Kasian Adina, hidupnya seperti roler coaster
“Setelah apa yang kita bicarakan hari ini, tidak ada yang berubah di antara kita,” ujar Aslan. Aku mengangguk dengan senyum terpaksa. Tidak mungkin semua tetap sama. Sekarang saja, aku sudah merasakan sesuatu di hatiku. Sesuatu yang mungkin suatu hari nanti akan kusesali. Tapi, tidak untuk hari ini. Keesokan harinya, dengan suasan hati tidak karuan, aku duduk di ruang meeting bersama Yuda, tim auditor dan Vivian. Wajah-wajah cemas terlihat di dalam ruangan. Auditor itu adalah lembaga terpercaya yang telah kubayar mahal. Kami semua sama sekali tidak menyangka dengan temuan yang mereka dapatkan dari penyelidikan itu. Sebuah aliran dana sangat besar tertuju pada seseorang di belakang layar. Dengan nama belakang yang sama. El Khairi. “Ini adalah laporan terakhir kami. Aliran dana yang mengalir ke rekening rahasia ini jumlahnya tidak main-main, Nyonya. Kami pikir, dengan uang sebanyak itu anda bisa mendirikan El Khairi kedua.” Kepala tim audit memberikan penjelasan. “Kita tidak bisa me
“Siapa dia? Walau pun dia mengirim pesan dari nomor yang berbeda-beda, aku yakin dia adalah orang yang sama.” Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Seorang sekretaris muncul di ambang pintu. “Nyonya Adina, Tuan Fattan… hmm… maksud saya, Fattan ingin bertemu dengan anda.” Sesaat keteganganku semakin menjadi. Setelah meeting dengan Audit, Yuda dan Vivian, aku menerima pesan ancaman misterius itu. Lalu sekarang apa lagi? Fattan ingin bertemu denganku? “Bukankah dia seharusnya tidak ada lagi di kantor ini?” tanyaku. “Betul, Nyonya. Seperti yang telah anda perintahkan. Tapi, kali ini dia datang untuk bertemu dengan anda. Jika anda tidak berkenan, saya akan memanggil security untuk mengusirnya.” Aku terdiam. Fattan sudah tahu bahwa jika dia datang ke El Khairi Company, artinya dia hanya akan menyerahkan harga dirinya. Kemarin Aslan sudah mengatakan dengan jelas bahwa Fattan tidak boleh lagi berada di sekitarku. Hari ini dia justru datang khusus untuk menemuiku. Sebuah upaya dengan
“Apakah kau masih cukup waras mengatakan semua ini padaku?” “Adina, jangan terlalu keras padaku. Aku tahu, aku salah tapi bukan berarti aku tidak berhak atas maaf darimu. Ingat saja, bahwa aku adalah ayah Anaya. Kau melakukan ini untuk Anaya.” Fattan mencondongkan tubuh ke depan dan kedua tangannya berada di atas meja. Dia ingin menunjukkan ekspresi bersungguh-sungguh dengan ucapannya. “Kita tidak bisa terus bermusuhan jika kau ingin Anaya bahagia.” Hatiku tergelak mendengar kata-kata Fattan. Apakah dia mempertaruhkan nyawa untuk menyampaikan semua ini padaku. Kondisi kami benar-benar sudah berbeda tapi, Fattan masih saja berpikir dengan cara yang sama. “Dengar Fattan, kalau kau sudah selesai bicara silahkan keluar dari ruangan ini. Aku tidak punya waktu untuk berbicara hal-hal sampah seperti ini.” Wajah Fattan tak ayal memerah. Butiran keringat terlihat keluar dari keningnya. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa aku akan bersikap sedingin itu. Aku bahkan tidak menanggapi sediki
“Malika teman sekelas Naya yang dulu sekolah bareng waktu di TK ya?” “ Iya bener yang itu, Bu. Syukurlah dia pindah sekolah,” sahut Mbak Pia dari depan. Aku mengerling ke arahnya. Apa yang terjadi padaku dan Mamah Malika saat pentas seni Anaya pasti sudah menjadi perbincangan di sekolah. Sepertinya Mbak Pia tahu lebih banyak tentang wanita itu. “Kenapa bersyukur, Mbak?” “Saya nggak suka sama dia, Nyonya.” “Kenapa nggak suka? Apakah dia berbuat tidak baik pada Mbak Pia atau Anaya?” “Nggak sih, Bu. Malah terlalu baik. Sampai nyebelin baiknya itu.” “Misalnya apa?” Pembicaraan kami menjadi sangat menarik. Jalanan Jakarta hari ini sedikit lebih padat. Bersamaan dengan puluhan mobil yang keluar dari sekolah. Kami harus mengantri untuk bisa menembus jalan raya. Entah kenapa, berita perginya teman Anaya membuatku sedikit lega. Aku sama sekali tidak berpikir tentang Fattan dan hubungannya dengan wanita itu. Meski sekali lagi, jika kuingat itu terasa menyakitkan. Mereka berhubungan saat
“Nyonya, Mbak Vivian itu tidak suka bicara ya?” tanya Mbak Pia ketika kami baru saja tiba di bandara. Ini adalah hari keberangkatan kami ke Singapur. Selain Mbak Pia dan Anaya, Vivian juga pergi bersama kami. Sejak di dalam perjalanan dari apartement ke bandara, Anaya sibuk berceloteh. Mbak Pia menjadi teman setia untuk berbicara. Vivian duduk di dekat mereka, namun tidak sepatah kata pun dia ucapkan. Itulah karakter Vivian yang dingin dan waspada. Dia adalah seornag bodyguard yang sangat profesional. Beberapa kali Mbak Pia mengajak bicara Vivian, tapi gadis itu hanya memberi jawaban seadanya. Tentu saja itu membua bingung karena Mbak Pia adalah pengasuh Anaya yang terbiasa dengan sifat ceria. Aku melihat Mbak Pia mulai segan untuk menyapa Vivian. Dia akhirnya memilih berbincang hanya dengan Anaya sampai kami tiba di bandara. “Saya akan atur semuanya. Nyonya silahkan tunggu. Setelah saya menyelesaikan semuanya, nanti kalian tinggal masuk saja,” ujar Vivian. “Terima kasih, Vivian.
“Tante Adina….” Kalila mendesis. Tentu saja dia tidak akan berani berteriak atau memekik. Lihatlah wanita muda yang ada di hadapanku ini. Dia memakai baju pramugari dengn make up tebal. Tubuhnya masih seindah dulu ketika dia belum menjadi istri Fattan. Seragam pramugari yang membuatku tercengang. Apa yang sedang terjadi dengan hidup mereka. Bukankah Kalila masih memiliki bayi yang barusia beberapa bulan? Lalu kenapa dia ada di sini dan bekerja sebagai pramugari? “Aku memanggil pramugari. Kenapa kau yang datang?” ucapku ringan. Lalu kembali aku melihat pada daftar menu. Meski sebenarnya aku memang sangat terkejut, tapi tidak ingin kuperlihatkan pada Kalila. Aku memilih untuk berpura-pura tidak peduli dengan apa yang sedang kulihat. “Aku pramugari penerbangan ini, Tante.” “Tante? Apakah begitu caramu memanggil customer di dalam sebuah penerbangan?” “Maaf, maksudku. Nyonya.” “Terdengar lebih baik. Sebenarnya aku tidak suka dilayani oleh orang yang aku benci. Apa kau bisa memanggil
“Berani sekali dia melakukan itu?” “Saya mendapat laporan valid tentang hal ini, Nyonya.” “Apakah pengacara kita sudah mendapatkan surat panggilan? Baru beberapa hari lalu aku bertemu Fattan dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Hari ini kita bertemu dengan istrinya yang tidak lebih baik.” “Tuan Fattan melakukan ini untuk memperbaiki kehidupannya.” “Kenapa kau menyimpulkan hal seperti itu, Vivian?” “Berdasarkan pengalaman saya. Dari apa yang anda pernah katakan, maka menurut saya, Tuan Fattan tidak sungguh-sungguh menginginkan Nona Anaya. Dia hanya sedang membuka jalan menuju negosiasi.” “Untuk bertukar dengan sesuatu? Fattan sedang mengacaukan ketenanganku untuk menukarnya dengan sesuatu. Begitu?” Vivian mengangguk. Aku percaya dengan kecerdasan Vivian. Di usianya yang masih sangat muda, dia telah memiliki banyak pengalaman. Sebagai bodyguard profesional dia biasa menangani klien besar dengan berbagai permasalahan yang rumit. Beberapa hari tampaknya membawa perubahan besar p
“Sebenarnya aku sudah berencana untuk menemuimu di Indonesia. Tidak kusangka ternyata kau sangat bernyali dan justru datang menantangku di sini.” Aku segera menoleh. Suara pria itu sangat berat dan dalam. Saat aku melihatnya, dia adalah pria yang ada di foto Vivian. Pria yang sedang kami cari untuk bertemu. Sosoknya gagah dan aura tegas terpancar jelas dari penampilannya. Wajahnya adalah perpaduan Indonesia dan Timur tengah. Sepasang mata coklat terbingkai bulu mata lentik membuat pria itu terlihat sangat misterius. Dia menatap lurus ke arah kami. Sementara di belakangnya dia orang pria lain dengan tshirt hitam dan celana jeans berdiri dengan sikap menakutkan. Aku yakin, dua pria itu pasti pengawal orang yang tadi berbicara padaku. Seketika aku menjadi waspada. Vivian belum kembali dari mengurus check in kami di hotel. “Siapa kau?” tanyaku. “Kau sudah bisa menebak siapa aku. Kedatanganmu ke sini bahkan untuk bertemu denganku, bukan? Lalu kenapa harus bertanya lagi.” “Dirgantara E