Pasti Fattan kan itu? Ya kan? Mau ngapain lagi dia?!
“Kenapa kau ada di sekolah Anaya?” tanyaku heran.“Dia anakku, tentu saja aku ingin menemuinya. Beruntung guru Anaya mengatakan padaku tentang apa yang menimpa Anaya. Jika tidak, maka aku tidak pernah tahu bahwa kau telah membuat Anaya dalam bahaya!” Fattan tetap berteriak di sambungan telepon.“Aku membuat Anaya dalam bahaya? Jadi menurutmu ini semua salahku?”“Tentu saja, jika kau tidak terlalu serakah untuk menjadi pemimpin di El Khairi Company dan tetap menjadi ibu yang baik bagi Anaya, ini semua tidak akan pernah terjadi. Kau sibuk dengan bisnismu dan entah berapa banyak pria!”Lalu Fattan memutuskan sambungan telepon. Aku yakin, dia pasti menungguku di sekolah Anaya. Wajahku tak ayal terasa panas dan memerah karena kata-kata Fattan. Apa maksudnya dengan ‘entah berapa banyak pria?’ apakah menurut Fattan aku sejalang itu?Apakah tidak memiliki pasangan membuatku terlihat bebas untuk memiliki malam dan ranjang dengan pria mana pun? Bahkan untukku seorang pemimpin dan pemilik perusa
“Apa kau pikir aku adalah pria yang akan terus memohon dan rela kau rendahkan?” tanya Fattan dengan nada kesal. “Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Semua itu semata aku ingin kita sama-sama tahu posisi yang seharusnya.” “Dengan mempermalukanku di depan semua orang? Di depan karyawan El Khairi? Lalu membuatku kalah telah atas hak asuh Anaya? Begitu maksudmu?” Tatapan mata Fattan benar-benar tidak bersahabat. Ada arogansi yang kembali dalam dirinya. Arogansi yang sebenarnya sudah lama sirna sejak kejatuhannya. Aku menatap Fattan tidak percaya. Pandanganku mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Percuma, aku tidak bisa melihat apa pun. Satu-satunya yang kulihat adalah Fattan begitu percaya diri dan lebih kuat dari sebelumnya. “Apa yang kau inginkan dari kami?” tanyaku sambil menyipitkan mata. Keadaan sekitar sekolah Anaya sudah sepi. Tidak ada siapa pun di sana yang melihat kami. Hanya ada dua orang security yang mengawasi kami dari kejauhan. Juga dua orang tukang kebun seko
“Dia? Siapa? Hey… kenapa wajahmu pucat pasi?” Aku bergegas mendekati Marisa. Nafasnya tersengal dan seperti tidak ada aliran darah di kulitnya. Beberapa menit lalu dia berpamitan untuk keluar dari kamar hotel dan mencari makanan. Sejak kami dalam perjalanan menuju Singapura, Marisa terlihat sangat bahagia. Seperti yang sudah kami rencanakan. Bahwa kedatangan kami ke Singapura adalah untuk menghadiri pernikahan Tara dan Vivian. Selain itu kami ingin berlibur bersama. Beberapa bulan terakhir tampaknya keadaan sangat menyedihkan untukku dan Marisa. Dia dengan segala kegalauannya dan aku dengan segala masalahku. Rasanya begitu penat dan menyesakkan. Aku harap perjalanan dengan Marisa dan Anaya kali ini bisa menjadi liburan terbaik. Sejauh ini semua berjalan mulus. Setidaknya sampai beberapa menit yang lalu. “Aku melihat Aslan. Di restaurant yang sama. Di hotel ini.” “Aslan? Apa kau menyapanya?” “Tentu saja tidak. Kau bilang dia kembali ke Turki untuk menyiapkan pesta pernikahan.” “
“Hana….” Desisku. Spontan aku menoleh pada Marisa. Ya, benar! Aku tidak sedang mengkhawatirkan diriku. Bertemu dengan Hana dan segala kesinisannya bukan masalah buatku. Pertemuan kami satu-satunya berakhir menyebalkan. Entah karena cemburu atau curiga, tampaknya sulit bagi Hana menerima pertemananku dengan Aslan. Setidaknya pada pertemuan selanjutnya, aku juga tidak berharap banyak. Sebuah kejutan karena kami harus berdekatan di sebuah lift yang sempit. Aku, Marisa, Anaya, Mbak Pia, Hana dan… Aslan. Wajah Aslan terlihat ramah. Begitulah pria, selalu bisa menyembunyikan diri dan perasaannya. Dia mengangguk rama pada Marisa dan menunduk untuk menyapa Anaya. “Halo, Naya. Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” sapa Aslan. “Iya, Om Aslan nggak pernah ke rumah Naya lagi , sih.” “Ah… maaf ya. Om Aslan sedang sibuk. Nanti kita atur waktu untuk bermain lagi, ok!” “Ok, Om!” Anaya dan Aslan menyatukan telapak tangan. Perbincangan ringan mereka ternyata justru jadi masalah besar bagi Hana.
“Semua tamu harap tetap tenang. Petugas yang berwenang akan menangani hal ini. Kejadian itu sama sekali tidak berkaitan dengan acara kita.” Seorang MC berusaha mengeluarkan kata-kata sakti agar semua orang kembali fokus pada pesta mewah Tara dan Vivian. Usaha yang percuma karena wajah-wajah tamu undangan jelas terlihat gelisah. Kejadian bunuh diri di saat pesta pernikahan. Bukankah itu sangat mengejutkan? Siapa pun akan mengkaitkan hal ini dengan Tara atau Vivian. Sebagai bagian dari Sang Empu hajat dan masih di bersama dengan rangkaian acara, aku berusaha mengabaikan hal itu. Jauh di dalam hatiku ada sesuatu yang berdentum. Seperti sebuah ledakan yang menunggu di ujung jalan. Seseorang memilih meninggalkan hidup yang hanya sekali. Entah beban sebesar apa yang sedang ditanggung olehnya. Siapa pun dia, pasti adalah orang yang tidak memiliki harapan lagi tentang masa depan. Mataku berusaha menemukan Marisa dan Mbak Pia dari tempatku berdiri. Para tamu mulai mengabaikan kejadian barus
“Apa?! Siapa maksud anda?!” “Kami tidak menemukan identitasnya. Dari pelacakan kamera CCTV dia datang bersama anda ke hotel ini. Dan masih bersama anda sampai masuk ke area pesta.” “Marisa….” Aku bergumam. Tidak! Tidak mungkin Marisa melakukan hal konyol seperti itu. Dia mungkin putus asa. Aku tahu dia hancur karena melihat kebersamaan Aslan dan Hana. Meski begitu Marisa adalah seorang wanita dengan keimanan yang tinggi. Berbulan-bulan dia bertahan dengan rasa sakitnya. Dia mencoba keluar dari bara api yang membakarnya. Marisa tetap bisa selamat dengan segala kondisinya. Kali ini, dia pasti akan berjuang dengan cara yang sama. Aku berlari lebih cepat ke dalam toilet yang menjadi tujuanku. Tempat di mana aku berharap menemukan Marisa di depan kaca. Dia mungkin menangis, make up-nya berantakan, maskaranya meleleh atau rambutnya kusut. Tidak apa-apa! Aku hanya ingin melihatnya bernyawa! Itu saja! “Marisa! Risa!” aku berteriak. Sontak Aslan dan kedua polisi yang mendatangiku ikut be
“Tadi malam sebuah panggilan darurat datang dari Turki. Pernikahan mereka harus dipercepat. Ibu Aslan anfal. Mereka terbang dengan flight pribadi.” “Apa?! Mereka meninggalkan Singapura dalam keadaan seperti ini?” aku berusaha duduk dari dari tidurku. Ranjang rumah sakit selalu sedingin ini walau di ruangan paling mewah sekali pun. Aslan dan Hana pergi? Bukankah ini terdengar sangat kejam? Mereka terlalu biadab. Saat Marisa kehilangan nyawa dan mereka penyebabnya, justru mereka pergi begitu saja? Seember air es baru saja ‘jatuh’ di kepalaku. Jadi mereka benar-benar melemparkan semua untuk menjadi tanggung jawabku tanpa rasa bersalah. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kebingungan menderaku bagai badai. Aku pikir setelah kepergian kami ke Singapura, keadaan akan lebih baik dan setidaknya bersahabat untuk kami semua. Aku tahu, semua mulai pergi satu per satu. Ini sebuah rangkaian perjalanan baru, tapi aku tidak pernah berpikir tentang kematian. Dari sahabatku… “Dina, tenangkan dirimu
“Aku berbahaya. Semua yang berada di dekatku akan hancur. Kau lihat berapa banyak kerusakan yang telah kubuat.” Rasa frustasi menguasaiku. Satu-satunya yang bisa kupikirkan saat ini adalah menjauh dan pergi jauh dari siapa pun yang ada di sekelilingku. Aku seperti api, siapa pun yang ada di dekatku akan terbakar. Berbahaya dan sangat berbahaya. “Adina, itu tidak benar. Kau sedang menyudutkan dirimu sendiri. Percayalah apa pun yang sekarang terjadi hanyalah sebuah proses untuk menuju ke masa depan yang lebih baik.” Tara berkata bijak. “Masa depan yang mana maksudmu? Siapa bagian dari masa depan itu? Tidak ada siapa pun di sana.” “Anaya, dia bagian masa depan itu, Adina.” “Aku mungkin akan menyakitinya juga.” “Tentu saja tidak. Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Ini hanya masalah waktu untukmu sembuh dari perasaan bersalah. Perasaan yang sebenarnya tidak perlu kau miliki.” Aku kehilangan diriku. Apa yang pernah kupercayai sebagai diriku yang baru dua tahun lalu, kini telah