Keluarga? Hmm...
“Aku benar-benar tidak mengerti semua yang kau katakan,” ujarku ketika akhirnya aku duduk di depan Dirgantara. Entah kenapa aku setuju saja dengan usul Vivian untuk bertemu pria ini sekarang. Dengan penampilan santainya, aku melihat wajah Dirgantara menunjukkan kemenangan. Dia menyandarkan punggung ke kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Kau memang tidak mengerti. Karena itulah kita bertemu dan berbicara agar kau mengerti.” “Jangan berbelit-belit. Kau mengundangku di tengah malam untuk berbicara. Lalu mengatakan hal yang tidak masuk akal.” Dirgantara menoleh pada Vivian yang berdiri di belakangku. Seperti biasa, Vivian berdiri dengan sikap waspada. Tubuh langsing dan wajah cantik Vivian sama sekali tidak mengurangi aura berbahaya yang dia miliki. Ketika seseorang berani sedikit saja mengganggu kami, maka Vivian pasti akan membantai mereka. Melihat bahwa Dirgantara melayangkan pandangan padanya, Vivian menanggapi dengan gerak gerik semakin berani. Dia melipat kedua tan
“Bagimu, El Khairi memang adalah ayah yang baik. Tapi, bagiku dia tidak lebih dari seorang penjahat,” jawab Tara. Matanya menatap ke atas permukaan meja. Aku melihat sebuah ‘luka’ di raut wajahnya. Ada kesedihan berbalut kebencian yang dia rasakan. Sesaat raut wajah itu berhasil membuatku merasa sesak. Tanpa kutahu kenapa aku bisa ikut merasakan apa yang Tara rasakan. Bukankah kami hanya dua orang asing yang baru saja bertemu? Lalu kenapa aku tiba-tiba merasa memiliki ikatan dengan pria ini. Ikatan yang tanpa alasan tapi begitu kuat kurasakan. Bahkan lebih kuat dari ikatan yang kurasakan dengan Zahra. “Jangan mengatakan hal itu padaku, Tara. Dia adalah orang yang sangat aku hormati. Darinya aku belajar tentang kasih sayang dan cinta seorang pria.” “Meski akhirnya dia justru memilih pria yang salah untukmu?” “Apa yang ayahku pilih adalah berdasarkan apa yang dia lihat dalam diri Fattan. Sayangnya, apa yang dia lihat di awal telah berubah di akhir cerita,” jawabku. Aku menepiskan b
“Tidak semuanya benar. Ayahmu memberikan uang itu sebagai bentuk penebusan atas kesalahannya.” “Ayahku? Kau harus terbiasa untuk menyebutnya sebagai ayahmu. Dia juga ayahmu, benar kan?” “Aku merasa aneh, karena selama ini aku memanggilnya dengan nama saja. Aku tidak merasa dia layak untuk disebut sebagai ayahku.” Aku bisa mengerti kenapa Tara begitu membenci ayahku. Bukan hal yang mudah besar tanpa seorang ayah. Seorang anak laki-laki butuh sosok ayah untuk menjadi contoh baginya. Begitu pula seorang anak perempuan, dia membutuhkan sosok ayah sebagai pedoman bagi hidupnya. Diam-diam saat bicara dengan Tara, aku melihat refleksi Anaya kecilku yang sekarang sedang kehilangan ayahnya. Aku mulai mempertanyakan apakah Anaya akan tumbuh dengan luka seperti Tara? Atau aku bisa membalut kekurangannya dengan kasih sayang yang bahagia? Ah, ternyata masih banyak hal yang tidak terpikirkan olehku selama ini. Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu. Aku harus fokus untuk menemukan masalah
“Aku tidak bisa mengatakan semuanya padamu sekarang. Aku tahu kau sedang mengalami masa-masa yang sulit,” ujar Tara. Kata-katanya membuatku gemas sekaligus kesal. “Kalau kau tidak ingin mengatakannya, lalu kenapa kau harus memberikan pernyataan yang membuatku penasaran. Ingin rasanya aku meminta Vivian untuk menembakmu sekarang.” Tara tertawa terbahak-bahak. Dia merasa kata-kataku lucu atau sebenarnya Tara sudah cukup mabuk. Aku lihat botol wine yang ada di atas meja tersisa setengah. Entah gelas ke berapa yang sudah masuk ke perut Tara. Sejak kami mulai bicara sampai sekarang, gelas wine itu selalu ada dalam genggamannya. Setiap kali isinya habis diteguk, dia akan menuangkan kembali. Tampaknya minuman keras sudah menjadi bagian hidup seorang Tara. Sesuatu yang sulit ditolak memang. Kehidupan glamour orang –orang papan atas pastilah selalu lengkap dengan segala kerlap kerlipnya. Kekuasaan, harta, wanita, minuman mahal, akan jadi penghias yang sulit untuk diabaikan begitu saja. “A
“Innalilahi wa innailaihi roji’un… kapan?” “Baru saja. Kondisinya sangat buruk Penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya dan membuatnya berbau busuk. Kami akan memakamkannya pagi ini,” jelas Fattan. “Apa Kalila ada di Indonesia?” “Dia… dia ada di Indonesia. Kenapa kau bertanya seperti itu?” “Aku hanya memastikan karena aku bertemu dengannya dalam penerbanganku ke Singapura. Lebh tepatnya dia menjadi pramugari di pesawat yang kami tumpangi.” “Oh….” Fattan tidak memberikan banyak reaksi selain sepenggal ‘oh’ yang terlontar. Dia pasti merasa malu karena kondisi mereka sekarang jauh berbeda dengan apa yang selama ini mereka sombongkan. “Aku sedang berlibur dengan Anaya di Singapura. Maaf, kami tidak bisa menghadiri acara pemakaman Zahra.” “Tidak masalah. Aku hanya berusaha memberitahumu karena kalian bersaudara. Maksudku, kalian pernah menjadi saudara.” “Baiklah, terima kasih sudah mengabarkan padaku.” Lalu aku pun memutuskan sambungan telepon. Entah kenapa, kadang aku merasa Fatta
“Hi,” sapaku. “Dia bisa berbahasa Indonesia. Hana sudah lama tinggal di Indonesia,” ujar Aslan menjelaskan. “Kenapa kau harus menjelaskan padanya? Apakah Adina begitu penting untukmu?” tanya Hana sinis. Jujur saja, hatiku menciut dengan pembicaraan ini. Ternyata selama ini Hana tinggal di Indonesia. Aslan sama sekali tidak pernah memperkenalkan kami atau membicarakan tentang wanita ini. Ah, siapalah aku yang harus tahu semua kehidupan Aslan. Mungkin bagi Aslan ini adalah bagian pribadi yang tidak boleh dilalui. Belum lagi setelah pertemuan kami lebih dari setahun lalu, aku selalu berkutat dari masalah satu ke masalah berikutnya. Aslan pasti enggan membuatku mengenal Hana yang mungkin membuat hubungan kami jadi agak canggung nantinya. Ruangan tempat kami bertiga berada tiba-tiba terasa menyesakkan. Aku berusaha tetap memasang wajah tenang. Ini akan menjadi sebuha pertemun bisnis dan bukan pertemuan dua teman. Dari sikapnya, Hana sudah memasang dinding tinggi di antara kami. Aslan
“Hana, berhentilah mengatakan hal-hal buruk.” Kudengar Aslan menghardik tunangannya itu. Selebihnya, aku tidak mendengar apa pun dan melangkahkan kaki terus menuju keluar pintu. Sikap Hana memang agak keterlaluan, entah kenapa aku merasa harus memberikan pemakluman. Selain usianya yang masih muda, statusku sebagai seorang wanita tanpa suami pasti membuat Hana khawatir. Kadang aku ingin mengucapkan selamat pada diriku sendiri karena tinggal di negara seribu satu cerita tentang jada. Semua stigma yang sudah terlanjur dilekatkan tanpa ampun. Status yang sejatinya harus menjadi dengan banyak toleransi. Kini status itu justru menjadi momok sendiri bagi kebanyakan orang. Yah, sudahlah! Bukankah sekarang memang sudah waktunya melupakan dan menjaga jarak dengan Aslan? Aku masuk ke dalam mobil dan Vivian juga seorang supir telah menunggu di dalamnya. “Bagaimana pertemuan anda, Nyonya?” tanya Vivian. “As weel as good. Tidak ada yang spesial. Ini hanya pertemuan bisnis biasa. Kenapa kau ber
“Setelah pertemuan kita dengan Tuan Dirgantara, dia menghubungi saya dan meminta untuk kembali ke ruang VVIP di restaurant,” Vivian dengan cepat menjelaskan untuk menghindari kesalah pahaman. “Bukankah kita kembali bersama ke kamar hotel saat itu?” “Setelah anda di dalam kamar, saya keluar lagi,” Vivian terlihat gugup dan takut. Suaranya bergetar dan gerakan tubuhnya terlihat gelisah. Aku percaya pada Vivian. Dia tidak akan berkhianat atau melakukan hal-hal yang mencelakakan aku dan Anaya. Mungkin saat itu dia merasa memang perlu bertemu dengan Tara. Tidak ingin memperpanjang masalah, aku memilih untuk mengangkat bahu dan mengakhiri pembicaraan kami tentang hal ini. “Kau dan Tara sama-sama aneh. Kalian senang sekali merahasiakan sesuatu dan membuatnya menjadi misteri.” “Kami hanya ingin membuat anda merasa nyaman, Nyonya. Jika anda mengetahui banyak hal, maka itu akan menambah beban pikiran anda. Sementara anda memiliki banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Biarlah urusa