Siapa sih itu ibu Malika. Duh!
“Ya, saya kenal, Bu. Kan Rani, Malika dan Anaya pernah satu kelas sewaktu TK. Kami sering bertemu. Kenapa rupanya?” tanya Ibu Rani. Wajahnya terlihat cemas. Dia bahkan tidak berani menatap mataku secara langsung ketika aku sudah duduk tepat di sebelahnya. Ibu Rani mulai terlihat bersikap gelisah. Kedua tangannya meremas tas merk mahal yang ada di atas pangkuannya. “Apakah Ibu Rani tahu juga bahwa Mamah Malika memiliki hubungan dengan ayah Anaya?” “Eh! Kalau soal itu, saya tidak tahu. Bener, Bu.” Wajah panik Ibu Rani telah menjelaskan semuanya. Dia tahu tentang hubungan Fattan dan Mamah Malika. Aku yakin, bukan hanya Ibu Rani yang tahu. Saat kami sekolah di TK yang sama, sebagian wai murid dan kebanyakan adalah ibu dari siswa akan menunggu anak-anak mereka sampai kelas selesai. Waktu yang tentu sudah dimaklumi secara umum, akan menjadi ajang tempat membicarakan banyak hal. Mereka pasti juga membicarakan tentang hubungan Fattan dan Mamah Malika. Selama ini para wali murid itu memand
“Siapa dia?” tanya Aslan saat melihat Mamah Malika berdiri di depan kami dengan sikap arogan. “Dia ibu salah satu teman Anaya.” Aku menjawab dengan nada perlahan tanpa mengalihkan pandangan dari Mamah Malika. Mamah Malika mendekati kami. Wanita itu memakai rok pendek dan kemeja yang tampaknya terlau kekecilan. Busana yang sebenarnya sangat tidak cocok untuk digunakan di acara seperti ini. Sementara Malika berjalan di sampingnya. Gadis kecil berwajah polos itu tampak bingung melihat sikap ibunya yang dipenuhi kemarahan. “Apa kau ada masalah dengannya? Wanita itu terlihat sangat sinis,” tanya Aslan lagi. “Aku tidak punya masalah dengannya. Dia yang punya masalah denganku.” Lagi-lagi aku menjawab sambil bergumam. “Maksudmu?” “Dia adalah kekasih Fattan.” “Sebelum kalian menikah?” “Saat kami menikah.” Wajah Aslan mendadak buram karena penjelasan singkat yang kuberikan. Sama sepertiku yang tidak menduga bahwa selain Kalila ternyata ada wanita lain yang selama ini mewarnai pernikahan
“Aku tidak bermaksud mempertanyakan itu.” “Kau sudah terlanjut mengucapkannya, Adin.” “Ah, maaf.” Aslan tersenyum tipis karena kepanikanku. Ya, aku memang panik. Pertanyaanku secara tidak langsung telah mengeneralisir seorang pria yang tumbuh dari keluarga yang kurang baik. Sebuah ekspresi terkejut karena aku tidak menyangka pria yang tenang seperti Aslan juga berasal dari kehidupan yang penuh luka. “Tenang saja, Adina. Aku mengerti. Setelah apa yang kau alami bersama Fattan, wajar saja kau berpikir seperti itu. Tapi, aku bukan Fattan yang bodoh dengan terus menerus menyambung mata rantai itu.” “Aku bisa melihatnya.” “Semoga kau selalu bisa melihatnya. Melihat kesedihan ibuku saat harus menerima bahwa ayahku telah menikah lagi, telah membuatku berpikir. Sebuah pemikiran panjang yang tidak dimiliki oleh Fattan.” “Apakah karena ibumu?” “Ibuku menunjukkan luka sekaligus kekuatan saat badai itu menghantam keluarga kami. Itu yang menjadikan aku kuat dan tegar. Setidaknya demi ibuku.
“Saya akan kembali untuk melakukan pembayaran. Tolong, izinkan kami pergi untuk mengambil kartu yang lainnya.” Terdengar suara seorang pria. “Luar biasa! Itu tuh alasan klasik. Semua orang yang ingin makan gratis di sini selalu mengatakan hal yang sama. Kalian pikir kami sebodoh itu?” seorang security berteriak di dekat wajah pria itu. “Kami tidak akan lari. Kami pasti kembali untuk menyelesaikan pembayaran,” suara pria itu terdengar memelas dan memohon. Dia sedang coba untuk meyakinkan kasir dan security yang ada di sana. Mereka seolah tidak memiliki belas kasihan dan terus berusaha membawa pria dan wanita itu ke bagian belakang restaurant. Tempat di mana dapur berada. Aku tidak bisa melihat pria itu karena mereka berdiri membelakangi kami. Kulihat pria itu menggunakan kemeja biru dan celana hitam resmi. Lalu wanita yang ada di sebelahnya memakai baju warna orange dengan potongan di atas lutut. Dari belakang mereka tampak seperti pasangan yang serasi. Aku dan Aslan saling memanda
“Tuan Aslan, anda baik sekali. Ada telah menyelamatkan dua orang sampah ini dari rasa malu. Mereka benar-benar beruntung karena anda datang di waktu yang tepat,” ucap salah seorang security. “Itu adalah tugas seorang manusia yang lebih kuat untuk menolong manusia lain yang lebih lemah. Bukan justru menghinakan dan merendahkan orang lain.” Elegan! Cara Aslan ‘menampar’ perasaan Fattan sangat-sangat elegan. Dia menyindir apa yang selama ini Fattan lakukan padaku. Sekarang, ketika mata tombak kehidupan mengarah ke wajah Fattan, ternyata Aslan tidak ‘mendorongnya’ untuk membunuh harga diri Fattan. Dia meminta Fattan untuk ‘menancapkan’ sendiri rasa sakit itu di hatinya. Aku melihat Fattan mendekati Aslan. Matanya begitu tajam seolah bersiap membunuh pria yang baru saja membayar tagihan makan siangnya. Wajah keduanya bertemu dengan jarak satu jengkal saja. Fattan dipenuhi kemarahan yang ingin segera dilampiaskan. Sayangnya, dia sedang berhadapan dengan malaikat yang menolongnya dari huku
“Kenyataannya begitu kan? Saat kau menjadi istriku, kau sudah tinggal di rumah pria ini.” Aku mendekat dan berdiri berhadapan dengan Fattan. Meski pun Aslan dan Kalila tetap berdiri di tempat mereka masing-masing, tapi aku tahu sebenarnya mereka sedang mengawasi kami. Mereka bersiaga untuk semua kemungkinan yang terjadi. Mataku menatap Fattan dengan berani. Keberanian yang beum pernah sekali pun kuperlihatkan langsung di hadapannya. Wajah yang selama ini arogan dan memandangku sebelah mata itu pun mendadak berubah. Dia terlihat surut dan mereda. “Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa berpikir dengan cara yang terbalik seperti ini. Kita semua tahu, bahwa Aslan adalah orang yang menolongku dan Anaya. Jika bukan karena Aslan, mungkin saat ini aku dan Anaya sudah menjadi gembel di jalanan.” “Itu adalah keputusanmu. Aku tidak pernah memintamu pergi dari rumahku.” Aslan mendekat dan berdiri di sebelahku. Kami berhadapan dengan Fattan. Secara spontan Kalila pun bergeser dan berdiri di se
“Kita pasti akan menemukan siapa pelakunya. Tidak ada transaksi keuangan yang bisa disembunyikan di jaman ini. Semua yang terjadi secara digital pasti bisa ditemukan.” “Masalahnya, kita tidak punya akses untuk menemukan. Semua transaksi itu tersimpan di bank. Mereka pasti menutup akses engan sempurna.” Asaln tersenyum, “Dengan uang, sistem pun akan bekerja untukmu. Kau sudah membuktikan dengan semua informasi El Khairi yang kuberikan padamu bukan? Ayo, sudah waktunya pulang. Anaya pasti ingin beristirahat.” Aslan mengantar kami ke apartement. Mobil miliknya mengikuti dari belakang dikendarai seoang supir. Kulirik jam di tangan, masih pukul tiga sore. Sebenarnya aku masih ingin ke kantor untuk mencari tahu apa yang Yuda temukan. Tapi, melihat wajah Anaya yang kelelahan, aku berpikir untuk menunda semuanya sampai besok. Setelah aku dan Anaya tba di apartement, Aslan berpindah ke mobilnya dan kembali ke Abdurrahman Company. Sikap Aslan dalam melindungi aku dan Anaya, kadang membuatku
“Kak Zahra, kau masih ingat untuk menghubungiku?” “Tentu saja, Adina. Aku adalah kakakmu. Bagaimana mungkin kita melupakan hubungan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Aku bahkan lupa bahwa kau bukan saudara kandungku.” “Ini terdengar lucu, Kak. Apakah kau tidak pernah memikirkan hal itu ketika kau sedang berkonspirasi dengan Fattan untuk menjatuhkanku?” “Ini tidak seperti yang kau pikirkan Adina. Aku tidak mungkin melakukan hal sejahat itu.” “Oh, ya? Lalu?” Semua penjahat yang tertangkap pasti mengatakan hal yang sama bukan? Mereka tidak berniat jahat hanya terjebak dalam situasi. Lalu membuat mereka ingin melakukan lebih banyak dan mengambil lebih banyak. Alasan klasik yang tidak mungkin bisa dipercaya tapi tetap saja mereka katakan. Apakah hari ini Kak Zahra masih berpikir aku sebodoh yang dulu? Setelah semua yang dilihat di depan matanya, apakah dia masih berpikir untuk menghubungiku dan melakukan manipulasi agar aku percaya? Sebuah tindakan konyol yang terlalu beran