Siapa? Siapa?!
“Mas Fattan!” Kalila terlihat sangat terkejut. Fattan melihat sekilas ke arahku lalu berfokus pada Kalila. Aku lihat di sudut ruangan Vivian juga melihat ke arahku. Gadis itu menunggu instruksi atas apa yang terjadi. Dia selalu berusaha memastikan keamanan dan kenyamananku. Aku sedikit mengangkat tangan sebagai kode agar Vivian menahan diri. Sebenarnya, aku ingin melihat drama apa yang sedang Kalila dan Fattan sajikan sekarang. Mereka begitu berani membuat gaduh di ruanganku. Lebih tepatnya di perusahaan tempat mereka pernah dipermalukan. Fattan melihat Kalila dengan mata melotot. Sementara Kalila segera berdiri. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Fattan di lengannya. Aku dan Vivian hanya diam melihat keduanya mulai bertengkar. “Aku sudah katakan padamu, jangan mendatangi Adina,” ujar Fattan. “Lalu aku harus bagaimana? Dia saja dan tidak melakukan apa pun sementara keadaan kita semakin memburuk?!” “Kau hanya akan mempermalukan dirimu. Jika kau pikir Adina akan memberimu s
“Aku di rumah sakit, Din….” Suara Marissa terdengar lemah. “Hah?! Di rumah sakit? Apa yang terjadi? Kenapa kau terdengar sangat lemah?” “Aku tidak baik-baik saja, Adina. Duniaku hancur.” “Katakan, kau di rumah sakit mana? Aku akan segera ke sana.” Aku mengatakan kalimat ini sambil berdiri dan menyambar tas kecil yang ada di belakangku. Vivian terkejut melihatku bergegas. Dia pun segera mengikutiku. Sambil berjalan dia menghubungi supir kami untuk bersiap di lobby. Sementara itu Marissa menyebutkan nama salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta Pusat. Sepuluh menit kemudian mobil yang kami naiki sudah melaju di menembus kemacetan di jalan raya. Jakarta yang selalu saja padat kendaraan dan membuatku kehilangan kesabaran. Beberapa kali aku bertanya pada supir tentang jalan alternatif menuju ke rumah sakit yang Marissa sebutkan. Melihat kepanikanku, Vivian pun ikut merasa tertekan dan panik. “Apa yang terjadi, Nyonya?” “Aku tidak yakin, Vivian. Terdengar sangat buruk. Aku tidak pe
“Tara? Apakah aku tidak salah dengar? Vivian menyebut nama Tara?” ucapku lirih. Marisa yang melihat mimik bingung di wajahku terlihat semakin kusut. “Kenapa, Din? Siapa gadis itu dan siapa Tara?” tanya Risa. “Gadis itu adalah bodyguard yang Aslan tugaskan untuk menjaga aku dan Anaya. Entah kenapa Aslan merasa perlu melakukan hal seperti itu. Semula dua menugaskan dua orang, tapi aku merasa itu berlebihan. Jadi aku meminta satu dari mereka kembali pada Aslan.” Marisa tersenyum kecut. Dia kembali merasakan kesedihan karena kata-kataku. Sesaat kemudian aku menyadar bahwa aku salah bicara. Sahabatku ini pasti berpikir bahwa dirinya adalah wanita yang putus asa. Marisa terdiam di sudut pria yang dia inginkan. Memang semuanya terdengar sangat ironis. Aslan mencintaiku dan melamarku, tapi aku menolaknya. Lalu dia mengambil pilihan untuk menerima Hana demi ibu dan keluarganya. Di sisi lain ada Marisa yang mencintai Aslan tanpa dia tahu. Cinta yang telah dipendam dalam. Entah bagaimana ak
“Saya akan memilih jalur hukum,” ucapku tegas. Utami, Fattan dan Burhan sontak menoleh ke arahku. Mereka menatapku dengan pandangan tidak percaya. Ketiganya membuka mata lebar dan wajah merek menjadi lebih tegang. Mungkin apa yang aku katakan sama sekali tidak mereka perkirakan. Biasanya, orang akan menghindari konflik bukan? Apalagi menyangkut masalah keluarga. Kami bukan keluarga biasa. El Khairi dan Hilabi ada keluarga yang cukup dikenal di kalangan pebisnis. Berita buruk tentang kami bisa mempengaruhi bisnis dan harga saham. Mereka pasti menyangka aku akan memilih perjanjian damai untuk melindungi diri dari sorotan kamera. Setidaknya itu terlihat dari wajah terkejut yang mereka tunjukkn. Sementara Victor justru tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. “Pikirkan lagi, Nyonya Adina. Keputusan anda akan sangat berpengaruh pada El Khairi company,” kata Burhan. “Lagi pula, masalah seperti ini jika dibawa ke ranah hukum biasanya akan memakan waktu lama. Prosesnya rumit dan melel
“Apa anda yakin, Nyonya?” tanya Vivian yang duduk di kursi depan. Sementara Victor yang duduk di sebelahku berpura-pura tidak mendengar. Dia adalah seorang pengacara yang sangat profesional. Walau dia mengenal Aslan, dia tidak akan menanggapi atau memberi komentar apa pun pada sesuatu yang bukan bagiannya. Salah satu yang membuatku nyaman bekerja sama dengan Victor. Dia akan fokus pada masalah yang harus diselesaikan tanpa berusaha mengetahui hal pribadi kliennya jika tidak dibutuhkan. Sementara Vivian masih menungguku memberikan jawaban. Di balik kacamata hitam yang dia kenakan, Vivian tampaknya sedang melihat ke arahku dari kaca spion yang ada di atas kepalanya. “Apa yang kau khawatirkan, Vivian? Ini hanya makan malam biasa. Aku ingin membicarakan tentang Marisa pada Aslan.” “Saya tahu, Nyonya. Anda pasti tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, Nona Hana bukanlah orang yang sederhana. Dia sangat terobsesi dengan Tuan Aslan. Jika dia tahu malam ini anda bertemu berdua dengan Tuan As
“Adina, aku berharap kau tidak mengatakan sesuatu yang akan membuat kita bertiga merasa kesakitan.” Aslan menatap wajahku penuh luka.Aku tahu perasaanku pada Aslan perlahan telah berubah. Ada sesuatu yang rasanya selama ini kuingkari. Sesuatu yang entah sejak kapan mengintip di gelapnya sisi hati. Bagaimana aku selalu berusaha memberikan alasan trauma sebagai tameng untuk menolaknya.Sekarang, di sinilah kami. Duduk berhadapan degan berbagai dinding tebal dan duri yang siap menyakiti. Ini bukan tentangku, tolonglah! Aku duduk bersama pria ini bukan untuk membicarakan diriku. Ini adalah tentang hidup Marisa dan harga diri Hana.Bagaimana kami harus menyepakati sesuatu yang tanpa dikatakan pun itu pasti menghancurkan perasaanku dan Aslan. Bibirku bergetar dan terasa kelu untuk menyampaikan kesepakatan konyol. Sesaat aku memejamkan mata untuk mengusir rasa panas di sana.“Aku ingin kau memiliki hubungan dengan Marisa.”Aslan melotot ke arahku.“Sejak kapan kau bisa segila itu?”“Aku ser
“Apa? Siapa kau? Hey! Siapa?!!” Dengan panik aku berusaha menghubungi lagi nomor yang baru saja menutuskan sambungan telepon. Sia-sia, nomor itu tiba-tiba tidak aktif. Sepertinya nomor itu digunakan hanya untuk menghubungi sekali lalu dimatikan. Apa yang baru saja kudengar? Pikiranku melayang jauh. Sepertinya orang itu sedang bersama Anaya. Tapi siapa dia? Bukankah di jam ini seharusnya Anaya sedang tidur bersama Mbak Pia di apartement kami? Lalu apa yang dikatakan orang itu tadi? Aku segera menghubungi Mbak Pia. Pengasuh Anaya itu mengangkat telepon. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku yang semula berusaha menenangkan pikiranku sendiri, seketika hilang arah ketika mendengar kalimat dari Mbak Pia. “Ibu… Ibu! Nona Anaya hilang!” “Apa?!” Mendengarku berteriak, beberapa orang di restaurant menoleh ke arahku. Aku tidak bisa memberikan reaksi lebih lagi. Duniaku seketika gelap dan aku kehilangan diriku sendiri. Satu-satunya yang kuingat adlah rasa sakit karena sudut mej
“Katakan! Apa yang kau inginkan?” tanyaku. Drama ini harus segera berakhir. Sesuatu yang menyangkut Anaya bisa membuatku kehilangan kewarasan. “Aku sudah mengirimkan surat ke apartementmu. Kau harus menandatangi surat itu dan letakkan di tempat yang sama. Setelah aku mengambilnya dan memastikan bahwa kau menandatangani surat itu, maka aku akan mengembalikan Anaya.” Pria di sambungan telepon itu memberikan penjelasan. “Surat? Surat apa? Kenapa aku harus menandatangani surat itu dan siapa kau?” tanyaku memburu. Seolah takut bahwa orang itu akan segera mematikan sambungan telepon, aku mengajukan rentetan pertanyaan. Terdengar bodoh karena sebenarnya aku tahu orang itu tidak akan menjawabku. Dia tertawa terbahak-bahak. Di belakang pria itu terdengar jerit Anaya. Hatiku hancur, seketika aku merasa bahwa aku telah mati. Suara Anayaku! Apa yang mereka lakukan padanya?! Entah siapa orang-orang ini. Suaranya terdengar berlogat asing. Aku belum pernah mendengar atau merasa kenal dengan pri
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil