Bikin Emosi!
“Hana, berhentilah mengatakan hal-hal buruk.” Kudengar Aslan menghardik tunangannya itu. Selebihnya, aku tidak mendengar apa pun dan melangkahkan kaki terus menuju keluar pintu. Sikap Hana memang agak keterlaluan, entah kenapa aku merasa harus memberikan pemakluman. Selain usianya yang masih muda, statusku sebagai seorang wanita tanpa suami pasti membuat Hana khawatir. Kadang aku ingin mengucapkan selamat pada diriku sendiri karena tinggal di negara seribu satu cerita tentang jada. Semua stigma yang sudah terlanjur dilekatkan tanpa ampun. Status yang sejatinya harus menjadi dengan banyak toleransi. Kini status itu justru menjadi momok sendiri bagi kebanyakan orang. Yah, sudahlah! Bukankah sekarang memang sudah waktunya melupakan dan menjaga jarak dengan Aslan? Aku masuk ke dalam mobil dan Vivian juga seorang supir telah menunggu di dalamnya. “Bagaimana pertemuan anda, Nyonya?” tanya Vivian. “As weel as good. Tidak ada yang spesial. Ini hanya pertemuan bisnis biasa. Kenapa kau ber
“Setelah pertemuan kita dengan Tuan Dirgantara, dia menghubungi saya dan meminta untuk kembali ke ruang VVIP di restaurant,” Vivian dengan cepat menjelaskan untuk menghindari kesalah pahaman. “Bukankah kita kembali bersama ke kamar hotel saat itu?” “Setelah anda di dalam kamar, saya keluar lagi,” Vivian terlihat gugup dan takut. Suaranya bergetar dan gerakan tubuhnya terlihat gelisah. Aku percaya pada Vivian. Dia tidak akan berkhianat atau melakukan hal-hal yang mencelakakan aku dan Anaya. Mungkin saat itu dia merasa memang perlu bertemu dengan Tara. Tidak ingin memperpanjang masalah, aku memilih untuk mengangkat bahu dan mengakhiri pembicaraan kami tentang hal ini. “Kau dan Tara sama-sama aneh. Kalian senang sekali merahasiakan sesuatu dan membuatnya menjadi misteri.” “Kami hanya ingin membuat anda merasa nyaman, Nyonya. Jika anda mengetahui banyak hal, maka itu akan menambah beban pikiran anda. Sementara anda memiliki banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Biarlah urusa
“Mas Fattan!” Kalila terlihat sangat terkejut. Fattan melihat sekilas ke arahku lalu berfokus pada Kalila. Aku lihat di sudut ruangan Vivian juga melihat ke arahku. Gadis itu menunggu instruksi atas apa yang terjadi. Dia selalu berusaha memastikan keamanan dan kenyamananku. Aku sedikit mengangkat tangan sebagai kode agar Vivian menahan diri. Sebenarnya, aku ingin melihat drama apa yang sedang Kalila dan Fattan sajikan sekarang. Mereka begitu berani membuat gaduh di ruanganku. Lebih tepatnya di perusahaan tempat mereka pernah dipermalukan. Fattan melihat Kalila dengan mata melotot. Sementara Kalila segera berdiri. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Fattan di lengannya. Aku dan Vivian hanya diam melihat keduanya mulai bertengkar. “Aku sudah katakan padamu, jangan mendatangi Adina,” ujar Fattan. “Lalu aku harus bagaimana? Dia saja dan tidak melakukan apa pun sementara keadaan kita semakin memburuk?!” “Kau hanya akan mempermalukan dirimu. Jika kau pikir Adina akan memberimu s
“Aku di rumah sakit, Din….” Suara Marissa terdengar lemah. “Hah?! Di rumah sakit? Apa yang terjadi? Kenapa kau terdengar sangat lemah?” “Aku tidak baik-baik saja, Adina. Duniaku hancur.” “Katakan, kau di rumah sakit mana? Aku akan segera ke sana.” Aku mengatakan kalimat ini sambil berdiri dan menyambar tas kecil yang ada di belakangku. Vivian terkejut melihatku bergegas. Dia pun segera mengikutiku. Sambil berjalan dia menghubungi supir kami untuk bersiap di lobby. Sementara itu Marissa menyebutkan nama salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta Pusat. Sepuluh menit kemudian mobil yang kami naiki sudah melaju di menembus kemacetan di jalan raya. Jakarta yang selalu saja padat kendaraan dan membuatku kehilangan kesabaran. Beberapa kali aku bertanya pada supir tentang jalan alternatif menuju ke rumah sakit yang Marissa sebutkan. Melihat kepanikanku, Vivian pun ikut merasa tertekan dan panik. “Apa yang terjadi, Nyonya?” “Aku tidak yakin, Vivian. Terdengar sangat buruk. Aku tidak pe
“Tara? Apakah aku tidak salah dengar? Vivian menyebut nama Tara?” ucapku lirih. Marisa yang melihat mimik bingung di wajahku terlihat semakin kusut. “Kenapa, Din? Siapa gadis itu dan siapa Tara?” tanya Risa. “Gadis itu adalah bodyguard yang Aslan tugaskan untuk menjaga aku dan Anaya. Entah kenapa Aslan merasa perlu melakukan hal seperti itu. Semula dua menugaskan dua orang, tapi aku merasa itu berlebihan. Jadi aku meminta satu dari mereka kembali pada Aslan.” Marisa tersenyum kecut. Dia kembali merasakan kesedihan karena kata-kataku. Sesaat kemudian aku menyadar bahwa aku salah bicara. Sahabatku ini pasti berpikir bahwa dirinya adalah wanita yang putus asa. Marisa terdiam di sudut pria yang dia inginkan. Memang semuanya terdengar sangat ironis. Aslan mencintaiku dan melamarku, tapi aku menolaknya. Lalu dia mengambil pilihan untuk menerima Hana demi ibu dan keluarganya. Di sisi lain ada Marisa yang mencintai Aslan tanpa dia tahu. Cinta yang telah dipendam dalam. Entah bagaimana ak
“Saya akan memilih jalur hukum,” ucapku tegas. Utami, Fattan dan Burhan sontak menoleh ke arahku. Mereka menatapku dengan pandangan tidak percaya. Ketiganya membuka mata lebar dan wajah merek menjadi lebih tegang. Mungkin apa yang aku katakan sama sekali tidak mereka perkirakan. Biasanya, orang akan menghindari konflik bukan? Apalagi menyangkut masalah keluarga. Kami bukan keluarga biasa. El Khairi dan Hilabi ada keluarga yang cukup dikenal di kalangan pebisnis. Berita buruk tentang kami bisa mempengaruhi bisnis dan harga saham. Mereka pasti menyangka aku akan memilih perjanjian damai untuk melindungi diri dari sorotan kamera. Setidaknya itu terlihat dari wajah terkejut yang mereka tunjukkn. Sementara Victor justru tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. “Pikirkan lagi, Nyonya Adina. Keputusan anda akan sangat berpengaruh pada El Khairi company,” kata Burhan. “Lagi pula, masalah seperti ini jika dibawa ke ranah hukum biasanya akan memakan waktu lama. Prosesnya rumit dan melel
“Apa anda yakin, Nyonya?” tanya Vivian yang duduk di kursi depan. Sementara Victor yang duduk di sebelahku berpura-pura tidak mendengar. Dia adalah seorang pengacara yang sangat profesional. Walau dia mengenal Aslan, dia tidak akan menanggapi atau memberi komentar apa pun pada sesuatu yang bukan bagiannya. Salah satu yang membuatku nyaman bekerja sama dengan Victor. Dia akan fokus pada masalah yang harus diselesaikan tanpa berusaha mengetahui hal pribadi kliennya jika tidak dibutuhkan. Sementara Vivian masih menungguku memberikan jawaban. Di balik kacamata hitam yang dia kenakan, Vivian tampaknya sedang melihat ke arahku dari kaca spion yang ada di atas kepalanya. “Apa yang kau khawatirkan, Vivian? Ini hanya makan malam biasa. Aku ingin membicarakan tentang Marisa pada Aslan.” “Saya tahu, Nyonya. Anda pasti tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, Nona Hana bukanlah orang yang sederhana. Dia sangat terobsesi dengan Tuan Aslan. Jika dia tahu malam ini anda bertemu berdua dengan Tuan As
“Adina, aku berharap kau tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat kita bertiga merasa kesakitan.” Aslan menatap wajahku penuh luka.Aku tahu perasaanku pada Aslan perlahan telah berubah. Ada sesuatu yang rasanya selama ini kuingkari. Sesuatu yang entah sejak kapan mengintip di gelapnya sisi hati. Bagaimana aku selalu berusaha memberikan alasan trauma sebagai tameng untuk menolaknya.Sekarang, di sinilah kami. Duduk berhadapan degan berbagai dinding tebal dan duri yang siap menyakiti. Ini bukan tentangku, tolonglah! Aku duduk bersama pria ini bukan untuk membicarakan diriku. Ini adalah tentang hidup Marisa dan harga diri Hana.Bagaimana kami harus menyepakati sesuatu yang tanpa dikatakan pun itu pasti menghancurkan perasaanku dan Aslan. Bibirku bergetar dan terasa kelu untuk menyampaikan kesepakatan konyol. Sesaat aku memejamkan mata untuk mengusir rasa panas di sana.“Aku ingin kau memiliki hubungan dengan Marisa.”Aslan melotot ke arahku.“Sejak kapan kau bisa segila itu?”“Aku ser