Kasian bener Adina...
“Tidak semuanya benar. Ayahmu memberikan uang itu sebagai bentuk penebusan atas kesalahannya.” “Ayahku? Kau harus terbiasa untuk menyebutnya sebagai ayahmu. Dia juga ayahmu, benar kan?” “Aku merasa aneh, karena selama ini aku memanggilnya dengan nama saja. Aku tidak merasa dia layak untuk disebut sebagai ayahku.” Aku bisa mengerti kenapa Tara begitu membenci ayahku. Bukan hal yang mudah besar tanpa seorang ayah. Seorang anak laki-laki butuh sosok ayah untuk menjadi contoh baginya. Begitu pula seorang anak perempuan, dia membutuhkan sosok ayah sebagai pedoman bagi hidupnya. Diam-diam saat bicara dengan Tara, aku melihat refleksi Anaya kecilku yang sekarang sedang kehilangan ayahnya. Aku mulai mempertanyakan apakah Anaya akan tumbuh dengan luka seperti Tara? Atau aku bisa membalut kekurangannya dengan kasih sayang yang bahagia? Ah, ternyata masih banyak hal yang tidak terpikirkan olehku selama ini. Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu. Aku harus fokus untuk menemukan masalah
“Aku tidak bisa mengatakan semuanya padamu sekarang. Aku tahu kau sedang mengalami masa-masa yang sulit,” ujar Tara. Kata-katanya membuatku gemas sekaligus kesal. “Kalau kau tidak ingin mengatakannya, lalu kenapa kau harus memberikan pernyataan yang membuatku penasaran. Ingin rasanya aku meminta Vivian untuk menembakmu sekarang.” Tara tertawa terbahak-bahak. Dia merasa kata-kataku lucu atau sebenarnya Tara sudah cukup mabuk. Aku lihat botol wine yang ada di atas meja tersisa setengah. Entah gelas ke berapa yang sudah masuk ke perut Tara. Sejak kami mulai bicara sampai sekarang, gelas wine itu selalu ada dalam genggamannya. Setiap kali isinya habis diteguk, dia akan menuangkan kembali. Tampaknya minuman keras sudah menjadi bagian hidup seorang Tara. Sesuatu yang sulit ditolak memang. Kehidupan glamour orang –orang papan atas pastilah selalu lengkap dengan segala kerlap kerlipnya. Kekuasaan, harta, wanita, minuman mahal, akan jadi penghias yang sulit untuk diabaikan begitu saja. “A
“Innalilahi wa innailaihi roji’un… kapan?” “Baru saja. Kondisinya sangat buruk Penyakit itu telah menggerogoti tubuhnya dan membuatnya berbau busuk. Kami akan memakamkannya pagi ini,” jelas Fattan. “Apa Kalila ada di Indonesia?” “Dia… dia ada di Indonesia. Kenapa kau bertanya seperti itu?” “Aku hanya memastikan karena aku bertemu dengannya dalam penerbanganku ke Singapura. Lebh tepatnya dia menjadi pramugari di pesawat yang kami tumpangi.” “Oh….” Fattan tidak memberikan banyak reaksi selain sepenggal ‘oh’ yang terlontar. Dia pasti merasa malu karena kondisi mereka sekarang jauh berbeda dengan apa yang selama ini mereka sombongkan. “Aku sedang berlibur dengan Anaya di Singapura. Maaf, kami tidak bisa menghadiri acara pemakaman Zahra.” “Tidak masalah. Aku hanya berusaha memberitahumu karena kalian bersaudara. Maksudku, kalian pernah menjadi saudara.” “Baiklah, terima kasih sudah mengabarkan padaku.” Lalu aku pun memutuskan sambungan telepon. Entah kenapa, kadang aku merasa Fatta
“Hi,” sapaku. “Dia bisa berbahasa Indonesia. Hana sudah lama tinggal di Indonesia,” ujar Aslan menjelaskan. “Kenapa kau harus menjelaskan padanya? Apakah Adina begitu penting untukmu?” tanya Hana sinis. Jujur saja, hatiku menciut dengan pembicaraan ini. Ternyata selama ini Hana tinggal di Indonesia. Aslan sama sekali tidak pernah memperkenalkan kami atau membicarakan tentang wanita ini. Ah, siapalah aku yang harus tahu semua kehidupan Aslan. Mungkin bagi Aslan ini adalah bagian pribadi yang tidak boleh dilalui. Belum lagi setelah pertemuan kami lebih dari setahun lalu, aku selalu berkutat dari masalah satu ke masalah berikutnya. Aslan pasti enggan membuatku mengenal Hana yang mungkin membuat hubungan kami jadi agak canggung nantinya. Ruangan tempat kami bertiga berada tiba-tiba terasa menyesakkan. Aku berusaha tetap memasang wajah tenang. Ini akan menjadi sebuha pertemun bisnis dan bukan pertemuan dua teman. Dari sikapnya, Hana sudah memasang dinding tinggi di antara kami. Aslan
“Hana, berhentilah mengatakan hal-hal buruk.” Kudengar Aslan menghardik tunangannya itu. Selebihnya, aku tidak mendengar apa pun dan melangkahkan kaki terus menuju keluar pintu. Sikap Hana memang agak keterlaluan, entah kenapa aku merasa harus memberikan pemakluman. Selain usianya yang masih muda, statusku sebagai seorang wanita tanpa suami pasti membuat Hana khawatir. Kadang aku ingin mengucapkan selamat pada diriku sendiri karena tinggal di negara seribu satu cerita tentang jada. Semua stigma yang sudah terlanjur dilekatkan tanpa ampun. Status yang sejatinya harus menjadi dengan banyak toleransi. Kini status itu justru menjadi momok sendiri bagi kebanyakan orang. Yah, sudahlah! Bukankah sekarang memang sudah waktunya melupakan dan menjaga jarak dengan Aslan? Aku masuk ke dalam mobil dan Vivian juga seorang supir telah menunggu di dalamnya. “Bagaimana pertemuan anda, Nyonya?” tanya Vivian. “As weel as good. Tidak ada yang spesial. Ini hanya pertemuan bisnis biasa. Kenapa kau ber
“Setelah pertemuan kita dengan Tuan Dirgantara, dia menghubungi saya dan meminta untuk kembali ke ruang VVIP di restaurant,” Vivian dengan cepat menjelaskan untuk menghindari kesalah pahaman. “Bukankah kita kembali bersama ke kamar hotel saat itu?” “Setelah anda di dalam kamar, saya keluar lagi,” Vivian terlihat gugup dan takut. Suaranya bergetar dan gerakan tubuhnya terlihat gelisah. Aku percaya pada Vivian. Dia tidak akan berkhianat atau melakukan hal-hal yang mencelakakan aku dan Anaya. Mungkin saat itu dia merasa memang perlu bertemu dengan Tara. Tidak ingin memperpanjang masalah, aku memilih untuk mengangkat bahu dan mengakhiri pembicaraan kami tentang hal ini. “Kau dan Tara sama-sama aneh. Kalian senang sekali merahasiakan sesuatu dan membuatnya menjadi misteri.” “Kami hanya ingin membuat anda merasa nyaman, Nyonya. Jika anda mengetahui banyak hal, maka itu akan menambah beban pikiran anda. Sementara anda memiliki banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan. Biarlah urusa
“Mas Fattan!” Kalila terlihat sangat terkejut. Fattan melihat sekilas ke arahku lalu berfokus pada Kalila. Aku lihat di sudut ruangan Vivian juga melihat ke arahku. Gadis itu menunggu instruksi atas apa yang terjadi. Dia selalu berusaha memastikan keamanan dan kenyamananku. Aku sedikit mengangkat tangan sebagai kode agar Vivian menahan diri. Sebenarnya, aku ingin melihat drama apa yang sedang Kalila dan Fattan sajikan sekarang. Mereka begitu berani membuat gaduh di ruanganku. Lebih tepatnya di perusahaan tempat mereka pernah dipermalukan. Fattan melihat Kalila dengan mata melotot. Sementara Kalila segera berdiri. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Fattan di lengannya. Aku dan Vivian hanya diam melihat keduanya mulai bertengkar. “Aku sudah katakan padamu, jangan mendatangi Adina,” ujar Fattan. “Lalu aku harus bagaimana? Dia saja dan tidak melakukan apa pun sementara keadaan kita semakin memburuk?!” “Kau hanya akan mempermalukan dirimu. Jika kau pikir Adina akan memberimu s
“Aku di rumah sakit, Din….” Suara Marissa terdengar lemah. “Hah?! Di rumah sakit? Apa yang terjadi? Kenapa kau terdengar sangat lemah?” “Aku tidak baik-baik saja, Adina. Duniaku hancur.” “Katakan, kau di rumah sakit mana? Aku akan segera ke sana.” Aku mengatakan kalimat ini sambil berdiri dan menyambar tas kecil yang ada di belakangku. Vivian terkejut melihatku bergegas. Dia pun segera mengikutiku. Sambil berjalan dia menghubungi supir kami untuk bersiap di lobby. Sementara itu Marissa menyebutkan nama salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta Pusat. Sepuluh menit kemudian mobil yang kami naiki sudah melaju di menembus kemacetan di jalan raya. Jakarta yang selalu saja padat kendaraan dan membuatku kehilangan kesabaran. Beberapa kali aku bertanya pada supir tentang jalan alternatif menuju ke rumah sakit yang Marissa sebutkan. Melihat kepanikanku, Vivian pun ikut merasa tertekan dan panik. “Apa yang terjadi, Nyonya?” “Aku tidak yakin, Vivian. Terdengar sangat buruk. Aku tidak pe