Menyebalkan banget sih, ini Si Fattan!
“Saya akan memilih jalur hukum,” ucapku tegas. Utami, Fattan dan Burhan sontak menoleh ke arahku. Mereka menatapku dengan pandangan tidak percaya. Ketiganya membuka mata lebar dan wajah merek menjadi lebih tegang. Mungkin apa yang aku katakan sama sekali tidak mereka perkirakan. Biasanya, orang akan menghindari konflik bukan? Apalagi menyangkut masalah keluarga. Kami bukan keluarga biasa. El Khairi dan Hilabi ada keluarga yang cukup dikenal di kalangan pebisnis. Berita buruk tentang kami bisa mempengaruhi bisnis dan harga saham. Mereka pasti menyangka aku akan memilih perjanjian damai untuk melindungi diri dari sorotan kamera. Setidaknya itu terlihat dari wajah terkejut yang mereka tunjukkn. Sementara Victor justru tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. “Pikirkan lagi, Nyonya Adina. Keputusan anda akan sangat berpengaruh pada El Khairi company,” kata Burhan. “Lagi pula, masalah seperti ini jika dibawa ke ranah hukum biasanya akan memakan waktu lama. Prosesnya rumit dan melel
“Apa anda yakin, Nyonya?” tanya Vivian yang duduk di kursi depan. Sementara Victor yang duduk di sebelahku berpura-pura tidak mendengar. Dia adalah seorang pengacara yang sangat profesional. Walau dia mengenal Aslan, dia tidak akan menanggapi atau memberi komentar apa pun pada sesuatu yang bukan bagiannya. Salah satu yang membuatku nyaman bekerja sama dengan Victor. Dia akan fokus pada masalah yang harus diselesaikan tanpa berusaha mengetahui hal pribadi kliennya jika tidak dibutuhkan. Sementara Vivian masih menungguku memberikan jawaban. Di balik kacamata hitam yang dia kenakan, Vivian tampaknya sedang melihat ke arahku dari kaca spion yang ada di atas kepalanya. “Apa yang kau khawatirkan, Vivian? Ini hanya makan malam biasa. Aku ingin membicarakan tentang Marisa pada Aslan.” “Saya tahu, Nyonya. Anda pasti tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, Nona Hana bukanlah orang yang sederhana. Dia sangat terobsesi dengan Tuan Aslan. Jika dia tahu malam ini anda bertemu berdua dengan Tuan As
“Adina, aku berharap kau tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat kita bertiga merasa kesakitan.” Aslan menatap wajahku penuh luka.Aku tahu perasaanku pada Aslan perlahan telah berubah. Ada sesuatu yang rasanya selama ini kuingkari. Sesuatu yang entah sejak kapan mengintip di gelapnya sisi hati. Bagaimana aku selalu berusaha memberikan alasan trauma sebagai tameng untuk menolaknya.Sekarang, di sinilah kami. Duduk berhadapan degan berbagai dinding tebal dan duri yang siap menyakiti. Ini bukan tentangku, tolonglah! Aku duduk bersama pria ini bukan untuk membicarakan diriku. Ini adalah tentang hidup Marisa dan harga diri Hana.Bagaimana kami harus menyepakati sesuatu yang tanpa dikatakan pun itu pasti menghancurkan perasaanku dan Aslan. Bibirku bergetar dan terasa kelu untuk menyampaikan kesepakatan konyol. Sesaat aku memejamkan mata untuk mengusir rasa panas di sana.“Aku ingin kau memiliki hubungan dengan Marisa.”Aslan melotot ke arahku.“Sejak kapan kau bisa segila itu?”“Aku ser
“Apa? Siapa kau? Hey! Siapa?!!” Dengan panik aku berusaha menghubungi lagi nomor yang baru saja menutuskan sambungan telepon. Sia-sia, nomor itu tiba-tiba tidak aktif. Sepertinya nomor itu digunakan hanya untuk menghubungi sekali lalu dimatikan. Apa yang baru saja kudengar? Pikiranku melayang jauh. Sepertinya orang itu sedang bersama Anaya. Tapi siapa dia? Bukankah di jam ini seharusnya Anaya sedang tidur bersama Mbak Pia di apartement kami? Lalu apa yang dikatakan orang itu tadi? Aku segera menghubungi Mbak Pia. Pengasuh Anaya itu mengangkat telepon. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku yang semula berusaha menenangkan pikiranku sendiri, seketika hilang arah ketika mendengar kalimat dari Mbak Pia. “Ibu… Ibu! Nona Anaya hilang!” “Apa?!” Mendengarku berteriak, beberapa orang di restaurant menoleh ke arahku. Aku tidak bisa memberikan reaksi lebih lagi. Duniaku seketika gelap dan aku kehilangan diriku sendiri. Satu-satunya yang kuingat adlah rasa sakit karena sudut mej
“Katakan! Apa yang kau inginkan?” tanyaku. Drama ini harus segera berakhir. Sesuatu yang menyangkut Anaya bisa membuatku kehilangan kewarasan. “Aku sudah mengirimkan surat ke apartementmu. Kau harus menandatangi surat itu dan letakkan di tempat yang sama. Setelah aku mengambilnya dan memastikan bahwa kau menandatangani surat itu, maka aku akan mengembalikan Anaya.” Pria di sambungan telepon itu memberikan penjelasan. “Surat? Surat apa? Kenapa aku harus menandatangani surat itu dan siapa kau?” tanyaku memburu. Seolah takut bahwa orang itu akan segera mematikan sambungan telepon, aku mengajukan rentetan pertanyaan. Terdengar bodoh karena sebenarnya aku tahu orang itu tidak akan menjawabku. Dia tertawa terbahak-bahak. Di belakang pria itu terdengar jerit Anaya. Hatiku hancur, seketika aku merasa bahwa aku telah mati. Suara Anayaku! Apa yang mereka lakukan padanya?! Entah siapa orang-orang ini. Suaranya terdengar berlogat asing. Aku belum pernah mendengar atau merasa kenal dengan pri
“Tidak mungkin, Tuan Tara yang melakukan ini,”jawab Vivian. Jawaban yang sangat mengejutkan. Dalam nada suaranya, Vivian seolah mengenal baik Tara. Dia memiliki keyakinan pada pria yang belum lama kami kenal itu. Ini sangat aneh karena sebelum kepergian kami ke Singapura beberapa waktu lalu, Dirgantara adalah salah satu target yang akan Vivian jatuhkan. Dia menganggap Tara adalah ancaman bagiku dan El Khairi Company. Entah kenapa sejak pertemuan Vivian dan Tara tanpa aku, sepertinya banyak hal yang berubah dari sudut pandang gadis itu. Dia bahkan kali ini begitu yakin bahwa Tara bukan bagian dari kejahatan yang sedang kami hadapi. Sebuah kecurigaan menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat mengatakan itu, Vivian mengalihkan pandangan. Bukan Vivian yang biasa melihat lurus padaku saaat berbicara. Ketika aku mengerutkan kening, dia justru membalikkan badan. “Saya akan memanggil suster untuk membetulkan infus anda,” ujar Vivian. Dia mulai melangkah. Aku berdehem dan membuatnya berhenti
“Kenapa kau marah padaku? Memangnya kenapa aku harus memberitahukan banyak hal padamu?!” Aku tersulut emosi. Saat ini hati dan pikiranku sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mau bertoleransi pada hal sekecil apa pun. Begitu tebalnya benteng yang memagariku hingga untuk keluar dari dalam kesedihan ini pun aku tidak tahu caranya. Ketika tentang Anaya, maka aku tidak akan bisa dan tidak pernah bisa untuk bersahabat bahkan dengan diriku sendiri. “Adina… aku segera tiba di apartementmu. Tenangkan dirimu, ok!” Lalu Aslan memutuskan sambungan telepon. Aku jatuh terduduk di lantai. Di dalam apartement inihanya ada aku dan Mbak Pia. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Setiap saat kulirik ponsel yang ada disampingku. Aku ingin Si Penculik itu menghubungiku lagi dan lagi. Telepon dari penculik itu adalah sesuatu yang mengerikan sekaligus menjadi sebuah konfirmasi bahwa Anayaku masih baik-baik saja. Aku seolah bisa mendengar tulangku meremas hatiku sendiri. Rasanya menyakitkan dan tida
“Memangnya siapa yang akan melakukan ini untukmu?” tanyanya. “Vivian akan melakukan semuanya,” jawabku dengan nada tinggi. “Jangan berteriak atau kau akan membuat Anaya terbangun.” Sesaat duniaku hilang. Apa yang pria itu katakan sepertinya bukan apa yang ada di pikiranku. Melihat Tara menggendong Anaya, hal pertama yang aku sangkakan adalah dialah orang yang sedang kami cari. Dia yang menculik Anaya. Kenapa pikiranku begitu tersumbat dan dangkal. Aku bahkan tidak bisa melihat bahwa Tara menggendong Anaya penuh dengan kasih sayang. Dia merangkul punggung Anaya yang tertidur pulas di pelukannya. Tidak mungkin hal itu terjadi jika bukan karena sebuah kebaikan. Tanpa menunggu mempersilahkan. Tara masuk ke dalam apartement. Bahunya sedikit menyenggol bahuku. Aku pun mendadak bodoh dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku hanya bergegas mengikuti Tara dan ingin segera memeluk Anaya. “Tunjukkan kamar tidur Anaya!” perintah Tara pada Mbak Pia. “Nona Anaya! Non!” Mbak Pia berteriak