Siapa bayangan hitam yang terus melakukan teror pada Adina?
“Siapa dia? Walau pun dia mengirim pesan dari nomor yang berbeda-beda, aku yakin dia adalah orang yang sama.” Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Seorang sekretaris muncul di ambang pintu. “Nyonya Adina, Tuan Fattan… hmm… maksud saya, Fattan ingin bertemu dengan anda.” Sesaat keteganganku semakin menjadi. Setelah meeting dengan Audit, Yuda dan Vivian, aku menerima pesan ancaman misterius itu. Lalu sekarang apa lagi? Fattan ingin bertemu denganku? “Bukankah dia seharusnya tidak ada lagi di kantor ini?” tanyaku. “Betul, Nyonya. Seperti yang telah anda perintahkan. Tapi, kali ini dia datang untuk bertemu dengan anda. Jika anda tidak berkenan, saya akan memanggil security untuk mengusirnya.” Aku terdiam. Fattan sudah tahu bahwa jika dia datang ke El Khairi Company, artinya dia hanya akan menyerahkan harga dirinya. Kemarin Aslan sudah mengatakan dengan jelas bahwa Fattan tidak boleh lagi berada di sekitarku. Hari ini dia justru datang khusus untuk menemuiku. Sebuah upaya dengan
“Apakah kau masih cukup waras mengatakan semua ini padaku?” “Adina, jangan terlalu keras padaku. Aku tahu, aku salah tapi bukan berarti aku tidak berhak atas maaf darimu. Ingat saja, bahwa aku adalah ayah Anaya. Kau melakukan ini untuk Anaya.” Fattan mencondongkan tubuh ke depan dan kedua tangannya berada di atas meja. Dia ingin menunjukkan ekspresi bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kita tidak bisa terus bermusuhan jika kau ingin Anaya bahagia.” Hatiku tergelak mendengar kata-kata Fattan. Apakah dia mempertaruhkan nyawa untuk menyampaikan semua ini padaku. Kondisi kami benar-benar sudah berbeda tapi, Fattan masih saja berpikir dengan cara yang sama. “Dengar Fattan, kalau kau sudah selesai bicara silahkan keluar dari ruangan ini. Aku tidak punya waktu untuk berbicara hal-hal sampah seperti ini.” Wajah Fattan tak ayal memerah. Butiran keringat terlihat keluar dari keningnya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa aku akan bersikap sedingin itu. Aku bahkan tidak menanggapi sediki
“Malika teman sekelas Naya yang dulu sekolah bareng waktu di TK ya?” “ Iya bener yang itu, Bu. Syukurlah dia pindah sekolah,” sahut Mbak Pia dari depan. Aku mengerling ke arahnya. Apa yang terjadi padaku dan Mamah Malika saat pentas seni Anaya pasti sudah menjadi perbincangan di sekolah. Sepertinya Mbak Pia tahu lebih banyak tentang wanita itu. “Kenapa bersyukur, Mbak?” “Saya nggak suka sama dia, Nyonya.” “Kenapa nggak suka? Apakah dia berbuat tidak baik pada Mbak Pia atau Anaya?” “Nggak sih, Bu. Malah terlalu baik. Sampai nyebelin baiknya itu.” “Misalnya apa?” Pembicaraan kami menjadi sangat menarik. Jalanan Jakarta hari ini sedikit lebih padat. Bersamaan dengan puluhan mobil yang keluar dari sekolah. Kami harus mengantri untuk bisa menembus jalan raya. Entah kenapa, berita perginya teman Anaya membuatku sedikit lega. Aku sama sekali tidak berpikir tentang Fattan dan hubungannya dengan wanita itu. Meski sekali lagi, jika kuingat itu terasa menyakitkan. Mereka berhubungan saat
“Nyonya, Mbak Vivian itu tidak suka bicara ya?” tanya Mbak Pia ketika kami baru saja tiba di bandara. Ini adalah hari keberangkatan kami ke Singapur. Selain Mbak Pia dan Anaya, Vivian juga pergi bersama kami. Sejak di dalam perjalanan dari apartement ke bandara, Anaya sibuk berceloteh. Mbak Pia menjadi teman setia untuk berbicara. Vivian duduk di dekat mereka, namun tidak sepatah kata pun dia ucapkan. Itulah karakter Vivian yang dingin dan waspada. Dia adalah seornag bodyguard yang sangat profesional. Beberapa kali Mbak Pia mengajak bicara Vivian, tapi gadis itu hanya memberi jawaban seadanya. Tentu saja itu membua bingung karena Mbak Pia adalah pengasuh Anaya yang terbiasa dengan sifat ceria. Aku melihat Mbak Pia mulai segan untuk menyapa Vivian. Dia akhirnya memilih berbincang hanya dengan Anaya sampai kami tiba di bandara. “Saya akan atur semuanya. Nyonya silahkan tunggu. Setelah saya menyelesaikan semuanya, nanti kalian tinggal masuk saja,” ujar Vivian. “Terima kasih, Vivian.
“Tante Adina….” Kalila mendesis. Tentu saja dia tidak akan berani berteriak atau memekik. Lihatlah wanita muda yang ada di hadapanku ini. Dia memakai baju pramugari dengn make up tebal. Tubuhnya masih seindah dulu ketika dia belum menjadi istri Fattan. Seragam pramugari yang membuatku tercengang. Apa yang sedang terjadi dengan hidup mereka. Bukankah Kalila masih memiliki bayi yang barusia beberapa bulan? Lalu kenapa dia ada di sini dan bekerja sebagai pramugari? “Aku memanggil pramugari. Kenapa kau yang datang?” ucapku ringan. Lalu kembali aku melihat pada daftar menu. Meski sebenarnya aku memang sangat terkejut, tapi tidak ingin kuperlihatkan pada Kalila. Aku memilih untuk berpura-pura tidak peduli dengan apa yang sedang kulihat. “Aku pramugari penerbangan ini, Tante.” “Tante? Apakah begitu caramu memanggil customer di dalam sebuah penerbangan?” “Maaf, maksudku. Nyonya.” “Terdengar lebih baik. Sebenarnya aku tidak suka dilayani oleh orang yang aku benci. Apa kau bisa memanggil
“Berani sekali dia melakukan itu?” “Saya mendapat laporan valid tentang hal ini, Nyonya.” “Apakah pengacara kita sudah mendapatkan surat panggilan? Baru beberapa hari lalu aku bertemu Fattan dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Hari ini kita bertemu dengan istrinya yang tidak lebih baik.” “Tuan Fattan melakukan ini untuk memperbaiki kehidupannya.” “Kenapa kau menyimpulkan hal seperti itu, Vivian?” “Berdasarkan pengalaman saya. Dari apa yang anda pernah katakan, maka menurut saya, Tuan Fattan tidak sungguh-sungguh menginginkan Nona Anaya. Dia hanya sedang membuka jalan menuju negosiasi.” “Untuk bertukar dengan sesuatu? Fattan sedang mengacaukan ketenanganku untuk menukarnya dengan sesuatu. Begitu?” Vivian mengangguk. Aku percaya dengan kecerdasan Vivian. Di usianya yang masih sangat muda, dia telah memiliki banyak pengalaman. Sebagai bodyguard profesional dia biasa menangani klien besar dengan berbagai permasalahan yang rumit. Beberapa hari tampaknya membawa perubahan besar p
“Sebenarnya aku sudah berencana untuk menemuimu di Indonesia. Tidak kusangka ternyata kau sangat bernyali dan justru datang menantangku di sini.” Aku segera menoleh. Suara pria itu sangat berat dan dalam. Saat aku melihatnya, dia adalah pria yang ada di foto Vivian. Pria yang sedang kami cari untuk bertemu. Sosoknya gagah dan aura tegas terpancar jelas dari penampilannya. Wajahnya adalah perpaduan Indonesia dan Timur tengah. Sepasang mata coklat terbingkai bulu mata lentik membuat pria itu terlihat sangat misterius. Dia menatap lurus ke arah kami. Sementara di belakangnya dia orang pria lain dengan tshirt hitam dan celana jeans berdiri dengan sikap menakutkan. Aku yakin, dua pria itu pasti pengawal orang yang tadi berbicara padaku. Seketika aku menjadi waspada. Vivian belum kembali dari mengurus check in kami di hotel. “Siapa kau?” tanyaku. “Kau sudah bisa menebak siapa aku. Kedatanganmu ke sini bahkan untuk bertemu denganku, bukan? Lalu kenapa harus bertanya lagi.” “Dirgantara E
“Wanita bernama Natalia Wijaya,” ujar Vivian. Alih-alih memberi informasi, suara Vivian terdengar seperti bergumam. Aku nyaris tidak mendengar apa yang dia katakan. “Siapa Natalia?” tanyaku. “Nama wanita itu sering muncul saat saya sedang mencari data tentang Dirgantara El Khairi. Semua saya pikir itu adalah nama istrinya.” “Pria itu memiliki sebuah rahasia yang tidak kita ketahui.” “Dia juga memiliki perlindungan sangat tebal yang membuatnya tidak bisa dijangkau oleh orang lain.” Dirgantara pasti memiliki kekuasaan dan kekuatan yang tidak bisa aku bayangkan. Mungkin jika Aslan ada di sini akan berbeda ceritanya. Aslan memiliki kekuatan dan instinct yang sangat peka tentang seseorang. Dia jug mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Nyatanya dunia bisnis memang tidak seindah yang terlihat di permukaan. Ada permainan kotor, intrik dan berbagai konspirasi untuk menjatuhkan atau mendukung satu pihak. Hal-hal seperti itu hanya terjadi di balik layar dan tidak bisa dili
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil