Hah?!
“Siapa yang mengirimkan pesan dengan gaya pengecut seperti ini? Aslan benar, setelah aku masuk ke El Khairi, perang sesungguhnya baru saja dimulai.” Orang itu pasti mengirimkan pesan untuk memberikan tekanan padaku. Dia masih saja berpikir bahwa aku adalah Adina yang dulu. Wanita yang hanya tau caranya untuk menderita. Seorang istri yang menggantungkan nasibnya pada suami untukbahagia. Aku mengabaikan pesan yang masuk itu. Itu pasti orang dari pihak Fattan. Kehancuran Fattan pasti membawa dampak besar. Bukan hanya dirinya tapi juga keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Kakakku yang sejak kecil hidup di keluarga EL Khairi, telah terbiasa dengan pola hidup mewah. Dia menikah dengan Hisyam yang juga pengusaha yang cukup sukses. Lalu keluarga Fattan, sebagai keluarga keturunan Timur Tengah, hidup mewah adalah salah satu kebanggaan. Setelah Fattan kehilangan EL Khairi dan perusahaan lainnya dilumpuhkan, pasti sulit bagi mereka untuk masuk ke dalam pola hidup baru. Aku yakin, Si Pengiri
“Apa maksud anda? Anda kenal Fattan?” “Tentu saja. Fattan adalah orang yang selama ini memberikan support pada hidupku. Dekat dengan Fattan memberiku banyak keuntungan.” Wanita ini menjawab terus terang dan tanpa rasa peduli. Aku mendengar ada nada bangga dalam kata-katanya. Dari caranya berbicara, aku tahu wanita ini sedang mencoba memperkeruh suasana. Dia ingin menguji ketenanganku. Kusilangkan tangan ke dada dan memandangnya dengan tatapan sinis. Ketenanganku berhasil membuatnya semakin gelisah. Wanita itu terlihat kesal karena dia tidak mencapai tujuannya. Kata-kata yang dia sampaikan untuk menghancurkan mentalku sama sekali tidak berfungsi. Saat ini hubunganku dengan Fattan sudah berakhir. Kejuta-kejutan tentangnya bukan hal penting lagi untukku. Aku memilih tetap diam menunggu penjelasan wanita ini. Penjelasan yang sebenarnya tidak terlalu kubutuhkan. “Karena kau bercerai dengan Fattan, hubungan kami pun harus berakhir. Karena ternyata istri baru Fattan lebih pintar darimu.
“Ya, saya kenal, Bu. Kan Rani, Malika dan Anaya pernah satu kelas sewaktu TK. Kami sering bertemu. Kenapa rupanya?” tanya Ibu Rani. Wajahnya terlihat cemas. Dia bahkan tidak berani menatap mataku secara langsung ketika aku sudah duduk tepat di sebelahnya. Ibu Rani mulai terlihat bersikap gelisah. Kedua tangannya meremas tas merk mahal yang ada di atas pangkuannya. “Apakah Ibu Rani tahu juga bahwa Mamah Malika memiliki hubungan dengan ayah Anaya?” “Eh! Kalau soal itu, saya tidak tahu. Bener, Bu.” Wajah panik Ibu Rani telah menjelaskan semuanya. Dia tahu tentang hubungan Fattan dan Mamah Malika. Aku yakin, bukan hanya Ibu Rani yang tahu. Saat kami sekolah di TK yang sama, sebagian wai murid dan kebanyakan adalah ibu dari siswa akan menunggu anak-anak mereka sampai kelas selesai. Waktu yang tentu sudah dimaklumi secara umum, akan menjadi ajang tempat membicarakan banyak hal. Mereka pasti juga membicarakan tentang hubungan Fattan dan Mamah Malika. Selama ini para wali murid itu memand
“Siapa dia?” tanya Aslan saat melihat Mamah Malika berdiri di depan kami dengan sikap arogan. “Dia ibu salah satu teman Anaya.” Aku menjawab dengan nada perlahan tanpa mengalihkan pandangan dari Mamah Malika. Mamah Malika mendekati kami. Wanita itu memakai rok pendek dan kemeja yang tampaknya terlau kekecilan. Busana yang sebenarnya sangat tidak cocok untuk digunakan di acara seperti ini. Sementara Malika berjalan di sampingnya. Gadis kecil berwajah polos itu tampak bingung melihat sikap ibunya yang dipenuhi kemarahan. “Apa kau ada masalah dengannya? Wanita itu terlihat sangat sinis,” tanya Aslan lagi. “Aku tidak punya masalah dengannya. Dia yang punya masalah denganku.” Lagi-lagi aku menjawab sambil bergumam. “Maksudmu?” “Dia adalah kekasih Fattan.” “Sebelum kalian menikah?” “Saat kami menikah.” Wajah Aslan mendadak buram karena penjelasan singkat yang kuberikan. Sama sepertiku yang tidak menduga bahwa selain Kalila ternyata ada wanita lain yang selama ini mewarnai pernikahan
“Aku tidak bermaksud mempertanyakan itu.” “Kau sudah terlanjut mengucapkannya, Adin.” “Ah, maaf.” Aslan tersenyum tipis karena kepanikanku. Ya, aku memang panik. Pertanyaanku secara tidak langsung telah mengeneralisir seorang pria yang tumbuh dari keluarga yang kurang baik. Sebuah ekspresi terkejut karena aku tidak menyangka pria yang tenang seperti Aslan juga berasal dari kehidupan yang penuh luka. “Tenang saja, Adina. Aku mengerti. Setelah apa yang kau alami bersama Fattan, wajar saja kau berpikir seperti itu. Tapi, aku bukan Fattan yang bodoh dengan terus menerus menyambung mata rantai itu.” “Aku bisa melihatnya.” “Semoga kau selalu bisa melihatnya. Melihat kesedihan ibuku saat harus menerima bahwa ayahku telah menikah lagi, telah membuatku berpikir. Sebuah pemikiran panjang yang tidak dimiliki oleh Fattan.” “Apakah karena ibumu?” “Ibuku menunjukkan luka sekaligus kekuatan saat badai itu menghantam keluarga kami. Itu yang menjadikan aku kuat dan tegar. Setidaknya demi ibuku.
“Saya akan kembali untuk melakukan pembayaran. Tolong, izinkan kami pergi untuk mengambil kartu yang lainnya.” Terdengar suara seorang pria. “Luar biasa! Itu tuh alasan klasik. Semua orang yang ingin makan gratis di sini selalu mengatakan hal yang sama. Kalian pikir kami sebodoh itu?” seorang security berteriak di dekat wajah pria itu. “Kami tidak akan lari. Kami pasti kembali untuk menyelesaikan pembayaran,” suara pria itu terdengar memelas dan memohon. Dia sedang coba untuk meyakinkan kasir dan security yang ada di sana. Mereka seolah tidak memiliki belas kasihan dan terus berusaha membawa pria dan wanita itu ke bagian belakang restaurant. Tempat di mana dapur berada. Aku tidak bisa melihat pria itu karena mereka berdiri membelakangi kami. Kulihat pria itu menggunakan kemeja biru dan celana hitam resmi. Lalu wanita yang ada di sebelahnya memakai baju warna orange dengan potongan di atas lutut. Dari belakang mereka tampak seperti pasangan yang serasi. Aku dan Aslan saling memanda
“Tuan Aslan, anda baik sekali. Ada telah menyelamatkan dua orang sampah ini dari rasa malu. Mereka benar-benar beruntung karena anda datang di waktu yang tepat,” ucap salah seorang security. “Itu adalah tugas seorang manusia yang lebih kuat untuk menolong manusia lain yang lebih lemah. Bukan justru menghinakan dan merendahkan orang lain.” Elegan! Cara Aslan ‘menampar’ perasaan Fattan sangat-sangat elegan. Dia menyindir apa yang selama ini Fattan lakukan padaku. Sekarang, ketika mata tombak kehidupan mengarah ke wajah Fattan, ternyata Aslan tidak ‘mendorongnya’ untuk membunuh harga diri Fattan. Dia meminta Fattan untuk ‘menancapkan’ sendiri rasa sakit itu di hatinya. Aku melihat Fattan mendekati Aslan. Matanya begitu tajam seolah bersiap membunuh pria yang baru saja membayar tagihan makan siangnya. Wajah keduanya bertemu dengan jarak satu jengkal saja. Fattan dipenuhi kemarahan yang ingin segera dilampiaskan. Sayangnya, dia sedang berhadapan dengan malaikat yang menolongnya dari huku
“Kenyataannya begitu kan? Saat kau menjadi istriku, kau sudah tinggal di rumah pria ini.” Aku mendekat dan berdiri berhadapan dengan Fattan. Meski pun Aslan dan Kalila tetap berdiri di tempat mereka masing-masing, tapi aku tahu sebenarnya mereka sedang mengawasi kami. Mereka bersiaga untuk semua kemungkinan yang terjadi. Mataku menatap Fattan dengan berani. Keberanian yang beum pernah sekali pun kuperlihatkan langsung di hadapannya. Wajah yang selama ini arogan dan memandangku sebelah mata itu pun mendadak berubah. Dia terlihat surut dan mereda. “Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa berpikir dengan cara yang terbalik seperti ini. Kita semua tahu, bahwa Aslan adalah orang yang menolongku dan Anaya. Jika bukan karena Aslan, mungkin saat ini aku dan Anaya sudah menjadi gembel di jalanan.” “Itu adalah keputusanmu. Aku tidak pernah memintamu pergi dari rumahku.” Aslan mendekat dan berdiri di sebelahku. Kami berhadapan dengan Fattan. Secara spontan Kalila pun bergeser dan berdiri di se
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil