Kedua orang itu saling diam, mereka memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertemu Alia tanpa sepengetahuan Lusi. Lalu beberapa saat kemudian, pria itu punya satu ide yang terlintas di benak. "Tentu saja. Bu, aku akan menemuinya di sekolah sebelum Lusi datang. Aku harus terlebih dahulu bertemu dengan Alia, karena guru-gurunya juga tahu kalau aku adalah ayahnya Alia. Lalu, selain itu juga aku akan menemui Alia di saat Lusi
Maura meneguk saliva dengan susah payah. Dia benar-benar kaget mendapat pertanyaan itu lagi. Padahal sang gadis berpikir kalau Lusi tidak akan membahas masalah Devan dan perasaannya. Kalau pun memang harus membicarakan pria itu, setidaknya Lusi tidak harus menanyakan perasaan gadis itu kepada sang pria. Ini sangat sensitif dan mungkin akan membuat hatinya sungkan untuk mengatakan itu semua. Lusi juga tidak punya cara lain untuk mencari tahu bagaimana perasaan Maura kepada Devan. Dia tidak mungkin bertanya kepada Devan, karena pria itu pun menolak dengan keras, kalau mereka tidak punya hubungan apa-apa. Tetapi Lusi juga tidak punya cara lain selain bertanya secara frontal kepada gadis itu. "Kenapa? Kenapa diam saja? Apa kamu takut aku marah jika kamu jujur?" tanya Lusi membuat wajah gadis itu terkesiap. Dia tampak kebingungan. Maura menunduk dalam sembari memainkan jari jemari. Ada rasa takut yang menyeruak, tapi kalau misalkan Maura tidak menjawab dengan jujur, pasti Lusi akan teru
"Iya, memang tidak ada salahnya. Itu hak kamu juga, tapi jangan mencoba mendekati Ibu dari anakku," ucap Raka akhirnya membuat Devan langsung terkesiap.Pria itu mengerti apa yang dimaksud oleh Raka. Namun demikian, Devan tidak mau kalah. Lagi pula, siapa Raka? Sekarang pria itu hanyalah mantan suami yang tidak tahu diri. Sudah bagus ditampung oleh Lusi dan diberikan kehidupan yang layak, tetapi malah berkhianat dengan teman Lusi pula. Ini benar-benar memalukan. Sebagai seorang pria, entah kenapa Devan juga merasa kesal dan muak dengan tingkah pria itu. Namun demikian, Devan tidak punya hak apa pun untuk mengadili seorang Raka. Dia hanya ingin memberitahu Raka kalau dirinya juga akan berusaha mendapatkan Lusi kembali, apa pun yang terjadi. "Memangnya kenapa kalau aku mengejar ibunya anakmu? Bukankah kalian juga sudah bercerai? Lagi pula aku yakin, anakmu juga masih belum mau bertemu denganmu, kan?" tanya Devan lagi-lagi membuat Raka tersentak. Setiap perkataan yang dibalikkan oleh
Di tempat lain, saat ini Ibu Sinta sudah mondar-mandir kebingungan di depan kamarnya. Setelah mendapatkan telepon dari Mila beberapa hari yang lalu, wanita itu belum juga bercerita kepada suaminya. Yang dia takutkan adalah suaminya murka karena tidak memberitahukan tentang telepon yang dia sembunyikan selama ini. Bu Sinta juga harus mencari cara bagaimana menyampaikan semua ini tanpa harus berdebat terlebih dahulu. Ketakutannya itu, sang suami akan memarahi Bu Sinta habis-habisan atau bahkan bermain tangan. Membayangkannya saja membuat Bu Sinta bergidig, apalagi sampai kenyataan. Suara pintu terbuka membuatku Bu Sinta terkesiap. Ternyata itu adalah suaminya. Pria paruh baya itu mengernyitkan dahi melihat reaksi Bu Sinta yang tampak kaget. "Kenapa kamu malah kaget seperti itu? Kenapa? Apa kamu sudah melakukan sesuatu?" tanyanya membuat Bu Sinta terlihat kikuk, tetapi wanita itu berusaha untuk bersikap normal. Karena bagaimanapun suaminya itu bisa menebak apa pemikiran Bu Sinta kala
"Kenapa Ibu malah menangis seperti itu? Jangan berpura-pura bersedih melihat keadaanku seperti ini. Bukankah Ibu memang nantikan saat-saat seperti ini, kan? Membebaskan aku dan menjadikan aku sebagai alat penghasil uang untuk kalian?" tanya Mila dengan nada tenang, tapi entah kenapa itu sangat menyakitkan di telinga Bu Sinta. Wanita paruh baya itu sampai berhenti menangis dan menatap anaknya tak percaya. Memang benar ujung-ujungnya Bu Sinta akan memperalat Mila untuk menjadikan mesin uang, tetapi saat ini wanita paruh baya itu benar-benar merasa prihatin kepada nasib anaknya yang seperti ini. Di luar dugaan, seharusnya Mila yang sedang hamil muda tidak boleh diperlakukan tak baik di dalam sel, apalagi sampai ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Hanya sepertinya, anaknya sudah mati rasa kepada kedua orang tua. Dia benar-benar tidak punya pilihan lain, selain menjelaskan apa yang sebenarnya dirasakan oleh Bu Sinta kepada Mila saat ini. "Kamu boleh bilang seperti itu, karena kamu memb
"Baiklah kalau begitu, terserah pada Ayah saja. Yang pasti cepat keluarkan aku dari sini. Aku muak berada di tempat ini.""Kalau begitu, mana alamat Lusi?" tanya ayahnya.Mila pun meminta bolpoin dan selembar kertas kepada sipir. Sebelumnya sang sipir agak kesal karena sikap Mila yang seolah-olah sedang berbicara dengan kawannya sendiri, tetapi sipir wanita itu tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak mau membuat keributan dan malah menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Mila langsung menuliskan alamat Lusi dengan jelas, sampai menyuruh orang tuanya memakai angkot apa saja yang harus dinaiki sebelum sampai ke rumah Lusi. Setelah itu, kedua paruh baya pun pergi dari sana.Sebelumnya Bu Sinta menyodorkan makanan kesukaan Mila. Sesaat wanita hamil itu tertegun. Untuk sekarang dia merasa terharu walaupun tidak memperlihatkannya secara langsung. Kalau saja ibunya tidak seperti ini, menganggapnya sebagai ATM berjalan, mungkin Mila juga akan menghormati ibunya setulus hati, tanpa memandang
"Maaf, Pak. Bilang saja kalau saya tidak ada, karena saya harus meminta izin dulu kepada Mbak Lusi jika ingin menerima tamu." Satpam yang menjaga di depan pun tampak keheranan sebab jawaban dari Maura. Seharusnya kalau memang di depannya ini adalah kedua orang tua Maura, anak itu mau menerima Bu Sinta dan suaminya. Tetapi ini malah menolak secara halus.Namun demikian, satpam itu tidak mau ambil pusing. Lagian ini bukan urusannya. Dia memilih untuk mengatakan semua yang disampaikan oleh Maura. "Maaf, Bu. Orang rumah dari Bu Lusi tidak bisa menerima kalian berdua."Mendengar ucapan dari penjaga itu, tentu saja Bu Sinta terkesiap. Dia menoleh kepada suaminya, keheranan karena ditolak seperti ini. "Kenapa Bapak bilang seperti itu? Tadi siapa yang menjawab teleponnya?" tanya Bu Sinta ingin tahu. "Kalian tidak perlu tahu, yang pasti orang-orang yang ada di rumah Bu Lusi itu tidak mau menerima kalian. Sebaiknya kalian pergi saja," ujar penjaga itu dengan tegas. "Tidak bisa, Pak. Kami h