Share

Semakin Membenci

Aksena membuka matanya perlahan, berusaha mengingat di mana dirinya berada. Tubuhnya terasa berat dan pegal, seakan-akan baru saja melalui sesuatu yang melelahkan. Begitu kesadaran sepenuhnya pulih, dia merasakan kehangatan tubuh lain di sampingnya. Pandangannya tertuju pada sosok Kalisa yang tertidur lelap dalam pelukannya, dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun. Pemandangan itu seperti tamparan keras bagi Aksena. Kesadaran tentang apa yang telah terjadi malam sebelumnya menghantamnya dengan brutal.

"Kalisa!" serunya dengan suara keras, mendorong tubuh wanita itu menjauh dengan kasar. Kalisa terbangun kaget, matanya masih setengah tertutup oleh kantuk saat dia merasakan dorongan kuat dari Aksena. Tubuhnya terhuyung, dan dia hampir terjatuh dari tempat tidur.

"Sena, kamu ngapain sih dorong-dorong aku?" tanya Kalisa, suaranya serak dan bingung. Dia mencoba meraih selimut untuk menutupi dirinya, namun tatapan marah Aksena membuat tangannya gemetar.

"Apa ini? Kamu ngapain aku semalam, hah?" kata-kata itu keluar dari mulut Aksena dengan nada yang nyaris tak terkendali. "Apa yang sudah kita lakukan semalam? Jawab!"

Kalisa tertegun. "Apa yang kita lakukan semalam? Apa yang kita lakukan semalam adalah sesuatu yang seharusnya kita lakukan dari sejak malam pertama kita menikah. Kita menghabiskan malam bersama. Apa yang salah?"

"Diam!" Aksena berteriak, melompat dari tempat tidur dan dengan cepat mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai. Wajahnya memerah, bukan hanya karena kemarahan tetapi juga karena rasa malu dan rasa bersalah yang menghantui dirinya. Bersalah karena telah menghianati Sandra kekasihnya.

"Ini tidak seharusnya terjadi. Kita ... aku... seharusnya tidak pernah melakukan ini!"

Kalisa menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang kian memuncak. Dia berdiri, masih mencoba menutupi tubuhnya dengan selimut, dan menatap Aksena dengan tatapan lembut namun penuh ketegasan. "Sen, kita bukan anak kecil lagi. Kita tahu apa yang kita lakukan. Ini bukan tentang kekuatan atau kelemahan. Ini tentang perasaan. Kamu tidak bisa mengingkari apa yang kamu rasakan."

"Perasaan?" Aksena menatapnya dengan sinis, matanya menyala dengan api kemarahan. "Perasaan apa, Kalisa? Aku tidak pernah punya perasaan apapun padamu? Kamu sengaja membuatku kehilangan kendali dan kamu membuatku jatuh dalam jebakanmu?"

"Jebakan? Kamu bicara seolah-olah aku merencanakan ini!" Kalisa membalas dengan nada yang mulai meninggi, merasa tersinggung oleh tuduhan Aksena. Jelas-jelas semalam Aksena yang memulai.

"Apa kamu pikir aku merencanakan segala hal yang terjadi antara kita? Apa kamu pikir aku hanya ingin mempermainkanmu?"

Aksena terdiam, berusaha mengendalikan diri. Namun, kemarahan dan rasa bersalah terus menggeliat di dalam dirinya. Dia tahu bahwa sebagian dari apa yang dia katakan tidak adil, tetapi dia merasa terpojok oleh situasi yang begitu rumit dan tidak diinginkannya.

"Aku tidak bisa ... aku tidak boleh menerima ini," katanya pelan, suaranya mulai merendah, meskipun emosinya masih tampak jelas di wajahnya. "Aku yakin kamu sudah menjebak aku. Aku tahu kamu bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuan kamu!"

"Kanapa sih kamu selalu bersikap seperti ini sama aku? Kamu nggak bisa lihat kalau aku tulus cinta sama kamu, Sen." Air mata Kalisa tumpah membasahi pipi. Namun, Aksena seakan tak bergeming apalagi iba. Wajahnya tetap menunjukkan kemarahan yang teramat dalam.

"Kamu perempuan licik, Kalisa. Aku semakin membenci kamu, kalau kamu tahu," ujar Aksena dingin.

"Aku harus melupakan semuanya, Kalisa. Ini salah. Kita salah. Dan aku... aku tak bisa melanjutkan ini. Aku punya tanggung jawab yang lebih besar, dan ini ... ini hanya akan menghancurkan segalanya."

Kalisa menunduk, merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. "Jadi, hanya itu? Kamu akan meninggalkan semuanya? Melupakan apa yang terjadi, melupakan semalam? Hanya demi perempuan itu?

"Jaga bicara kamu, Kalisa!" bentak Aksena. "Aku peringatkan sama kamu, kalau kamu berani mengganggu Sandra dengan kejadian di antara kita, maka aku nggak akan segan-segan untuk menceraikan kamu."

"Oh, begitu? Jadi kamu lebih suka kehilangan segalanya dari pada harus kehilangan perempuan itu?"

"Sandra segalanya bagiku, camkan itu." Tanpa menunggu jawaban, Aksena segera meraih jaketnya dan menuju pintu, meninggalkan Kalisa yang terduduk lemas di tepi tempat tidur, masih terbungkus selimut dengan air mata yang terus mengalir di wajahnya. Dia tahu bahwa dia baru saja kehilangan sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa dia dapatkan kembali.

Saat Aksena melangkah keluar dari kamar itu, hatinya terasa berat, seakan-akan meninggalkan sebagian dari dirinya di balik pintu yang kini tertutup rapat. Dia tahu bahwa ini mungkin adalah keputusan yang paling sulit yang pernah dia buat, tetapi dia tidak melihat jalan lain. Dia berjalan menjauh dengan cepat, tanpa melihat ke belakang, berusaha melupakan malam yang penuh dengan hasrat dan penyesalan itu, meskipun bayangan Kalisa tiba-tiba kini menghantui pikirannya.

"Arg! Brengsek!" makinya seraya menyambar kunci mobil dan meninggalkan rumahnya.

Sementara itu di dalam kamar, Kalisa menyeka air matanya dan meraih ponsel di atas nakas. Dia memeriksa foto-foto panasnya semalam dengan Aksena yang berhasil dia dapatkan. Lalu dia kirimkan ke sebuah nomer yang diberikan oleh Rangga kemarin.

Nomer telepon Sandra.

Dia kirimkan foto-foto itu pada Sandra. Dia terpaksa melakukannya. Kalisa tahu ini jahat, tapi hatinya sudah penuh dengan rasa pedih akan penolakan Aksena, bahkan setelah semalam mereka menghabiskan waktu penuh gairah.

Kalisa duduk di tepi tempat tidur, jantungnya berdegup kencang setelah mengirimkan foto-foto itu. Matanya masih sembab, tetapi kini ada kilatan dingin dalam tatapannya. Setiap gambar yang dia kirimkan ke Sandra adalah bukti pengkhianatan Aksena, dan Kalisa tahu betul bahwa ini akan menghancurkan hubungan mereka.

Sambil menggenggam ponselnya erat, Kalisa menghela napas panjang. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah tindakan yang kejam, tetapi sakit hati dan amarahnya tidak dapat diredam lagi.

“Sandra segalanya bagimu, ya?” bisiknya penuh kepahitan. “Kita lihat saja apa yang akan dia katakan setelah ini.”

Di luar, Aksena melangkah cepat menuju mobilnya, kemarahan bercampur penyesalan menguasai pikirannya. Saat dia masuk ke dalam mobil, tangannya bergetar ketika mencoba memasukkan kunci ke lubangnya. Pikiran tentang Sandra membuatnya merasa bersalah, tetapi dia tak bisa menghilangkan bayangan Kalisa yang terus mengusik benaknya. Bayangan wajah Kalisa yang penuh kesedihan dan pengkhianatan menghantuinya, seolah menjadi beban yang tak mampu dia lepaskan.

“Brengsek,” gumamnya lagi, memukul setir dengan kepalan tangan. “Bagaimana bisa aku begitu bodoh?”

Kalisa tersenyum tipis nan pahit di dekat jendela kamar memandangi mobil Aksena yang menjauh keluar halaman rumah. Dia tahu bahwa pesan itu akan menghancurkan hubungan Aksena dan Sandra sebentar lagi. Ada rasa ragu tertanam di hatinya, akan perbuatannya yang mungkin jahat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status