Siapa?! Siapa?! Duh...
“Memangnya siapa yang akan melakukan ini untukmu?” tanyanya. “Vivian akan melakukan semuanya,” jawabku dengan nada tinggi. “Jangan berteriak atau kau akan membuat Anaya terbangun.” Sesaat duniaku hilang. Apa yang pria itu katakan sepertinya bukan apa yang ada di pikiranku. Melihat Tara menggendong Anaya, hal pertama yang aku sangkakan adalah dialah orang yang sedang kami cari. Dia yang menculik Anaya. Kenapa pikiranku begitu tersumbat dan dangkal. Aku bahkan tidak bisa melihat bahwa Tara menggendong Anaya penuh dengan kasih sayang. Dia merangkul punggung Anaya yang tertidur pulas di pelukannya. Tidak mungkin hal itu terjadi jika bukan karena sebuah kebaikan. Tanpa menunggu mempersilahkan. Tara masuk ke dalam apartement. Bahunya sedikit menyenggol bahuku. Aku pun mendadak bodoh dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku hanya bergegas mengikuti Tara dan ingin segera memeluk Anaya. “Tunjukkan kamar tidur Anaya!” perintah Tara pada Mbak Pia. “Nona Anaya! Non!” Mbak Pia berteriak
“Aku tidak peduli siapa pun yang akan kulihat nanti. Orang itu telah meninggalkan trauma dalam untuk Anaya. Dia harus membayar mahal!” ujarku dengan nada dalam dan berat. Aslan dan Tara yang ada di depanku terlihat diam membisu. Mereka pasti terkejut karena di wajahku muncul sisi iblis yang selama ini tidak pernah mereka lihat. Memang, segala hal yang mengenai Anaya, tidak akan mendapakan toleransi sekecil apa pun dariku. Lalu Tara menelan ludah, entah apa maksudnya. Mungkin dia sedang menenangkan dirinya sendiri. Dia mengangkat alis dan mengangguk padaku dan Aslan. Kami pun berjalan beriringan menuju sebuah lift. Tara menekan angka di lantai tujuh puluh. Sepanjang perjalanan menuju tempat itu, kami bertiga hanya diam. Sepertinya pikiran kami bekerja masing-masing. Bahkan ketika tatapanku bertemu dengan mata Aslan yang terpantul dari kaca lift, kami tetap hanya diam. Aslan terlihat menyembunyikan banyak rahasia. “Ayo,” ujar Tara setelah lift berhenti dan kami keluar. Dia jalan leb
“Haruskah kami menjelaskan padamu?” tanya Tara. “Tentu saja. Tiba-tiba kau dan Vivian begitu dekat. Kau bahkan mengenal Aslan dan kalian bekerjasama di belakangku. Bukankah itu mencurigakan.” “Kau curiga pada kami?” tanya Tara. Aku mendang wajah mereka. Tara, Vivian dan Aslan. Ketiganya menatap ke arahku dengan sorot mata menuntut sesuatu. Seolah mereka merasa tidak terima dengan keberatan yang kuberikan. Kau menghela nafas dan menghenyakkan diri di salah satu sofa. Ketiga orang itu mengikutiku. Kami duduk melingkar di sofa yang ada di tengah ruangan. Entah apartement siapa ini. Mereka menggunakannya untuk menampung [enjahat seperti salim. Ini bukan apartement biasa yang orang bisa dengan mudah mendapatkan unit dalam waktu dekat. Pasti apa yang terjadi hari ini sebenarnya sudah diduga sejak lama oleh mereka. Karena itulah apartement ini tiba-tiba saja tersedia. Setelah kami duduk dan keadaan lebih tenang, Aslan angkat bicara. “Vivian sudah tahu bahwa ada seseorang dari garis kelu
“Vivian akan menikah denganku,” ujar Tara. Dia berjalan mendekati Vivian. Tangannya meraih tangan Vivian. Wajah gadis itu memerah dan tertunduk malu. Mataku nyaris keluar ari tempatnya karena melihat pemandangan yang tidak biasa. Lalu aku bertukar pandang dengan Aslan. Tampaknya hal yang sama juga terjadi pada Aslan. Dia juga terkejut dan membisu. Mungkin ekspresi kami sama terngaga karena apa yang baru saja Tara sampaikan. Wajah bersemu Vivian seolah menegaskan semuanya bahwa apa yang Tara sampaikan sudah mendapatkan persetujuan dari gadis itu. Seketika Vivian berubah menjadi gadis lucu yang sedang jatuh cinta. Wajah garangnya sebagai bodyguard telah menghilang entah kemana. Aku mencoba mencerna situasi sebaik mungkin. Tidak ingin egoku yang berbicara maka aku pun berusaha lebih tenang. “Pernikahan? Dalam waktu singkat kalian mengenal dan kalian setuju untuk menikah?” tanyaku. “Kecantikan dan keberanian Vivian bisa membuat siapa saja bertekuk lutut dengan mudah,” jawab Tara. “Oh
“Kenapa kau ada di sekolah Anaya?” tanyaku heran.“Dia anakku, tentu saja aku ingin menemuinya. Beruntung guru Anaya mengatakan padaku tentang apa yang menimpa Anaya. Jika tidak, maka aku tidak pernah tahu bahwa kau telah membuat Anaya dalam bahaya!” Fattan tetap berteriak di sambungan telepon.“Aku membuat Anaya dalam bahaya? Jadi menurutmu ini semua salahku?”“Tentu saja, jika kau tidak terlalu serakah untuk menjadi pemimpin di El Khairi Company dan tetap menjadi ibu yang baik bagi Anaya, ini semua tidak akan pernah terjadi. Kau sibuk dengan bisnismu dan entah berapa banyak pria!”Lalu Fattan memutuskan sambungan telepon. Aku yakin, dia pasti menungguku di sekolah Anaya. Wajahku tak ayal terasa panas dan memerah karena kata-kata Fattan. Apa maksudnya dengan ‘entah berapa banyak pria?’ apakah menurut Fattan aku sejalang itu?Apakah tidak memiliki pasangan membuatku terlihat bebas untuk memiliki malam dan ranjang dengan pria mana pun? Bahkan untukku seorang pemimpin dan pemilik perusa
“Apa kau pikir aku adalah pria yang akan terus memohon dan rela kau rendahkan?” tanya Fattan dengan nada kesal. “Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Semua itu semata aku ingin kita sama-sama tahu posisi yang seharusnya.” “Dengan mempermalukanku di depan semua orang? Di depan karyawan El Khairi? Lalu membuatku kalah telah atas hak asuh Anaya? Begitu maksudmu?” Tatapan mata Fattan benar-benar tidak bersahabat. Ada arogansi yang kembali dalam dirinya. Arogansi yang sebenarnya sudah lama sirna sejak kejatuhannya. Aku menatap Fattan tidak percaya. Pandanganku mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Percuma, aku tidak bisa melihat apa pun. Satu-satunya yang kulihat adalah Fattan begitu percaya diri dan lebih kuat dari sebelumnya. “Apa yang kau inginkan dari kami?” tanyaku sambil menyipitkan mata. Keadaan sekitar sekolah Anaya sudah sepi. Tidak ada siapa pun di sana yang melihat kami. Hanya ada dua orang security yang mengawasi kami dari kejauhan. Juga dua orang tukang kebun seko
“Dia? Siapa? Hey… kenapa wajahmu pucat pasi?” Aku bergegas mendekati Marisa. Nafasnya tersengal dan seperti tidak ada aliran darah di kulitnya. Beberapa menit lalu dia berpamitan untuk keluar dari kamar hotel dan mencari makanan. Sejak kami dalam perjalanan menuju Singapura, Marisa terlihat sangat bahagia. Seperti yang sudah kami rencanakan. Bahwa kedatangan kami ke Singapura adalah untuk menghadiri pernikahan Tara dan Vivian. Selain itu kami ingin berlibur bersama. Beberapa bulan terakhir tampaknya keadaan sangat menyedihkan untukku dan Marisa. Dia dengan segala kegalauannya dan aku dengan segala masalahku. Rasanya begitu penat dan menyesakkan. Aku harap perjalanan dengan Marisa dan Anaya kali ini bisa menjadi liburan terbaik. Sejauh ini semua berjalan mulus. Setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. “Aku melihat Aslan. Di restaurant yang sama. Di hotel ini.” “Aslan? Apa kau menyapanya?” “Tentu saja tidak. Kau bilang dia kembali ke Turki untuk menyiapkan pesta pernikahan.” “
“Hana….” Desisku. Spontan aku menoleh pada Marisa. Ya, benar! Aku tidak sedang mengkhawatirkan diriku. Bertemu dengan Hana dan segala kesinisannya bukan masalah buatku. Pertemuan kami satu-satunya berakhir menyebalkan. Entah karena cemburu atau curiga, tampaknya sulit bagi Hana menerima pertemananku dengan Aslan. Setidaknya pada pertemuan selanjutnya, aku juga tidak berharap banyak. Sebuah kejutan karena kami harus berdekatan di sebuah lift yang sempit. Aku, Marisa, Anaya, Mbak Pia, Hana dan… Aslan. Wajah Aslan terlihat ramah. Begitulah pria, selalu bisa menyembunyikan diri dan perasaannya. Dia mengangguk rama pada Marisa dan menunduk untuk menyapa Anaya. “Halo, Naya. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Aslan. “Iya, Om Aslan nggak pernah ke rumah Naya lagi , sih.” “Ah… maaf ya. Om Aslan sedang sibuk. Nanti kita atur waktu untuk bermain lagi, ok!” “Ok, Om!” Anaya dan Aslan menyatukan telapak tangan. Perbincangan ringan mereka ternyata justru jadi masalah besar bagi Hana.
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil