(Mereka masuk ke dalam kamar yang sama.)
Kubaca dengan seksama pesan dari seseorang yang kuminta untuk mengintai suamiku dan gundiknya.(Baik, terima kasih,) balasku singkat.Menarik nafas panjang untuk meredakan sesak yang ada dalam dada, aku keluar dari kamar hotel yang kini kutempati. Langkahku cepat bersama manager hotel yang sebelumnya kupinta bantuannya.Tanpa mengetuk pintu dahulu. Pria yang berdiri di sampingku langsung menempelkan card key untuk kemudian pintu terbuka lebar.Langkahku cepat masuk ke dalam kamar, melihat sepasang pria dan wanita tengah melakukan itu dengan keadaan tanpa sehelai benang pun.Berdehem pelan, kulihat wajah keduanya yang langsung terperanjat dengan mata membulat, lalu buru-buru menarik selimut untuk menutupi raganya yang tak berbalut.“Zea?!” lirih si gundik.“Mama?” Pria yang berbalik dengan gundiknya itu melotot menatap ke arahku. Suamiku juga terkejut melihatku berdiri bersama beberapa orang yang salah satunya memegang handycam.“Pakai pakaianmu, kita bicara.” Mas Raga susah payah menelan saliva. Mungkin tak menyangka aku akan mempergokinya untuk yang kesekian kali.Ya, dia adalah Mas Raga—suamiku. Untuk kesekian kalinya dia berselingkuh dengan wanita yang tidak pernah henti-hentinya mengajar dia.Shevaya namanya.Enam kali sudah ‘ku maafkan perbuatannya, tapi kali ini lebih keterlaluan. Mereka bahkan dengan teganya sedang melakukan hal itu.Nyeri tentu saja, sakit hati apalagi. Tapi aku tak berdaya atas keadaan. Perpisahan yang pernah terpikirkan akan membuat orang-orang di sekitarku terluka. Aku sering memergoki mereka di hotel hendak check in, di mobil sedang bercumbu, bahkan saat mereka berada di bandara. Keduanya terlihat bergandengan tangan tanpa malu dilihat oleh orang sekitar.Suamiku berprofesi sebagai pilot dan gundiknya yang berprofesi sebagai seorang pramugari, memungkinkan keduanya untuk sering bepergian bersama, bahkan menginap di hotel yang sama saat fly ke berbagai kota atau negara. Dan sekarang, untuk sekian kalinya aku harus mendapati kenyataan tentang suamiku yang doyan jajan dan selingkuh, dan lebih parahnya pada orang yang sama.Benar-benar gila.“Ma, aku minta maaf. Aku mengakui apa yang aku lakukan ini salah. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Aku mohon kali ini, maafkan aku, ya?” pinta Mas Raga setelah kami berada di dalam kamarku. Pria itu tadi mengikuti dengan tanpa pakaian. Dia hanya mengenakan celana pendek tak peduli dengan pandangan orang lain.“Sudah berapa kali kamu meminta maaf, dan sudah berapa kali kamu berjanji untuk menghentikannya, Mas?” ucapku dingin.Aku duduk di sofa dengan kaki bersilang. Tak lupa kupasang wajah dingin sebagai puncak kekesalanku padanya.“Ini bukan kali pertama, tapi aku akan meyakinkanmu kalau ini yang terakhir kalinya. Aku mohon sekali lagi, maafkan aku, ya.”Pria itu hendak mendekat dan menyentuh pipi, tapi buru-buru kudorong dadanya dengan kasar.“Jangan sentuh aku dengan tangan jijikmu itu. Sebaiknya kamu mandi dan bersihkan diri,” hardikku kasar. Lalu melengos melihat wajahnya yang tanpa rasa bersalah.“Oke, aku tahu kamu sedang marah sekarang. Tapi tidak apa-apa, aku sering minta maaf padamu. Jadi tolong lupakan kejadian barusan.” Dengan entengnya pria itu berucap, lalu pergi mandi dan meninggalkan kamarku. Aku mencebik dan meremas rambut berulang. Untuk kesekian kalinya hatiku dicabik-cabik oleh pria bernama Raga yang sudah menikahiku selama 6 tahun tersebut.Apa kurangku dan apa salahku? Aku sudah memberikan putra-putri yang tampan dan cantik. Aku juga sudah menjadi wanita yang baik dan hanya diam di rumah. Resign dari tempat kerja yang sama-sama seorang pramugari.Dulu kami berkenalan saat Mas Raga training menjadi co-pilot. Waktu itu sikapnya yang santun dan hangat membuatku tertarik. Tak membutuhkan waktu lama untuk kami berkenalan hingga akhirnya melangsungkan pernikahan dengan tanpa paksaan.Kami saling mencintai dan rumah tangga kami pun terbilang harmonis. Tapi satu kebiasaannya yang sulit untuk aku maafkan adalah berselingkuh. Dan parahnya lagi dengan wanita yang sama. Shevaya, tak pernah lelah mengejar suamiku setelah ancaman dan makian yang terlontar dari bibirku. Wanita itu malah semakin menjadi-jadi saat berulang kali kuminta untuk menjauhi suamiku.Tak terhitung pertemuan diam-diam mereka di bawah pengawasan orang yang kubayar. Meski tidak sampai ngamar tapi mereka sering menghabiskan makan malam berdua. Untuk kesekian kalinya inilah titik jenuh yang kurasakan sekarang, dan anehnya aku belum bisa melepaskan pernikahan ini. Dua buah hati yang menjadi pikiranku. Selain itu dua keluarga akan sama-sama kecewa jika aku memilih untuk bercerai.Pintu diketuk dari luar. Aku suruh orang itu masuk. Sedikit terkejut ketika langkah stiletto itu mendekat dengan penampilan yang cukup seksi. Shevaya dengan gaun merah darah ditambah dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam, membawanya mendekat ke arahku dengan dagu terangkat. Angkuh!“Untuk apa kau menemuiku gundik? Apa kau tidak memiliki harga diri, atau kau tidak memiliki rasa malu sedikitpun, hingga kau mendatangi istri dari sah selingkuhanmu?” tanyaku emosi. Mati-matian kutahan kekesalan ini, tapi nyatanya aku tak bisa. Melihat mereka bercumbu tadi membuatku geram dan rasanya otakku hampir gila.“Ck! Kamu cepat sekali emosi, Zea. Pantas saja Mas Raga berkali-kali kembali ke pelukanku.”“Itu karena wanita gatal sepertimu tak pernah bisa lepas dari buaya buntung seperti suamiku,” bentakku membalikkan ucapannya. “Lagian kenapa kau bangga, hah?! Kau itu hanya ditunggangi bukan dinikahi!” lanjutku dengan gigi bergemerak.“Heh, itu cuma anggapanmu. Tapi, biar kukatakan padamu. Zea, sampai kapan kamu akan mempertahankan pria yang jelas-jelas sudah tidak menginginkanmu lagi, hm? Dan apa kamu tidak lelah jadi istri tak dianggap?!”“Apa kau bilang? Hati-hati kalau bicara.”“Oke, coba tanyakan pada hatimu. Kenapa Mas Raga berulang kali selingkuh dan berpaling darimu, bahkan tak memperdulikan perasaanmu dan anak-anak. Bukankah itu artinya dia sudah lelah dan jenuh padamu? Lalu sampai kapan kau akan mempertahankan pria itu, hm?”Sheva semakin menantang dengan dagu terangkat. “Ingat Zea, Mas Raga tidak akan pernah berhenti berselingkuh karena itu sudah wataknya. Dia hanya menuntut maaf padamu lalu semuanya kembali seperti semula. Apa kau tidak lelah, Zea? Apa kamu pikir dengan maaf maka dia merasa menyesal? Tidak. Dia mungkin berada di sisimu, tapi hati dan perasaannya sudah kugenggam dengan erat. Jadi berhenti membuang waktu untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sudah lepas dari tanganmu.”Mataku panas, hatiku terbakar. Merasa tertampar akan kebenaran ucapan dari wanita binal itu.Ya, aku bukannya tidak tahu semua fakta ini. Hanya saja hatiku selalu berkilah dan berpikir semuanya akan baik-baik saja setelah kata sakral itu terucap. Sebuah kata maaf untuk mengembalikannya ke sisiku, lalu semua terulang dan terulang.Sheva mendekat dengan sudut bibir terangkat. Dari jarak sedekat ini bisa kuhidu aroma Clive Christian milik suamiku menempel di raganya.Dia menyentuh ujung rambutku dan memainkannya. Aku terdiam dengan emosi meluap tapi kalah dengan fakta dan kenyataan.“Dan ya, aku mengatakan ini karena aku kasihan padamu. Selama ini kamu terus-terusan dikhianati dan dibohongi, sementara kami bermain-main dengan leluasa. Melepaskan rindu, mengadu asmara, dan bergelut di atas tempat tidur tanpa sepengetahuanmu. Jadi, daripada kau terus-terusan hidup dalam halusinasi dan rasa sakit, sebaiknya lepaskan saja dia dan biarkan dia bersamaku. Karena meskipun sekarang kami ketahuan olehmu, akan ada waktu lain, jam lain atau tempat lain dimana kami akan menghabiskan malam bersama tanpa memperdulikan keberadaanmu. Bukankah kau terlihat menyedihkan di sini?”Deg!!Sialnya gundik itu berkata benar. Aku tak lebih dari wanita yang sangat menyedihkan sekarang. Tapi baiklah, jika itu keinginannya. Mungkin inilah saatnya kulepaskan Mas Raga untuk gundiknya dan melepas rasa sakit.“Sheva, kenapa kamu di sini?” Lamunanku buyar melihat Mas Raga dengan koper yang digeretnya. Pria itu mungkin bingung melihat pasangan mesumnya berani menghadapiku.“Aku sedang mengingatkan istrimu, Mas. Dan aku sudah selesai.” Wanita itu melirik jumawa. “Dah, sampai jumpa lain kali, Zea.”Bisa-bisanya Sheva berkedip sambil menyentuh dada suamiku, lalu melenggang pergi dengan senyum puas. Sedangkan di sini, di dalam dadaku sesuatu yang bernama hati sedang terbakar.“Apa yang dikatakan oleh Sheva barusan? Kau tidak menanggapinya dengan serius, ‘kan?”“Sayangnya apa yang dikatakan oleh wanita itu sepenuhnya benar. Hanya aku saja yang bodoh, yang terus-terusan memintamu untuk kembali ke sisiku padahal tak ada lagi yang bisa kita pertahankan.”“Apa?!”“Tapi aku tak mau hancur sendirian, Mas. Kamu dan gundikmu juga harus merasakan hal yang sama,” ucapku dingin seiring ponsel yang terus-terusan bergetar, yang kutahu sedang membawa kabar buruk.(Bu Aisyah meninggal dunia. Kalian diminta segera datang ke rumah duka.) Kubaca pesan dari pengurus rumah tangga. Seseorang yang selama ini dipercaya oleh keluarga besar ibu mertua, mengurusi tetek bengek seisi rumah mewahnya. Aku menghela nafas, lalu merapikan koper dan hendak pergi. Tak kupedulikan seseorang yang masih memperhatikan dengan kening berlipat-lipat. Menyesal di saat-saat terakhir kehidupannya aku tidak berada di sisi ibu mertua. Kalau saja beliau tidak menyuruhku untuk menelusuri dan menjemput putra tersayangnya, mungkin saat ini di sana tangisku sedang pecah melepas kepergiannya.“Mau ke mana kamu, Ze? Kamu tidak berniat pulang malam ini juga, ‘kan? Perjalanan Surabaya—Bandung sangat melelahkan. Kita pulang besok sore.” Pria yang menyentuh wanita lain beberapa saat lalu itu menyentuh lenganku. Tapi, lekas aku menepisnya dengan kasar. Jijik rasanya bersentuhan dengannya sekarang.“Jangan mendikte kapan aku boleh dan tidak boleh pulang. Bersiaplah untuk pemakaman ib
Gegas kutinggalkan kamar, meninggalkan Mas Raga sendirian dengan emosinya yang menggebu. Terdengar suara benda-benda yang dibanting setelahnya. Mungkin dia melampiaskannya pada barang-barang yang ada di dalam. Dan sekali lagi, aku tidak peduli. Bagiku yang terpenting sekarang adalah pergi jauh darinya. Aku juga akan segera mengakhiri biduk rumah tangga kami. Tak guna mempertahankan seorang pengkhianat seperti dia.Afni sedang bermain di tengah rumah bersama dengan para sepupunya. Tak kulihat keberadaan Dika di sana. Mungkin dia sedang bersama baby sitter dan bodyguard-nya di tempat lain, entah.Mbak Anisa—kakaknya Mas Raga sedang menutup mulut. Tatapannya melihat ponsel di depannya dengan wajah terkejut. Heh, dia pasti sudah melihat kabar terbaru tentang adiknya.Wanita itu mengangkat wajah begitu mendengar langkah kakiku yang mendekat.“Apa ini, Zea? Ini pasti ulahmu, ‘kan? Ayo, ngaku!” Mbak Anisa melotot, “Mbak nggak percaya kamu setega itu pada Raga? Atau jangan-jangan ponselmu di
“Ada apa, Arvan?!” tanyaku sambil menenangkan anak-anak yang juga ikut terkejut setelah mobil tiba-tiba berhenti.“Seseorang menikung dan menghalangi jalan. Dan saya sepertinya tahu mobil siapa itu,” jawabnya dengan wajah dingin. “Tunggu sebentar, Bu.” Gegas pria itu keluar dan menutup pintu.Aku menelisik melihat wanita yang turun dari mobilnya sendiri. Di sana wanita itu menatap kesal. Sheva. Penampilannya begitu cetar khas seorang pelakor. Rok span warna putih dengan paha yang terekspos, belum lagi dadanya yang terlihat menyembul besar. Pantas Mas Raga begitu tergila-gila dengan pesonanya. Mirisnya dia hanya bisa berzina bukan diperistri secara resmi.Wanita itu berkacak pinggang dan berseru ke arah Arvan. Terjadi perdebatan sengit setelahnya. Sheva sampai menunjuk wajah Arvan. Dasar tidak sopan.“Kalian tunggu di sini bareng Mbak, ya. Mama mau ke luar dulu.” Afni dan Dika yang tidak tahu apa-apa itu langsung menurut.Aku membuka pintu mobil dengan cepat untuk menghampiri ked
"Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara begitu kusalami keduanya.“Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku.Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum yang disediakan oleh ART.Afni dan Dika sepertinya bahagia atas kedatangan nenek dan kakeknya. Mereka pun bersenda gurau dan bercengkrama.“Sebelum ke sini kami silaturahmi ke kediaman mertuamu. Mereka sepertinya marah
“Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba, itu jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung atas tindakan yang aku lakukan.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara. Rupanya beliau tidak sabar begitu kusalami keduanya."iya, Ma." Aku pasrah karena sadar semuanya tak bisa ditutup-tutupi lagi. “Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku."Oh ya, udah, deh."Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat. Sepertinya mereka juga kangen pada nenek dan kakeknya.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum ya
“Papa, Mama, kapan kalian datang?!” Mas Raga bertanya yang kutahu hanya basa-basi.“Kenapa memangnya kalau kami datang. Apa kamu keberatan dengan kehadiran kami di rumah ini?!”Mas Raga buru-buru menggeleng. Wajahnya diliputi dengan keterkejutan, “bu-bukan begitu maksudku, Pa.”“Kami tidak tahu kalau seperti itu bahasamu kepada putri kami, Raga. Setelah dulu kau memintanya baik-baik untuk meminang putriku dan berjanji akan menemaninya dalam suka duka dan berjanji akan membahagiakannya, sekarang selain berkata keras di depan wajah istri dan anak-anakmu, kau juga berani mengkhianati dan menduakannya. Bahkan ternyata hubunganmu dengan wanita itu sudah selayaknya pasangan suami istri. Ck, kami benar-benar kecewa padamu. Apa kamu tidak sadar, kami membesarkan Zea untuk hidup bahagia bukan untuk disakiti apalagi disia-siakan seperti ini.” Papa bicara panjang lebar dengan rahang mengeras. Mas Raga yang tidak berkutik malah menggeleng berkali-kali.“Aku minta maaf, Pa,” ucapnya sambil menundu
Papa dan Mama berjengit kaget mendengar pintu yang ditutup kasar oleh Mas Raga. Keduanya menatap pria yang berlalu dengan amarah di wajahnya. Mas Raga tidak memiliki pakaian lagi di rumah ini. Semuanya kukirimkan tanpa sisa. Biar si Sheva yang mengurusnya mulai sekarang.Mau tak mau pria itu keluar dari rumah. Tapi baru sampai di ambang pintu, ponselnya tiba-tiba berdering.Gegas dia melihat layar ponsel miliknya untuk kemudian mendekatkan ke telinga. Hanya beberapa detik setelahnya, terlihat wajah itu semakin nyalang berbalik menatapku dari kejauhan.“Tunggu aku di luar,” ungkapnya entah pada siapa sambil berjalan cepat. Penasaran, aku memburu ke arah pintu dan mendapati tontonan yang cukup menarik.Gundik itu ada di sana. Dia semakin berani menampakan dirinya di lingkungan rumahku. “Dia pasti yang melakukannya. Dia ingin mengusirmu dari rumahmu sendiri, Mas. Apa kau akan membiarkan barang-barangmu menumpuk di teras rumahku?!” tunjuk Sheva ke arahku.“Tenang, She. Jangan bikin ker
“Cukup, She. Tidak usah menambah perkara. Kita sudah mendapatkan hukumannya, sebaiknya tak perlu berdebat lagi. Ayo kita pergi dari sini,” ajaknya pada si gundik sambil menarik tangannya.“Jangan lupa beli kondom, atau kalau tidak kau akan bunting sebelum dinikahi!” Aku berseru pada pasangan yang langsung menahan langkah, untuk kemudian berbalik dengan pandangan nyalang. “Kau lihat ‘kan Mas, bagaimana mulut berdurinya itu terus-terusan menghina kita!! Dan kau masih membiarkan wanita itu menghinaku tanpa berbuat apa-apa!!” “Zea akan terus berbicara, baik kita ladeni atau kita abaikan. Jadi, tak usah pedulikan dia. Ayo pergi.” Kali ini Mas Raga bahkan sampai melingkarkan tangan di bahu wanita itu. Aku memejamkan mata sekilas, merasakan nyeri yang bertubi-tubi dalam dada. Bohong jika aku merelakan mereka. Nyatanya melihat mereka bermesraan saja, hatiku yang sedang terluka seperti berkali-kali disiram air garam saking perihnya.***
Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins
Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat
“Arvan, apa-apaan kamu? Apa yang kamu lakukan pada Ezra?!” Tiba-tiba Bu Widya keluar dari kamar tempat Zea dirawat dan memburu pria itu, lalu membantu membangunkannya. “Ezra, kamu nggak apa-apa? Bibirmu berdarah itu,” ujarnya panik dan kesal padaku.“Saya nggak apa-apa, Tante.” Ezra menatap tajam tapi tak kupedulikan. Awas saja kalau bertemu di luaran sana, akan kupatahkan lehernya jika dia berani mengusikku.“Ampun ya, kamu Arvan. Bisa-bisanya kamu bertingkah kasar di rumah sakit. Heuh, sudah kayak preman saja!”Ezra tersenyum sinis karena dibela seperti memiliki seorang dewi penolong. Dia merasa di atas angin saat Bu Widya membawa pria itu masuk ke dalam ruangan. Terlihat tatapan meremehkan darinya yang ditujukan padaku.Sejak kapan pria itu dekat dengan Bu Widya, padahal dengan Zea saja bahkan baru bertemu beberapa kali saat di mall dan mampir ke rumahnya. Selebihnya aku jelas tahu kalau Ezra tidak dekat dengan wanita itu.“Arvan, bisa kita bicara sebentar?” tanya Pak Budi keluar
POV Arvanda Pradipta Ponsel yang berdering membuatku terpaksa menepikan kendaraan di bahu jalan. Doni—pria yang kusuruh untuk menjaga Zea dan dua anaknya, menghubungi.Tak biasanya dia nyepam sampai lima kali panggilan. Doni hafal sifatku. Jika tak diangkat, artinya aku sedang sibuk dan akan menghubungi kembali nanti.Dan sekarang, otakku dipenuhi rasa gelisah dan prasangka.“Ada apa, Don?” Langsung kutanya pria itu tanpa peduli.“Van, kayaknya lo harus balik lagi ke sini. Zea masuk rumah sakit!” ujarnya terdengar panik disusul suara sirine dari ambulan yang terdengar getir di telinga.“Katakan yang jelas, ada apa?! Apa terjadi sesuatu sama Zea?!” Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Apalagi terdengar suara beberapa orang di belakang pria itu.“Zea ditusuk oleh seseorang. Sorry, Van. Aku ‘gak nyangka bakal kejadian kayak gini!”“Shitt!!” Aku mengumpat tak sadar sambil memukul setir. Tak menduga akan kecolongan seperti ini. Padahal Doni sudah aku wanti-wanti untuk menjaga ca
Tunggu, apa maksudnya?Apa Arvan sering membicarakanku pada orang tuanya. Tapi sejak kapan? Dan apa saja yang dia katakan.Aku masih bertarung dengan pikiranku sendiri, saat pria itu bertambah garang dan menatapku tajam.“Suruh dia pergi dari sini, atau bapak sendiri yang akan menyeretnya keluar!” usirnya tanpa rasa kemanusiaan.Aku terkejut, begitupun Afni dan Dika. Keduanya merapatkan badan dengan gemetar.“Ma, aku takut,” cicit Dika.“Ma, ayo kita pulang.” Afni ikut merengek tak bisa kutenangkan. Jujur aku tak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini.“Pak, sabar dulu. Kenapa mesti ngomong seperti itu? Zea dan anak-anaknya adalah tamu kita. Rasanya tidak pantas Bapak bicara seperti itu.” Wanita yang sepertinya ibunya Arvan berdiri dan mendekati pria yang menatap dingin tersebut. Afni dan Dika juga seketika mengatupkan bibir, mungkin takut dengan cara pandangnya saat melihatku.“Ibu diam saja, biar Bapak sendiri yang ngomong pada anak itu. Apa dia tak sadar dengan apa
“Zea? Ada apa, dan kenapa kamu pulang lagi?”Karena pikiranku yang kacau, aku tidak sadar kalau ternyata Arvan sudah ada di rumah bersama Dika. Anak itu sudah tampan dengan rambutnya yang terlihat basah. Arvan juga tengah menyuapinya makan. Di tangan pria itu, Dika tampak lebih ceria.“Ze, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu dan Afni baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya terdengar khawatir.Aku menggeleng lemah dan mendekat padanya. Tak peduli apapun, aku menjatuhkan badan ke pelukan pria itu yang sigap menyambut dengan penuh tanya.Cukup lama kami berpelukan. Bahkan dapat kudengar suara jantungnya yang bertalu. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan nyaman seperti ini. Dan di pelukan Arvan, sesaat aku merasa tenang.Aku melepas pelukan dan mendesah berat, masih tak berani menatap wajahnya.“Maaf, dan … makasih.”“Ceritakan apa yang terjadi sampai-sampai membuatmu gelisah seperti ini? Apa ada seseorang yang menyakitimu, atau kamu bertemu dengan Sheva, atau bahkan Pak Raga mungki
Dua hari kemudian, Afni tampak cantik setelah memakai seragam baru. Hari ini aku akan mengantarnya ke taman kanak-kanak. Afni mulai bersekolah sekarang, itu pun setelah tak bosan-bosannya kubujuk. Awalnya, dia masih mau main di rumah dan belum mau masuk TK. Akhirnya setelah perjuangan dan sedikit drama, dia mau menuruti permintaanku dan Arvan untuk masuk pra sekolah.“Ayo kita berangkat sekarang, nanti telat masuk kelas,” ajakku sambil menggamit lengannya. Afni terlihat riang dan sesekali bersenandung. Lagu ‘balonku ada lima’ jadi pilihannya.Saat hendak membuka pintu mobil, aku terkejut melihat di dekat gerbang, Mas Raga menunggu di sana dengan senyum manisnya.“Ma, itu Papa. Aku mau berangkatnya bareng Papa aja,” ujar Afni berseru.Sebelum aku merespon, Afni sudah berlari-lari mendekati pria itu. Mas Raga segera memangku, mencium rambut dan mengajaknya duduk di kursi depan mobilnya. Aku yang melihatnya bahkan sampai melongo.Apa-apaan pria itu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada d
“Halo, Arvan?” sapaku begitu panggilan tersambung.“Ada apa Bu Zea? Kangen, ya,” canda pria itu dengan suara lembutnya di ujung telepon. Aku menggigit ujung jari, bingung harus mulai dari mana.“Bu Zea, kenapa diam saja? Kalau kangen ya, bilang aja kangen. Gak usah malu-malu kayak gitu. Lagian bentar lagi ‘kan kita nikah,” godanya lagi membuatku semakin tak enak hati. Bagaimana tanggapannya kalau dia tahu Mas Raga ada di sini.“Arvan, ada papanya anak-anak di sini, dan—”“Oh, apa dia membuat masalah? Apa perlu aku pulang sekarang?” potong Arvan dengan cepat. Pria itu sangat mengkhawatiranku yang tidak siap bertemu dengan mantan suami. Tapi bibirku seakan kelu untuk bicara padanya. Entah bagaimana caranya meminta izin.“Kenapa Bu, apa ada masalah?” tanya Arvan lagi di ujung telepon, seperti tidak sabar ingin mendengar alasanku menghubunginya.“Itu … anak-anak katanya ingin jalan-jalan dengan papanya, dan Mas Raga memintaku untuk pergi. Aku butuh izinmu, Arvan. Itupun kalau kamu tid
“Katakan dengan jujur atau aku akan menghabisimu sekarang!” ancamku tak main-main. Bayangan ketakutan mantan istri dan dua anakku menari di kepala, membuatku kehilangan akal dan bergelung amarah pada Sheva. Memangnya kalau bukan dia pelakunya, lantas siapa lagi yang mesti aku curigai? Wanita itu meneguk ludah dengan kasar. Matanya bergerak-gerak mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku. Dari gerak geriknya saja, aku sudah mengetahui kalau dialah si biang masalah.Wanita licik ini tidak cukup mengambilku dari keluargaku sendiri, dia dengan teganya berbuat zalim di belakang mereka. Meski perbuatanku sendiri tidak dapat dibenarkan, tapi dia lebih keterlaluan padahal Zea tidak melakukan apa-apa padanya.“Heh, kau tidak memiliki jawaban, ‘kan? Itu karena memang benar kalau kaulah pelakunya. Tapi ingat Sheva, sekali lagi kau meneror mereka maka kau akan berhadapan denganku!” Kuhempaskan rahang wanita itu hingga dia tersungkur ke lantai.Sebelum pergi, aku menyambar kunci yang teronggo