El Khairi siap-siap gempar!
“Perkenalkan, ini adalah pekerja kita yang baru. Tuan… Bapak… Hmm… maksudku, Fattan. Mulai hari ini dia akan berkerja untuk lantai 15 dan 16 kantor El Khairi. Segela sesuatu yang berkaitan dengan kebersihan dan keperluan kantor akan menjadi tanggung jawabnya.” Aku melihat Yuda memperkenalkan Fattan pada seluruh karyawan di lantai 16 dalam pertemuan mendadak di ruang meeting. Semua itu bisa kulihat dari CCTV yang ada di laptopku. Aku sengaja melihat CCTV untuk mengetahui apa yang akan Yuda lakukan pada Fattan. Di CCTV itu aku melihat Fattan berdiri di samping Yuda dengan wajah tertunduk lesu. Dia nyaris tidak bisa mendongakkan wajah untuk melihat siapa pun yang ada di ruangan itu. Semua orang yang ada di ruangan itu adalah staff El Khairi Company yang bertugas di lantai 16 yaitu divisi dokumen BOD dan persiapan tender. Sementara lantai lima belas adalah lantai tempat kantor BOD dan direktur berada. Hanya ada beberapa sekretaris dan staff. Kurang dari dua puluh orang yang berada di la
“Letakkan saja di meja,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Aku tahu itu adalah Fattan yang sedang menjalankan pekerjaan barunya. Ada sisi lain dari kebencianku yang tidak bisa kuabaikan begitu saja. Dalam keterpaksaan Fattan menjalankan syarat yang kuberikan, sebenarnya dia sedang mengorbankan harga diri dan kehormatannya sendiri. Mengagumkan karena Fattan mau berkorban sebanyak itu untuk kesembuhan Kak Zahra. Walau itu semua tentu atas tekanan dari Kalila. Kemungkinan Hisyam dan Kalila memaksa Fattan melakukan ini semua demi Zahra. Dia terpaksa menjadi office boy di El Khairi. Di perusahaan yang dia pernah menjadi CEO di dalamnya. “Adina, Selamat pagi.” Aslan masuk ke ruang kerjaku. Serentak aku dan Fattan menoleh ke arah pintu. Sesosok tampan dengan setelan baju resmi berwarna putih berjalan masuk dan mendekat ke mejaku. “Selamat pagi, Aslan. Kau datang tanpa memberitahuku.” “Apakah aku tamu yang harus membuat janji denganmu? Atau aku bisa menculikmu untuk makan siang bersamaku
Aslan melihat ke arahku. Tatapannya terasa sangat tegas dan penuh kekuatan. Seperti api yang siap untuk melelehkan gunung es di hadapannya. Aku tak bergeming. Dia harus menjelaskan apa yang baru saja dia katakan. Itu sangat berlawanan dengan tindakan yang kulakukan pada Fattan. Apakah sekarang tiba-tiba Aslan ingin menunjukkan kasih sayang pada Fattan? “Dia sudah mendapatkan apa yang harusnya didapatkan. Kau tidak harus menjadi iblis untuk memberikan seseorang pelajaran. Lagi pula aku merasa tidak nyaman kalau Fattan berkeliaran di sekitarmu setiap saat. El Khairi adalah perusahaan besar. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun Adina. Kau perlu fokus untuk menjalankan bisnis ini.” “Jadi, menurutmu satu sampah ini bisa membuatku kehilangan fokus? Dia bukan siapa-siapa lagi, Fattan tidak ada artinya lagi buatku.” “Aku percaya padamu. Dalam banyak hal, kita bahkan tidak bisa mengkhianati ingatan kita sendiri, Adina.” Aslan bersiap untuk meneruskan langkahnya setelah menutup dengan seba
“Menikah?” tanyaku mengulang pernyataan Aslan. Ah, bukan! Aku bukan sedang mengulang, lebih tepatnya aku memastikan bahwa yang kudengar itu tidak salah. Menikah, artinya Aslan perlu seorang wanita untuk dibawa ke hadapan ibunya. Di usianya yang sudah matang dengan karir dan kekayaan yang bagus, menikah akan menjadi tahapan selanjutnya yang membuat Aslan semakin sempurna. Harapan semua ibu dan orang tua untuk melihat anak-anak mereka memiliki pasangan. Itu juga yang diinginkan oleh ibu Aslan. Bukan sesuatu yang aneh tapi cukup membuatku terkejut. Entah kenapa aku merasa terkejut. Aku merasa aneh dengan perasaanku sendiri sekarang. “Aku pernah mengatakan perasaanku padamu. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Sampai hari ini, perasaan itu tetap sama dan tidak pernah berubah.” “Dan aku pernah mengatakan padamu dengan jujur tentang semua yang sedang kualami dan kurasakan.” “Bahkan sebelum kau mengatakan, aku sudah mengerti Adina. Hanya saja, keadaan yang terjadi saat ini diluar kendaliku. I
“Oh….” Ujarku sambil menyandarkan punggung ke bantalan kursi empuk yang ada sedang kududuki. Sepenggal ‘oh’ yang entah apa artinya. Itu bukan ungkapan kelegaan tentu saja. Aku sedang mencoba menyusuri perasaanku sendiri. Apakah sebenarnya aku sedang kecewa? Untuk apa? Bukankah aku sendiri yang menolak lamaran Aslan. Mengetahui ada wanita lain yang akan bersama Aslan, ternyata juga sama sulitnya. Dalam hal ini aku tidak ingin terlihat egois. Aku tidak bisa ikut bersama Aslan dalam hubungan lain yang lebih serius. Artinya, aku juga tidak boleh menahan Aslan untuk tetap bersamaku. Dia punya hak untuk pergi kemana pun dia mau. Tidak mungkin Aslan menungguku selamanya. Entah sampai kapan aku akan siap menerimanya. Jadi, sebenarnya apa yang kurasakan? Berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. Berseru menderu bagai gelombang. Semua terasa sangat luar biasa. Ada getaran yang entah harus kubawa kemana. Aku terjebak bingung dalam perasaanku sendiri. Mata Aslan memandangku dengan semua ketulus
“Setelah apa yang kita bicarakan hari ini, tidak ada yang berubah di antara kita,” ujar Aslan. Aku mengangguk dengan senyum terpaksa. Tidak mungkin semua tetap sama. Sekarang saja, aku sudah merasakan sesuatu di hatiku. Sesuatu yang mungkin suatu hari nanti akan kusesali. Tapi, tidak untuk hari ini. Keesokan harinya, dengan suasan hati tidak karuan, aku duduk di ruang meeting bersama Yuda, tim auditor dan Vivian. Wajah-wajah cemas terlihat di dalam ruangan. Auditor itu adalah lembaga terpercaya yang telah kubayar mahal. Kami semua sama sekali tidak menyangka dengan temuan yang mereka dapatkan dari penyelidikan itu. Sebuah aliran dana sangat besar tertuju pada seseorang di belakang layar. Dengan nama belakang yang sama. El Khairi. “Ini adalah laporan terakhir kami. Aliran dana yang mengalir ke rekening rahasia ini jumlahnya tidak main-main, Nyonya. Kami pikir, dengan uang sebanyak itu anda bisa mendirikan El Khairi kedua.” Kepala tim audit memberikan penjelasan. “Kita tidak bisa me
“Siapa dia? Walau pun dia mengirim pesan dari nomor yang berbeda-beda, aku yakin dia adalah orang yang sama.” Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Seorang sekretaris muncul di ambang pintu. “Nyonya Adina, Tuan Fattan… hmm… maksud saya, Fattan ingin bertemu dengan anda.” Sesaat keteganganku semakin menjadi. Setelah meeting dengan Audit, Yuda dan Vivian, aku menerima pesan ancaman misterius itu. Lalu sekarang apa lagi? Fattan ingin bertemu denganku? “Bukankah dia seharusnya tidak ada lagi di kantor ini?” tanyaku. “Betul, Nyonya. Seperti yang telah anda perintahkan. Tapi, kali ini dia datang untuk bertemu dengan anda. Jika anda tidak berkenan, saya akan memanggil security untuk mengusirnya.” Aku terdiam. Fattan sudah tahu bahwa jika dia datang ke El Khairi Company, artinya dia hanya akan menyerahkan harga dirinya. Kemarin Aslan sudah mengatakan dengan jelas bahwa Fattan tidak boleh lagi berada di sekitarku. Hari ini dia justru datang khusus untuk menemuiku. Sebuah upaya dengan
“Apakah kau masih cukup waras mengatakan semua ini padaku?” “Adina, jangan terlalu keras padaku. Aku tahu, aku salah tapi bukan berarti aku tidak berhak atas maaf darimu. Ingat saja, bahwa aku adalah ayah Anaya. Kau melakukan ini untuk Anaya.” Fattan mencondongkan tubuh ke depan dan kedua tangannya berada di atas meja. Dia ingin menunjukkan ekspresi bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kita tidak bisa terus bermusuhan jika kau ingin Anaya bahagia.” Hatiku tergelak mendengar kata-kata Fattan. Apakah dia mempertaruhkan nyawa untuk menyampaikan semua ini padaku. Kondisi kami benar-benar sudah berbeda tapi, Fattan masih saja berpikir dengan cara yang sama. “Dengar Fattan, kalau kau sudah selesai bicara silahkan keluar dari ruangan ini. Aku tidak punya waktu untuk berbicara hal-hal sampah seperti ini.” Wajah Fattan tak ayal memerah. Butiran keringat terlihat keluar dari keningnya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa aku akan bersikap sedingin itu. Aku bahkan tidak menanggapi sediki