Seribu love yang aku dapatkan di novel ini, sangat-sangat berarti. Terima kasih para pembaca yang masih setia mengikuti novel ini. Kepercayaan kalian adalah semangatku. Sending love - Ans
Inilah yang membuatku tidak berhenti mempercayai Aslan. Seorang gadis yang dikirimkannya kemarin, telah bekerja secepat kilat. Setelah instruksi yang kuberikan kemarin. Pagi ini saat aku membuka mata, aku melihat barisan laporan di ponselku. Ternyata Kak Zahra menderita sakit jantung akut. Keuangan perusahaan mereka sudah di bawah garis minus. Itu sebabnya mereka tampak sangat kacau. Setelah Fattan tidak bisa membayar bill restaurant, sekarang Kak Zahra terancam tidak bisa meneruskan pengobatan. Jika aku membantu mereka begitu saja, bukankah ini akan menjadi anti klimaks semua yang telah kulakukan. Rasanya itu seperti menunjukkan kelemahanku sendiri. Aku memutuskan untuk menelpon Kak Zahra. “Adina, akhirnya kau menghubungiku.” “Aku menawarkan sebuah negosiasi. Jika kalian setuju, maka mintalah suamimu dan Kalila datang ke kantor El Khairi pagi ini.” “Negosiasi seperti apa?” “Aku ingin melihat kedua orang yang kau sayangi itu memohon padaku untuk pengobatanmu. Aku akan menjamin pe
“Kalian tahu bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang gratis. Maka, atas bantuan yang aku berikan juga ada harga yang harus dibayar.” Aku diam membiarkan Kalila dan Hisyam menunggu. Wajah mereka terlihat tegang. Tangan Kalila bergerak gelisah meremas tangan yang lain untuk meredakan kegugupannya. Sementara Hisyam melihatku dengan tatapan memohon ampunan. Syarat yang akan kuajukan seolah menjadi hukuman bagi mereka. Ketakutan yang cukup beralasan mengingat apa yang pernah mereka lakukan padaku. Sekarang ‘bola’ ada di tanganku. Mereka tahu persis bahwa aku akan menggunakan satu per satu ‘peluru’ yang kumiliki untuk membalas sakit hatiku. “Syarat ini tidak sulit. Kalian hanya perlu bersedia untuk melakukannya.” “Katakan!” ucap Kalila dengan nada angkuh. Cara bicara yang digunakan untuk menutupi kekhawatirannya. Gadis ini sepertinya belum mengerti bahwa nasib mereka sedang berada di ujung tanduk. “Salah satu dari kalian, kau atau Fattan, harus bekerja selama tiga bulan di kantorku se
“Perempuan sombong! Kau akan membayar semua kesombonganmu itu nanti!” teriak Kalila. “Oh, ya? Aku sekarang hanya sedang mengembalikan apa yang pernah kalian berikan padaku dulu. Inilah yang disebut pelunasan Kalila. Jika saja dari awal kalian tahu bahwa pembalasan akan lebih menyakitkan dari apa pun juga.” Mataku terasa panas. Aku yakin saat ini matau pasti merah menyala karena amarah. Hisyam yang biasanya begitu berani pun akhirnya hanya bisa diam tanpa kata karena melihat kemarahanku. Mereka memang sednag tidak berdaya. Mereka nyaris tanpa pilihan. Saat ini di mata kolega dan para mitra bisnisnya, Hisyam Company dan Salama Company berada di bawah minus untuk bisa dipercaya. Fattan bukan pengusaha yang memiliki hubungan baik secara pribadi dengan para kolega. Jangankan untuk meminjam uang, bahkan untuk menampakkan wajah di depan mitra bisnisnya pun saat ini pasti Hisyam dan Fattan sudah tidak mampu. Dua perusahaan itu hanya menunggu waktu untuk dinyatakan pailit dan dilelang. “Ay
“Suruh security mengantar dia masuk ke ruanganku. Dari lift pekerja, bukan lift VVIP.” “Baik, Nyonya.” Setelah meletakkan gagang telepon ke tempatnya., aku tersenyum tipis sambil menatap bayanganku di kaca meja. Aku nyaris tidak mengenali wanita itu. Wanita yang ada di dalam bayangan itu, adalah wanita kejam tanpa hati dan perasaan. Wanita yang siap membantai mereka yang pernah menyakitinya. Tenggorokanku terasa kering dan hatiku bergemuruh. Betapa dia yang sesaat lagi akan masuk ke ruangan ini adalah pria yang perah kucintai. Pria yang pernah menjadi pujaan hati. Di mana aku bertahun-tahun mengabdikan diriku padanya. Dia yang kupuja bagai raja dan menjadi segalanya. “Nyonya, apa anda baik-baik saja?” Suara Yuda memecah lamunanku. “Staff yang kita tunggu sudah datang. Silahkan kau sambut dia. Berikan dia seragam dan lakukan semua yang aku perintahkan.” Yuda mengerutkan kening. Belum sempat dia bertanya, Vivian membuka pintu dan masuk ke ruanganku. “Ada Tuan Fattan di luar ruanga
“Perkenalkan, ini adalah pekerja kita yang baru. Tuan… Bapak… Hmm… maksudku, Fattan. Mulai hari ini dia akan berkerja untuk lantai 15 dan 16 kantor El Khairi. Segela sesuatu yang berkaitan dengan kebersihan dan keperluan kantor akan menjadi tanggung jawabnya.” Aku melihat Yuda memperkenalkan Fattan pada seluruh karyawan di lantai 16 dalam pertemuan mendadak di ruang meeting. Semua itu bisa kulihat dari CCTV yang ada di laptopku. Aku sengaja melihat CCTV untuk mengetahui apa yang akan Yuda lakukan pada Fattan. Di CCTV itu aku melihat Fattan berdiri di samping Yuda dengan wajah tertunduk lesu. Dia nyaris tidak bisa mendongakkan wajah untuk melihat siapa pun yang ada di ruangan itu. Semua orang yang ada di ruangan itu adalah staff El Khairi Company yang bertugas di lantai 16 yaitu divisi dokumen BOD dan persiapan tender. Sementara lantai lima belas adalah lantai tempat kantor BOD dan direktur berada. Hanya ada beberapa sekretaris dan staff. Kurang dari dua puluh orang yang berada di la
“Letakkan saja di meja,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Aku tahu itu adalah Fattan yang sedang menjalankan pekerjaan barunya. Ada sisi lain dari kebencianku yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Dalam keterpaksaan Fattan menjalankan syarat yang kuberikan, sebenarnya dia sedang mengorbankan harga diri dan kehormatannya sendiri. Mengagumkan karena Fattan mau berkorban sebanyak itu untuk kesembuhan Kak Zahra. Walau itu semua tentu atas tekanan dari Kalila. Kemungkinan Hisyam dan Kalila memaksa Fattan melakukan ini semua demi Zahra. Dia terpaksa menjadi office boy di El Khairi. Di perusahaan yang dia pernah menjadi CEO di dalamnya. “Adina, Selamat pagi.” Aslan masuk ke ruang kerjaku. Serentak aku dan Fattan menoleh ke arah pintu. Sesosok tampan dengan setelan baju resmi berwarna putih berjalan masuk dan mendekat ke mejaku. “Selamat pagi, Aslan. Kau datang tanpa memberitahuku.” “Apakah aku tamu yang harus membuat janji denganmu? Atau aku bisa menculikmu untuk makan siang bersamaku
Aslan melihat ke arahku. Tatapannya terasa sangat tegas dan penuh kekuatan. Seperti api yang siap untuk melelehkan gunung es di hadapannya. Aku tak bergeming. Dia harus menjelaskan apa yang baru saja dia katakan. Itu sangat berlawanan dengan tindakan yang kulakukan pada Fattan. Apakah sekarang tiba-tiba Aslan ingin menunjukkan kasih sayang pada Fattan? “Dia sudah mendapatkan apa yang harusnya didapatkan. Kau tidak harus menjadi iblis untuk memberikan seseorang pelajaran. Lagi pula aku merasa tidak nyaman kalau Fattan berkeliaran di sekitarmu setiap saat. El Khairi adalah perusahaan besar. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun Adina. Kau perlu fokus untuk menjalankan bisnis ini.” “Jadi, menurutmu satu sampah ini bisa membuatku kehilangan fokus? Dia bukan siapa-siapa lagi, Fattan tidak ada artinya lagi buatku.” “Aku percaya padamu. Dalam banyak hal, kita bahkan tidak bisa mengkhianati ingatan kita sendiri, Adina.” Aslan bersiap untuk meneruskan langkahnya setelah menutup dengan seba
“Menikah?” tanyaku mengulang pernyataan Aslan. Ah, bukan! Aku bukan sedang mengulang, lebih tepatnya aku memastikan bahwa yang kudengar itu tidak salah. Menikah, artinya Aslan perlu seorang wanita untuk dibawa ke hadapan ibunya. Di usianya yang sudah matang dengan karir dan kekayaan yang bagus, menikah akan menjadi tahapan selanjutnya yang membuat Aslan semakin sempurna. Harapan semua ibu dan orang tua untuk melihat anak-anak mereka memiliki pasangan. Itu juga yang diinginkan oleh ibu Aslan. Bukan sesuatu yang aneh tapi cukup membuatku terkejut. Entah kenapa aku merasa terkejut. Aku merasa aneh dengan perasaanku sendiri sekarang. “Aku pernah mengatakan perasaanku padamu. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Sampai hari ini, perasaan itu tetap sama dan tidak pernah berubah.” “Dan aku pernah mengatakan padamu dengan jujur tentang semua yang sedang kualami dan kurasakan.” “Bahkan sebelum kau mengatakan, aku sudah mengerti Adina. Hanya saja, keadaan yang terjadi saat ini diluar kendaliku. I