"Menyedihkan ya, sampai segitunya menjebak Mas Aksena agar mau menyentuh kamu."
Sepasang mata Kalisa membulat sempurna membaca satu pesan yang masuk di layar ponsel. Jelas itu pesan balasan dari Sandra. Kenapa perempuan itu tidak terganggu dengan foto-foto panasnya dengan Aksena yang dia kirim beberapa saat lalu.
"Percumah, Mbak. Apapun usaha Mbak Kalisa merebut hati Mas Aksena dari saya, nggak akan berhasil. Mas Aksena cinta mati sama saya."
"Kalau jadi Mbak Kalisa saya pasti sudah malu banget, mengemis cinta laki-laki yang sama sekali nggak ada perasaan sama Mbak."
Darah Kalisa mendidih membaca pesan lanjutan dari Sandra. Bebal juga perempuan itu. Atau lebih tepatnya, tidak tahu malu. Kalisa meremas jemarinya menahan luapan amarah yang memenuhi dada. Berani sekali Sandra berbicara seperti itu. Sudah terang-terangan perempuan itu hendak mempertahankan Aksena tetap berada di pelukannya.
Kalisa tidak bisa membiarkan semua ini. Dia adalah istri syah Aksena dan Sandra tetap orang ketiga dalam pernikahan ini. Kalisa hanya ingin mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya.
Siang hari Kalisa menemui Rara di sebuah cafe. Dia tidak sabar untuk menunjukkan pesan-pesan balasan dari Sandra pada sahabatnya itu.
"Jadi dia tidak merespon foto-foto panas yang kamu kirim ke dia?" tanya Rara. Keningnya mengerut memikirkan sesuatu.
"Jawaban dia seperti yang kamu baca itu, Ra. Gila,kan? Apa maunya dia sih." Kalisa menyeruput kopi di cangkirnya, berharap gemuruh di dada mampu mereda.
"Padahal perempuan itu terlihat lugu, tapi kata-katanya kok pedas gitu?"
Kalisa mendesis. Lugu. Memang tampang Sandra terlihat lugu, seperti gadis baik-baik. Tapi jangan lupakan masa lalunya yang pernah bekerja di club malam, tempat di mana dia bertemu dengan Aksena tentu saja.
"Aku yakin dia itu nggak selugu yang kita pikir, Ra. Sekarang, kenapa dia nggak peduli sama sekali dengan foto-foto yang aku kirim dan dia justru kukuh mempertahankan Aksena. Pasti karena dia nggak mau kehilangan sumber uang, kan?"
Rara mengangguk-angguk. Sepertinya dia setuju dengan apa yang diutarakan oleh Kalisa. "Minta aja Rangga menyelidiki lagi sampai sedetail-detailnya, Lis."
Kalisa pun mengangguk setuju. Saat sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba sosok Aksena muncul dari arah pintu cafe menghampiri Kalisa dan Rara. Wajahnya tampak memerah. Sepertinya dia tengah menahan amarah.
"Kalisa, aku mau bicara!" ucapnya tegas. Jelas sekali Aksena berusaha untuk menguasai emosi.
"Sen, kamu njemput aku ke sini?" Kalisa tetap mengulas senyum meskipun dadadnya berdegup kencang. Dia tahu Aksena saat ini pasti sedang marah besar. Dia yakin Aksena telah mendapat aduan Sandra mengenai foto yang dia kirim.
"Ikut aku!" Aksena mencengkeram lengan Kalisa dengan keras tanpa memedulikan adanya Rara di sana.
"Auch! Sakit, Sena! Okay, aku ikut kamu." Kalisa memberi isyarat pada Rara kalau semua baik-baik saja sebelum dia beranjak mengikuti Aksena keluar cafe.
Aksena membukakan pintu mobil untuk Kalisa lalu setelah Kalisa masuk, dia menutupnya dengan keras sampai-sampai Kalisa terlonjak kaget.
"Sen, ada apa sih, serius banget kayaknya?" Kalisa mencoba membuka pembicaraan. Selain itu dia juga berusaha tetap tenang karena Aksena mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang.
Tiba-tiba saja Aksena membanting stir menepi di pinggir jalan. Kalisa yang lupa memakai sabuk pengaman hampir saja membenturkan keningnya ke dashboard.
"Astaga, Sena! Kamu mau mencelakakan aku, ya?" gerutu Kalisa seraya merapikan rambutnya yang betantakan.
"Kenapa kamu mengambil foto-foto tadi malam dan mengirimnya pada Sandra?"
Dalam hati Kalisa merasa senang. Dia menduga, Aksena dan Sandra telah bertengkar hebat. Perempuan itu hanya berpura-pura tidak peduli dan malah menantangnya. Padahal, dia sangat terganggu dengan foto-foto itu.
"Kenapa kamu lakukan itu, Kalisa?!" bentak Aksena seraya menatap Kalisa tajam.
"Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan untuk mempertahankan apa yang menjadi milikku, Sen." Kalisa mencoba untuk tetap tenang meskipun Aksena sepertinya ingin sekali menampar wajahnya.
"Aku bukan milik kamu! Harus berapa kali aku katakan sama kamu kalau aku tidak mencintai kamu!" Sepasang mata elang Aksena menatap lekat pada sepasang mata milik Kalisa.
Untuk beberapa saat kedua pasang mata mereka bertemu dan saling mendalami satu sama lain. Dada Kalisa berdebar kencang. Ini pertama kalinya Aksena menatapnya cukup lama dan sepertinya dia menangkap kilatan aneh yang ada di dalam tatapan mata Aksena.
Kalisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu, seolah-olah ada hal tersembunyi yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Namun, sebelum Kalisa bisa mencerna lebih jauh, Aksena membuang pandangannya ke arah lain.
"Jangan pernah berharap aku akan berpaling padamu, Kalisa," katanya dengan suara rendah, penuh ketegasan yang bercampur dengan rasa enggan.
Kalisa menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku tulus mencintai kamu, Sena. Tidak seperti perempuan itu yang bisa saja hanya memanfaatkan uang kamu."
"Jangan bicara sembarangan tentang Sandra. Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia! Dia adalah perempuan yang aku cintai!" sergah Aksena geram. Namun beberapa saat kemudian diq mendesah panjang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Aku sudah muak dengan tingkah laku kamu, Kalisa. Kamu perempuan yang tidak tahu malu!"
Kalisa menghela napas pelan. Makian Aksena kembali harus dia telan. Padahal beberapa saat lalu dia berusaha menebak-nebak arti tatapan Aksena yang berbeda dari biasanya itu.
Lalu Aksena melajukan kembali mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju rumah mereka, keduanya tidak terlibat pembicaraan lagi meskipun hanya sepatah kata.
***
Kalisa buru-buru meminta sopir taksi yang mengantarnya untuk berhenti di depan gang rumah Sandra. Dia memperhatikan dengan awas apa yang sedang terjadi di depan teras rumah itu.
Terlihat jelas seorang pria baru saja turun dari mobil sedan yang terparkir di depan pagar. Pria itu melangkah masuk ke halaman dan tanpa Kalisa duga, Sandra muncul dari pintu dan langsung memeluk pria itu.
Ini bahkan lebih bagus dari yang Kalisa kira. Semalam Rangga mengabari kalau dia menemukan info penting tentang Sandra. Rupanya inilah informasi penting itu. Perempuan itu memang bersembunyi di balik keluguannya. Aksena benar-benar telah tertipu dengan tampang dan sikapnya.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Kalisa mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu mengabadikan momen Sandra dan pria itu. Ini akan menjadi bukti bahwa Sandra adalah perempuan licik, yang akan dia tunjukkan pada Aksena.
Kalisa meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke kantor Aksena. Dia sudah tidak sabar untuk menunjukkan kebusukan Sandra pada suaminya itu.
Dengan langkah mantap Kalisa menuju ke ruangan Aksena. Kebetulan suaminya itu sedang berada di sana berkutat dengan file-file yang menumpuk di atas meja kerja yanb harus dia tanda-tangani.
"Ngapain kamu ke sini?" Aksena menyambut Kalisa dengan ucapan ketus.
Kalisa mengeluarkan ponsel dan mendekat pada Aksena. "Aku punya bukti kalau pacar kamu itu tidak selugu yang kamu pikir."
***
Kalisa yang tengah menikmati makan malam sendirian, dikejutkan oleh kepulangan Aksena yang langsung memasang wajah geram padanya. Tidak hanya itu, Aksena menggebrak meja makan hingga beberapa sendok melayang terjatuh ke lantai."Apa-apaan sih, Sen. Pulang-pulang kok marah-marah?" ucap Kalisa sambil berusaha untuk menelan makanan yang sedang dikunyahnya meskipun dengan susah payah."Aku benar-benar sudah muak dengan kamu, Kalisa. Kamu memang perempuan jahat penyebar fitnah!" bentak Aksena. "Kamu sengaja menguntit Sandra dan mencari-cari kesalahan dia? Dasar sakit!""Apa maksud kamu?""Laki-laki di foto yang kamu tunjukan ke aku itu saudara Sandra yang datang dari kampung, paham?"Kalisa mendesis. Aksena begitu bodohnya percaya ucapan perempuan licik itu. Apakah dia sebuta itu tidak bisa melihat bahasa tubuh mereka. "Kamu percaya begitu saja sama Sandra?""Sandra itu perempuan baik-baik. Dia cinta sama aku, bukan cinta uangku seperti yang kamu tuduhkan."Kalisa tersenyum sinis. "Perempu
"Jangan harap aku akan memperlakukanmu layaknya seorang istri. Aku tidak mencintai kamu dan tidak akan pernah!"Ucapan menohok Aksena itulah yang terdengar oleh Kalisa saat pria yang malam itu sudah berstatus sebagai suaminya itu meninggalkannya sendirian di malam pertama. Kalisa sadar, Aksena memang tidak pernah menyetujui pernikahan ini, tepatnya pernikahan yang menjadi kesepakatan antara keluarganya dan keluarga Aksena. Pernikahan bisnis yang mampu memperkuat kerjasama antara dua perusahaan raksasa keluarg kami.Namun bagi Kalisa, pernikahannya dengan Aksena bukan hanya sekedar pernikahan bisnis semata. Kalisa sudah mencintai Aksena sejak mereka kecil. Aksena adalah sahabat masa kecilnya yang selalu ada di saat Kalisa membutuhkannya. Dari kecil selalu bersama karena kedua orang tua mereka bersahabat dan juga partner bisnis.Sikap Aksena mulai berubah saat mereka duduk di bangku SMA dan mulai menyadari kalau Kalisa jatuh cinta padanya. Aksena dengan tegas mengatakan kalau dia hanya
Kalisa tersenyum saat melihat Aksena masuk ke dalam kamar. Dia sudah menunggu kepulangannya sejak tadi. Meskipun hatinya perih karena dia tahu Aksena baru saja pulang mengunjungi kekasihnya, tapi Kalisa berusaha bersikap seakan-akan dia tidak mengetahui apapun."Baru pulang, Sen?" tanya Kalisa seraya turun dari tempat tidur dan mendekati Aksena yang sedang melepas jas kantornya."Kamu lihat kan aku baru pulang? Pakai nanya lagi," jawab Aksena ketus.Kalisa berusaha untuk mengabaikan ucapan Aksena. Dia meraih jas milik Aksena dengan maksud ingin menggantungnya di gantungan baju. Namun, Aksena dengan kasar merebutnya kembali."Nggak usah! Aku bisa sendiri. Lis, aku sudah bilang sama kamu, nggak perlu kamu bersikap layaknya seorang istri karena aku nggak akan pernah nganggap kamu istriku. Ngerti?" Setelah memgucapkan kata-kata kasar itu Aksena berjalan menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.Kalisa mengepalkan tangan dengan keras menahan luapan kekesalan dalam dada. Matanya
Jam menunjukkan pukul satu dini hari, tapi Aksena belum juga pulang. Kalisa duduk di tepian ranjang dengan gelisah. Bukan hanya gelisah, tapi juga dadanya terasa panas menahan cemburu yang teramat sangat. Pasalnya dia tahu sedang berada di mana Aksena saat ini?Namun, setengah jam kemudian pintu kamar terbuka dan Aksena melangkah masuk dengan tubuh sempoyongan. Kalisa buru-buru menghampiri dan memapah Aksena yang hampir saja terjatuh."Kamu mabuk, Sen?""Bukan urusan kamu!" Aksena berusaha menepis lengan Kalisa tapi dia terlalu mabuk untuk berdiri sendiri."Berbaring dulu, Sen.""Jangan sentuh aku!" Aksena mendorong tubuh Kalisa tapi tenaganya tidak terlalu kuat karena di bawah pengaruh alkohol. Alhasil keduanya justru ambruk ke atas kasur.Posisi Aksena berada di atas tubuh Kalisa dengan mata yang masih menatap tajam pada istrinya itu."Ngapain kamu menemui Sandra? Kamu ngancam dia?""Sudah seharusnya dia sadar diri dan menjauh karena kamu sudan jadi suami aku, Sen." Kalisa membela d
Aksena membuka matanya perlahan, berusaha mengingat di mana dirinya berada. Tubuhnya terasa berat dan pegal, seakan-akan baru saja melalui sesuatu yang melelahkan. Begitu kesadaran sepenuhnya pulih, dia merasakan kehangatan tubuh lain di sampingnya. Pandangannya tertuju pada sosok Kalisa yang tertidur lelap dalam pelukannya, dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun. Pemandangan itu seperti tamparan keras bagi Aksena. Kesadaran tentang apa yang telah terjadi malam sebelumnya menghantamnya dengan brutal."Kalisa!" serunya dengan suara keras, mendorong tubuh wanita itu menjauh dengan kasar. Kalisa terbangun kaget, matanya masih setengah tertutup oleh kantuk saat dia merasakan dorongan kuat dari Aksena. Tubuhnya terhuyung, dan dia hampir terjatuh dari tempat tidur."Sena, kamu ngapain sih dorong-dorong aku?" tanya Kalisa, suaranya serak dan bingung. Dia mencoba meraih selimut untuk menutupi dirinya, namun tatapan marah Aksena membuat tangannya gemetar."Apa ini? Kamu ngapain aku s
Kalisa yang tengah menikmati makan malam sendirian, dikejutkan oleh kepulangan Aksena yang langsung memasang wajah geram padanya. Tidak hanya itu, Aksena menggebrak meja makan hingga beberapa sendok melayang terjatuh ke lantai."Apa-apaan sih, Sen. Pulang-pulang kok marah-marah?" ucap Kalisa sambil berusaha untuk menelan makanan yang sedang dikunyahnya meskipun dengan susah payah."Aku benar-benar sudah muak dengan kamu, Kalisa. Kamu memang perempuan jahat penyebar fitnah!" bentak Aksena. "Kamu sengaja menguntit Sandra dan mencari-cari kesalahan dia? Dasar sakit!""Apa maksud kamu?""Laki-laki di foto yang kamu tunjukan ke aku itu saudara Sandra yang datang dari kampung, paham?"Kalisa mendesis. Aksena begitu bodohnya percaya ucapan perempuan licik itu. Apakah dia sebuta itu tidak bisa melihat bahasa tubuh mereka. "Kamu percaya begitu saja sama Sandra?""Sandra itu perempuan baik-baik. Dia cinta sama aku, bukan cinta uangku seperti yang kamu tuduhkan."Kalisa tersenyum sinis. "Perempu
"Menyedihkan ya, sampai segitunya menjebak Mas Aksena agar mau menyentuh kamu."Sepasang mata Kalisa membulat sempurna membaca satu pesan yang masuk di layar ponsel. Jelas itu pesan balasan dari Sandra. Kenapa perempuan itu tidak terganggu dengan foto-foto panasnya dengan Aksena yang dia kirim beberapa saat lalu."Percumah, Mbak. Apapun usaha Mbak Kalisa merebut hati Mas Aksena dari saya, nggak akan berhasil. Mas Aksena cinta mati sama saya.""Kalau jadi Mbak Kalisa saya pasti sudah malu banget, mengemis cinta laki-laki yang sama sekali nggak ada perasaan sama Mbak."Darah Kalisa mendidih membaca pesan lanjutan dari Sandra. Bebal juga perempuan itu. Atau lebih tepatnya, tidak tahu malu. Kalisa meremas jemarinya menahan luapan amarah yang memenuhi dada. Berani sekali Sandra berbicara seperti itu. Sudah terang-terangan perempuan itu hendak mempertahankan Aksena tetap berada di pelukannya.Kalisa tidak bisa membiarkan semua ini. Dia adalah istri syah Aksena dan Sandra tetap orang ketiga
Aksena membuka matanya perlahan, berusaha mengingat di mana dirinya berada. Tubuhnya terasa berat dan pegal, seakan-akan baru saja melalui sesuatu yang melelahkan. Begitu kesadaran sepenuhnya pulih, dia merasakan kehangatan tubuh lain di sampingnya. Pandangannya tertuju pada sosok Kalisa yang tertidur lelap dalam pelukannya, dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun. Pemandangan itu seperti tamparan keras bagi Aksena. Kesadaran tentang apa yang telah terjadi malam sebelumnya menghantamnya dengan brutal."Kalisa!" serunya dengan suara keras, mendorong tubuh wanita itu menjauh dengan kasar. Kalisa terbangun kaget, matanya masih setengah tertutup oleh kantuk saat dia merasakan dorongan kuat dari Aksena. Tubuhnya terhuyung, dan dia hampir terjatuh dari tempat tidur."Sena, kamu ngapain sih dorong-dorong aku?" tanya Kalisa, suaranya serak dan bingung. Dia mencoba meraih selimut untuk menutupi dirinya, namun tatapan marah Aksena membuat tangannya gemetar."Apa ini? Kamu ngapain aku s
Jam menunjukkan pukul satu dini hari, tapi Aksena belum juga pulang. Kalisa duduk di tepian ranjang dengan gelisah. Bukan hanya gelisah, tapi juga dadanya terasa panas menahan cemburu yang teramat sangat. Pasalnya dia tahu sedang berada di mana Aksena saat ini?Namun, setengah jam kemudian pintu kamar terbuka dan Aksena melangkah masuk dengan tubuh sempoyongan. Kalisa buru-buru menghampiri dan memapah Aksena yang hampir saja terjatuh."Kamu mabuk, Sen?""Bukan urusan kamu!" Aksena berusaha menepis lengan Kalisa tapi dia terlalu mabuk untuk berdiri sendiri."Berbaring dulu, Sen.""Jangan sentuh aku!" Aksena mendorong tubuh Kalisa tapi tenaganya tidak terlalu kuat karena di bawah pengaruh alkohol. Alhasil keduanya justru ambruk ke atas kasur.Posisi Aksena berada di atas tubuh Kalisa dengan mata yang masih menatap tajam pada istrinya itu."Ngapain kamu menemui Sandra? Kamu ngancam dia?""Sudah seharusnya dia sadar diri dan menjauh karena kamu sudan jadi suami aku, Sen." Kalisa membela d
Kalisa tersenyum saat melihat Aksena masuk ke dalam kamar. Dia sudah menunggu kepulangannya sejak tadi. Meskipun hatinya perih karena dia tahu Aksena baru saja pulang mengunjungi kekasihnya, tapi Kalisa berusaha bersikap seakan-akan dia tidak mengetahui apapun."Baru pulang, Sen?" tanya Kalisa seraya turun dari tempat tidur dan mendekati Aksena yang sedang melepas jas kantornya."Kamu lihat kan aku baru pulang? Pakai nanya lagi," jawab Aksena ketus.Kalisa berusaha untuk mengabaikan ucapan Aksena. Dia meraih jas milik Aksena dengan maksud ingin menggantungnya di gantungan baju. Namun, Aksena dengan kasar merebutnya kembali."Nggak usah! Aku bisa sendiri. Lis, aku sudah bilang sama kamu, nggak perlu kamu bersikap layaknya seorang istri karena aku nggak akan pernah nganggap kamu istriku. Ngerti?" Setelah memgucapkan kata-kata kasar itu Aksena berjalan menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.Kalisa mengepalkan tangan dengan keras menahan luapan kekesalan dalam dada. Matanya
"Jangan harap aku akan memperlakukanmu layaknya seorang istri. Aku tidak mencintai kamu dan tidak akan pernah!"Ucapan menohok Aksena itulah yang terdengar oleh Kalisa saat pria yang malam itu sudah berstatus sebagai suaminya itu meninggalkannya sendirian di malam pertama. Kalisa sadar, Aksena memang tidak pernah menyetujui pernikahan ini, tepatnya pernikahan yang menjadi kesepakatan antara keluarganya dan keluarga Aksena. Pernikahan bisnis yang mampu memperkuat kerjasama antara dua perusahaan raksasa keluarg kami.Namun bagi Kalisa, pernikahannya dengan Aksena bukan hanya sekedar pernikahan bisnis semata. Kalisa sudah mencintai Aksena sejak mereka kecil. Aksena adalah sahabat masa kecilnya yang selalu ada di saat Kalisa membutuhkannya. Dari kecil selalu bersama karena kedua orang tua mereka bersahabat dan juga partner bisnis.Sikap Aksena mulai berubah saat mereka duduk di bangku SMA dan mulai menyadari kalau Kalisa jatuh cinta padanya. Aksena dengan tegas mengatakan kalau dia hanya