“Apa? Siapa kau? Hey! Siapa?!!” Dengan panik aku berusaha menghubungi lagi nomor yang baru saja menutuskan sambungan telepon. Sia-sia, nomor itu tiba-tiba tidak aktif. Sepertinya nomor itu digunakan hanya untuk menghubungi sekali lalu dimatikan. Apa yang baru saja kudengar? Pikiranku melayang jauh. Sepertinya orang itu sedang bersama Anaya. Tapi siapa dia? Bukankah di jam ini seharusnya Anaya sedang tidur bersama Mbak Pia di apartement kami? Lalu apa yang dikatakan orang itu tadi? Aku segera menghubungi Mbak Pia. Pengasuh Anaya itu mengangkat telepon. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku yang semula berusaha menenangkan pikiranku sendiri, seketika hilang arah ketika mendengar kalimat dari Mbak Pia. “Ibu… Ibu! Nona Anaya hilang!” “Apa?!” Mendengarku berteriak, beberapa orang di restaurant menoleh ke arahku. Aku tidak bisa memberikan reaksi lebih lagi. Duniaku seketika gelap dan aku kehilangan diriku sendiri. Satu-satunya yang kuingat adlah rasa sakit karena sudut mej
“Katakan! Apa yang kau inginkan?” tanyaku. Drama ini harus segera berakhir. Sesuatu yang menyangkut Anaya bisa membuatku kehilangan kewarasan. “Aku sudah mengirimkan surat ke apartementmu. Kau harus menandatangi surat itu dan letakkan di tempat yang sama. Setelah aku mengambilnya dan memastikan bahwa kau menandatangani surat itu, maka aku akan mengembalikan Anaya.” Pria di sambungan telepon itu memberikan penjelasan. “Surat? Surat apa? Kenapa aku harus menandatangani surat itu dan siapa kau?” tanyaku memburu. Seolah takut bahwa orang itu akan segera mematikan sambungan telepon, aku mengajukan rentetan pertanyaan. Terdengar bodoh karena sebenarnya aku tahu orang itu tidak akan menjawabku. Dia tertawa terbahak-bahak. Di belakang pria itu terdengar jerit Anaya. Hatiku hancur, seketika aku merasa bahwa aku telah mati. Suara Anayaku! Apa yang mereka lakukan padanya?! Entah siapa orang-orang ini. Suaranya terdengar berlogat asing. Aku belum pernah mendengar atau merasa kenal dengan pri
“Tidak mungkin, Tuan Tara yang melakukan ini,”jawab Vivian. Jawaban yang sangat mengejutkan. Dalam nada suaranya, Vivian seolah mengenal baik Tara. Dia memiliki keyakinan pada pria yang belum lama kami kenal itu. Ini sangat aneh karena sebelum kepergian kami ke Singapura beberapa waktu lalu, Dirgantara adalah salah satu target yang akan Vivian jatuhkan. Dia menganggap Tara adalah ancaman bagiku dan El Khairi Company. Entah kenapa sejak pertemuan Vivian dan Tara tanpa aku, sepertinya banyak hal yang berubah dari sudut pandang gadis itu. Dia bahkan kali ini begitu yakin bahwa Tara bukan bagian dari kejahatan yang sedang kami hadapi. Sebuah kecurigaan menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat mengatakan itu, Vivian mengalihkan pandangan. Bukan Vivian yang biasa melihat lurus padaku saaat berbicara. Ketika aku mengerutkan kening, dia justru membalikkan badan. “Saya akan memanggil suster untuk membetulkan infus anda,” ujar Vivian. Dia mulai melangkah. Aku berdehem dan membuatnya berhenti
“Kenapa kau marah padaku? Memangnya kenapa aku harus memberitahukan banyak hal padamu?!” Aku tersulut emosi. Saat ini hati dan pikiranku sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mau bertoleransi pada hal sekecil apa pun. Begitu tebalnya benteng yang memagariku hingga untuk keluar dari dalam kesedihan ini pun aku tidak tahu caranya. Ketika tentang Anaya, maka aku tidak akan bisa dan tidak pernah bisa untuk bersahabat bahkan dengan diriku sendiri. “Adina… aku segera tiba di apartementmu. Tenangkan dirimu, ok!” Lalu Aslan memutuskan sambungan telepon. Aku jatuh terduduk di lantai. Di dalam apartement inihanya ada aku dan Mbak Pia. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Setiap saat kulirik ponsel yang ada disampingku. Aku ingin Si Penculik itu menghubungiku lagi dan lagi. Telepon dari penculik itu adalah sesuatu yang mengerikan sekaligus menjadi sebuah konfirmasi bahwa Anayaku masih baik-baik saja. Aku seolah bisa mendengar tulangku meremas hatiku sendiri. Rasanya menyakitkan dan tida
“Memangnya siapa yang akan melakukan ini untukmu?” tanyanya. “Vivian akan melakukan semuanya,” jawabku dengan nada tinggi. “Jangan berteriak atau kau akan membuat Anaya terbangun.” Sesaat duniaku hilang. Apa yang pria itu katakan sepertinya bukan apa yang ada di pikiranku. Melihat Tara menggendong Anaya, hal pertama yang aku sangkakan adalah dialah orang yang sedang kami cari. Dia yang menculik Anaya. Kenapa pikiranku begitu tersumbat dan dangkal. Aku bahkan tidak bisa melihat bahwa Tara menggendong Anaya penuh dengan kasih sayang. Dia merangkul punggung Anaya yang tertidur pulas di pelukannya. Tidak mungkin hal itu terjadi jika bukan karena sebuah kebaikan. Tanpa menunggu mempersilahkan. Tara masuk ke dalam apartement. Bahunya sedikit menyenggol bahuku. Aku pun mendadak bodoh dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku hanya bergegas mengikuti Tara dan ingin segera memeluk Anaya. “Tunjukkan kamar tidur Anaya!” perintah Tara pada Mbak Pia. “Nona Anaya! Non!” Mbak Pia berteriak
“Aku tidak peduli siapa pun yang akan kulihat nanti. Orang itu telah meninggalkan trauma dalam untuk Anaya. Dia harus membayar mahal!” ujarku dengan nada dalam dan berat. Aslan dan Tara yang ada di depanku terlihat diam membisu. Mereka pasti terkejut karena di wajahku muncul sisi iblis yang selama ini tidak pernah mereka lihat. Memang, segala hal yang mengenai Anaya, tidak akan mendapakan toleransi sekecil apa pun dariku. Lalu Tara menelan ludah, entah apa maksudnya. Mungkin dia sedang menenangkan dirinya sendiri. Dia mengangkat alis dan mengangguk padaku dan Aslan. Kami pun berjalan beriringan menuju sebuah lift. Tara menekan angka di lantai tujuh puluh. Sepanjang perjalanan menuju tempat itu, kami bertiga hanya diam. Sepertinya pikiran kami bekerja masing-masing. Bahkan ketika tatapanku bertemu dengan mata Aslan yang terpantul dari kaca lift, kami tetap hanya diam. Aslan terlihat menyembunyikan banyak rahasia. “Ayo,” ujar Tara setelah lift berhenti dan kami keluar. Dia jalan leb
“Haruskah kami menjelaskan padamu?” tanya Tara. “Tentu saja. Tiba-tiba kau dan Vivian begitu dekat. Kau bahkan mengenal Aslan dan kalian bekerjasama di belakangku. Bukankah itu mencurigakan.” “Kau curiga pada kami?” tanya Tara. Aku mendang wajah mereka. Tara, Vivian dan Aslan. Ketiganya menatap ke arahku dengan sorot mata menuntut sesuatu. Seolah mereka merasa tidak terima dengan keberatan yang kuberikan. Kau menghela nafas dan menghenyakkan diri di salah satu sofa. Ketiga orang itu mengikutiku. Kami duduk melingkar di sofa yang ada di tengah ruangan. Entah apartement siapa ini. Mereka menggunakannya untuk menampung [enjahat seperti salim. Ini bukan apartement biasa yang orang bisa dengan mudah mendapatkan unit dalam waktu dekat. Pasti apa yang terjadi hari ini sebenarnya sudah diduga sejak lama oleh mereka. Karena itulah apartement ini tiba-tiba saja tersedia. Setelah kami duduk dan keadaan lebih tenang, Aslan angkat bicara. “Vivian sudah tahu bahwa ada seseorang dari garis kelu
“Vivian akan menikah denganku,” ujar Tara. Dia berjalan mendekati Vivian. Tangannya meraih tangan Vivian. Wajah gadis itu memerah dan tertunduk malu. Mataku nyaris keluar ari tempatnya karena melihat pemandangan yang tidak biasa. Lalu aku bertukar pandang dengan Aslan. Tampaknya hal yang sama juga terjadi pada Aslan. Dia juga terkejut dan membisu. Mungkin ekspresi kami sama terngaga karena apa yang baru saja Tara sampaikan. Wajah bersemu Vivian seolah menegaskan semuanya bahwa apa yang Tara sampaikan sudah mendapatkan persetujuan dari gadis itu. Seketika Vivian berubah menjadi gadis lucu yang sedang jatuh cinta. Wajah garangnya sebagai bodyguard telah menghilang entah kemana. Aku mencoba mencerna situasi sebaik mungkin. Tidak ingin egoku yang berbicara maka aku pun berusaha lebih tenang. “Pernikahan? Dalam waktu singkat kalian mengenal dan kalian setuju untuk menikah?” tanyaku. “Kecantikan dan keberanian Vivian bisa membuat siapa saja bertekuk lutut dengan mudah,” jawab Tara. “Oh