"Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya.
Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara begitu kusalami keduanya.“Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku.Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum yang disediakan oleh ART.Afni dan Dika sepertinya bahagia atas kedatangan nenek dan kakeknya. Mereka pun bersenda gurau dan bercengkrama.“Sebelum ke sini kami silaturahmi ke kediaman mertuamu. Mereka sepertinya marah dan mengabaikan kami berdua,” ucap Mama.Aku paham maksudnya. Tentu mereka marah apalagi setelah aku berdebat dengan Mbak Anisa dan Mas Beni tadi.“Dan tentang Raga. Kenapa kamu baru bicara sekarang perihal kelakuan Raga. Bahkan setelah berkali-kali pria itu menghianatimu. Apa alasanmu, Zea? Apa kamu takut kami akan marah dan tidak membelamu sama sekali?” tanya Papa serius.Aku menggeleng dengan cepat.‘Ku jelaskan semuanya pada kedua orang tuaku, terutama alasanku adalah anak-anak dan kupikir Mas Raga akan berubah seiring berjalannya waktu, tapi ternyata dugaanku salah. Semakin lama mereka semakin parah saja dan sudah berbuat layaknya seperti pasangan suami istri.“Kami mengerti kamu sakit hati atas ulah Raga, tapi menyebarkannya ke media sosial juga sama halnya dengan mengumbar aib suamimu sendiri. Dan setelah ini, kamu lihat ‘kan, beritanya tersebar kemana-mana.” Mama melanjutkan.“Aku sudah memikirkannya baik-baik, Ma. Doakan saja aku kuat menerimanya, lagipula aku tidak mungkin menutupi lagi semuanya. Keenakan mereka dong kalau aku diam saja. Mereka senang-senang diatas penderitaanku dan anak-anak. Mas Raga juga tidak akan jera kalau aku diam saja, atau paling ringannya hanya mengajukan gugatan perceraian, sementara dia tidak mendapatkan sanksi apa-apa.”Papa dan Mama mengangguk angguk mendengar penjelasanku.Sekarang aku cukup berpuas diri karena Sheva dan Mas Raga jadi bulan-bulanan warganet dan orang-orang yang mengenal mereka, termasuk di instansi perusahaan tempat mereka mencari rezeki dan penghidupan.Papa dan Mama kemudian memilih istirahat setelah perjalanan cukup jauh. Papa yakin Mas Raga juga tidak akan diam saja setelah kuputuskan akan mengajukan gugatan perceraian secepat mungkin. Papa juga bilang ingin melindungiku dan memilih beberapa hari tinggal di sini sampai suasana sedikit kondusif.***Pintu yang digedor tengah malam membuatku yang baru saja terlelap sontak terjaga dan menajamkan indera telinga.Tak salah, ada suara seseorang yang meracau di ruang tamu. Berteriak teriak seperti kerasukan.Yakin dengan siapa yang datang, buru-buru aku mengenakan kimono dan terburu ke sumber suara.Mas Raga.Pria itu sepertinya habis mabuk-mabukan dan meracau tidak jelas. Di tangannya ada botol alkohol. Dia seperti orang yang kesurupan. Terus berbicara tentang hal yang tidak jelas dan sesekali mengumpat menyebut namaku.“Zea … Zea … akhirnya kau turun juga. Dasar istri tidak berguna, pembangkang. Kau menghancurkan hidupku dengan perbuatan konyolmu itu!! Dan sekarang, apa kau sudah puas melihatku hancur, heh?!”Aku melipat tangan di dada. Ingin tahu sejauh mana dia menjelek-jelekkanku, terlebih papa dan mama baru keluar dari kamar dan berdiri memperhatikan pria itu.“Zea, sebaiknya ajak dia ke kamar dan suruh dia tidur, agar tidak meracau panjang lebar. Siapa tahu anak-anak terbangun dan mendengarnya. Itu tak baik bagi kesehatan mental mereka,” saran dari Papa kubalas dengan gelengan kepala.“Buat apa, Pa?! Biarkan saja dia bicara sesuka hatinya. Aku udah yakin anak-anak tidur lelap di kamarnya.”“Ya sudahlah, kalau kamu bisa menghadapinya. Hati-hati, orang yang mabuk bisa bertindak kasar. Sebaiknya kamu tenangkan dia,” pesan papa lagi yang kubalas dengan anggukkan. Kedua orang tuaku kembali langsung masuk ke dalam kamar, meninggalkanku yang mulai menapaki tangga satu persatu untuk lebih dekat pada pria yang sudah tidak sadar itu.“Seharusnya kamu berpikir sebelum melakukannya, Mas. Aku bukan wanita yang akan diam saja setelah lelah bersabar. Bahkan semut pun akan menggigit bila terus-terusan disakiti. Aku juga demikian. Semakin besar rasa sakit yang kau berikan, maka semakin kuat balasan yang akan kau terima.”Aku bicara seorang diri. Melihat pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu mulai bergumam tidak jelas. Matanya sudah terpejam seiring bau alkohol yang menyeruak masuk ke hidung.Mas Raga menjatuhkan diri di sofa dengan keadaan terduduk. Matanya terpejam setelah kelelahan.Gegas kupasang bantal sofa dan kubaringkan dia di sana. Tak ketinggalan, kulepas sepatu dan kaos kakinya agar pria itu nyaman. Tak lupa gesper dan kancing kemeja bagian atas kulepas beberapa agar dia tidak merasa engap. Terakhir, kuambil selimut dari kamar tamu untuk menutupi badannya.Silahkan istirahat Mas, karena esok kamu mungkin akan menghadapi hari yang semakin berat.***“Ih, Papa bau ….”“Iya, Papa bau.”Suara Afni dan Dika memecah sunyi. Mereka membangunkan Mas Raga dari tidur lelapnya. Kedua anak itu sampai menutup hidung.Hampir jam delapan siang saat pria itu terduduk sambil memijat kepalanya berat.Anak-anaknya membangunkan papanya untuk kemudian melayangkan ciuman di pipi kanan dan kirinya.“Pagi anak-anak Papa,” ucap Mas Raga dengan suara serak.“Papa, ini bau apa, ya? Aku belum pernah cium bau ini?” tanya Afni polos.Mas Raga melirik padaku. Aku pura-pura mengaduk sus* hangat untuk kedua anaknya.“Kamu udah sadar, Mas. Baguslah.”Mas Raga melengos dan berdiri limbung. Dia memijat ruang diantara alisnya.“Papa mau mandi dulu, ya. Nanti kita main bareng,” ucapnya yang dibalas antusias oleh keduanya.Mas Raga berlalu setelah melihatku dan mendesah. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Kulihat dia masuk ke kamar utama, namun setelahnya buru-buru keluar lagi. Pasti dia bingung mencari barang-barang miliknya yang sudah tidak ada di sana.Ya, semalam semuanya kukemas dan kukirim pada seseorang yang sekarang lebih berarti di hatinya.“Zea, kamu kemanakan barang-barangku?! Jangan bilang kalau kamu membuangnya. Kamu tahu ‘kan kalau semuanya barang berharga dan bernilai?!” Mas Raga mencecarku dengan beberapa pertanyaan setelah mendekat ke arah pantry.Aku tersenyum menanggapinya, “itulah makanya barang-barang Mas kukirim ke tempat yang paling berharga, hingga kamu akan berterima kasih sekali padaku.”“Maksudnya?!” tanya pria yang masih setengah limbung itu bingung. Terlihat dengan kerutan diantara kedua alisnya.“Hm, tanya aja pada pasanganmu. Mungkin barang-barangmu sudah sampai ke sana. Kebetulan semalam aku menyuruh kurir untuk mengantar.”“Maksudnya kamu mengirimnya ke rumah Sheva?!” terka Mas Raga yang kubalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Tepatnya senyum pura-pura. “Si⁴lan!!”“Iya, tentu saja. Aku tahu kamu terlalu repot hingga hanya ragamu yang sampai di sana dan berbuat mesum. Kamu sampai melupakan barang-barangmu, Mas. Makanya dengan sukarela aku serahkan semuanya pada wanita itu. Tujuannya juga biar kamu nggak bolak-balik ke rumah ini tentu saja. Juga nggak banyak alasan untuk berinteraksi denganku,” balasku dingin namun penuh penekananMas Raga mendengus kesal sambil meremas rambutnya dengan kasar.“Apa kau sudah gila, Zea?! Kenapa kau bertindak sejauh ini, hah?! Kau pikir setelah apa yang kau lakukan dengan mengumbar aibku, lantas kau bisa sebebas itu membuangku termasuk mengeluarkan barang-barang pribadiku dari rumahku sendiri, begitu?!”Aku masih menanggapinya santai sambil duduk di kursi makan.“Kenapa tidak? Rumah ini dibuat atas namaku, dan jika kita berpisah tidak masuk dalam harta gono gini karena aku sudah mengatasnamakan untuk kedua anakku. Jadi—”“Zea!!”“Pelankan suaramu, terutama di depan anak-anak!!”Suara lantang dari arah belakang membuat Mas Raga menelan ludah dan berbalik ragu. Lututnya terlihat lemas, melihat siapa yang kini tengah menatapnya dengan pandangan garang.“Papa!” Mas Raga tergagap melihat papa yang melotot ke arahnya.“Jadi, sekasar ini kamu perlakukan anakku selama ini? Iya?!”Heh, kena kamu, Mas!“Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba, itu jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung atas tindakan yang aku lakukan.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara. Rupanya beliau tidak sabar begitu kusalami keduanya."iya, Ma." Aku pasrah karena sadar semuanya tak bisa ditutup-tutupi lagi. “Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku."Oh ya, udah, deh."Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat. Sepertinya mereka juga kangen pada nenek dan kakeknya.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum ya
“Papa, Mama, kapan kalian datang?!” Mas Raga bertanya yang kutahu hanya basa-basi.“Kenapa memangnya kalau kami datang. Apa kamu keberatan dengan kehadiran kami di rumah ini?!”Mas Raga buru-buru menggeleng. Wajahnya diliputi dengan keterkejutan, “bu-bukan begitu maksudku, Pa.”“Kami tidak tahu kalau seperti itu bahasamu kepada putri kami, Raga. Setelah dulu kau memintanya baik-baik untuk meminang putriku dan berjanji akan menemaninya dalam suka duka dan berjanji akan membahagiakannya, sekarang selain berkata keras di depan wajah istri dan anak-anakmu, kau juga berani mengkhianati dan menduakannya. Bahkan ternyata hubunganmu dengan wanita itu sudah selayaknya pasangan suami istri. Ck, kami benar-benar kecewa padamu. Apa kamu tidak sadar, kami membesarkan Zea untuk hidup bahagia bukan untuk disakiti apalagi disia-siakan seperti ini.” Papa bicara panjang lebar dengan rahang mengeras. Mas Raga yang tidak berkutik malah menggeleng berkali-kali.“Aku minta maaf, Pa,” ucapnya sambil menundu
Papa dan Mama berjengit kaget mendengar pintu yang ditutup kasar oleh Mas Raga. Keduanya menatap pria yang berlalu dengan amarah di wajahnya. Mas Raga tidak memiliki pakaian lagi di rumah ini. Semuanya kukirimkan tanpa sisa. Biar si Sheva yang mengurusnya mulai sekarang.Mau tak mau pria itu keluar dari rumah. Tapi baru sampai di ambang pintu, ponselnya tiba-tiba berdering.Gegas dia melihat layar ponsel miliknya untuk kemudian mendekatkan ke telinga. Hanya beberapa detik setelahnya, terlihat wajah itu semakin nyalang berbalik menatapku dari kejauhan.“Tunggu aku di luar,” ungkapnya entah pada siapa sambil berjalan cepat. Penasaran, aku memburu ke arah pintu dan mendapati tontonan yang cukup menarik.Gundik itu ada di sana. Dia semakin berani menampakan dirinya di lingkungan rumahku. “Dia pasti yang melakukannya. Dia ingin mengusirmu dari rumahmu sendiri, Mas. Apa kau akan membiarkan barang-barangmu menumpuk di teras rumahku?!” tunjuk Sheva ke arahku.“Tenang, She. Jangan bikin ker
“Cukup, She. Tidak usah menambah perkara. Kita sudah mendapatkan hukumannya, sebaiknya tak perlu berdebat lagi. Ayo kita pergi dari sini,” ajaknya pada si gundik sambil menarik tangannya.“Jangan lupa beli kondom, atau kalau tidak kau akan bunting sebelum dinikahi!” Aku berseru pada pasangan yang langsung menahan langkah, untuk kemudian berbalik dengan pandangan nyalang. “Kau lihat ‘kan Mas, bagaimana mulut berdurinya itu terus-terusan menghina kita!! Dan kau masih membiarkan wanita itu menghinaku tanpa berbuat apa-apa!!” “Zea akan terus berbicara, baik kita ladeni atau kita abaikan. Jadi, tak usah pedulikan dia. Ayo pergi.” Kali ini Mas Raga bahkan sampai melingkarkan tangan di bahu wanita itu. Aku memejamkan mata sekilas, merasakan nyeri yang bertubi-tubi dalam dada. Bohong jika aku merelakan mereka. Nyatanya melihat mereka bermesraan saja, hatiku yang sedang terluka seperti berkali-kali disiram air garam saking perihnya.***
“Ya ampun, Mama tidak habis pikir kalau mereka akan secepat ini go publik. Bener-bener nggak tahu malu. Mama kira si Raga nyesel setelah kamu permalukan. Ternyata malah sebaliknya.” Mama terus menggerutu seiring mobil yang melaju untuk membawa kami pulang. Papa yang menyetir tak banyak bicara. Tapi jelas ikut menyesalkan kelakuan Mas Raga juga.“Ya udahlah, Ma. Mau bagaimana lagi. Biasanya ‘kan bukan hanya makan malam, bahkan lebih dari itu pun mereka sanggup,” timpalku menegaskan fakta tentang mereka pada mama.Mama mengangguk lagi,” iya sih, kalau udah gini Mama mendukungmu untuk mengajukan gugatan perceraian. Mama nggak mau punya menantu seorang pezina, terlebih dia tidak memiliki rasa malu dan tidak punya rasa bersalah sedikitpun pada kamu dan anak-anakmu.”Benar kata Mama. Setelah mendapat dukungan dari keduanya tekadku semakin bulat untuk mengakhiri semua, lagi pula kesabaran yang kubangun selama ini sudah terkikis habis pada Mas Raga yang
“Oh, jadi kamu benar-benar tidak sadar bagaimana dan apa kekuranganmu di mataku?” Mas Raga tersenyum meledek.“Katakan saja meskipun itu menyakitkan! Itu lebih baik daripada kau terus-terusan menghianatiku tanpa tahu dimana letak kesalahanku!!” tantangku tak peduli seandainya Mas Raga membeberkan keburukan. Itu akan jadi pertimbangan dan menyadari kekuranganku di matanya. Mungkin itu juga alasan yang membuat dia berulang kali berpaling pada wanita lain.“Oke, mungkin kamu merasa bangga sudah menjadi istri yang baik untukku, ibu yang baik untuk anak-anak kita, tanpa pernah kamu memikirkan penampilanmu dan kamu tidak bisa menyenangkan aku sebagai suamimu. Apa kamu tidak sadar bagaimana keadaanmu selama ini yang bisanya hanya—”Ucapan pria itu menggantung. Mas Raga berulang kali meremas kepalanya yang mungkin terasa berat.“Hanya apa? Katakan dengan jelas agar aku tahu kekuranganku dimana?!” desakku tak tahan. Ini harus segera diakhiri a
Afni dan Dika melambaikan tangan begitu melihatku duduk berdampingan dengan Arvan. “Om Arvan, Mama …!” panggilnya.Arvan ikut melambai. Pria itu lebih dekat dengan anak-anak pasca Mas Raga meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ayah dan menyuruh Arvan jadi pelindung keduanya. Entahlah, setelah ini akankah Mas Raga menarik Arvan dan memecatnya perihal amarahnya terhadapku. Aku tak tahu. Tapi aku tahu pria egois itu tak mau rugi mengingat semuanya dia yang membayar dan Arvan mendapat gaji juga darinya.“Mereka ceria sekali, ya, Arv. Rasanya aku iri dengan kebahagiaan mereka. Bisa tertawa lepas tanpa beban dan penuh keceriaan.”Arvan mengangguk singkat. Tatapannya jatuh pada mereka yang sedang aktif-aktifnya bermain.“Saya harap Bu Zea juga akan begitu suatu hari nanti. Setelah melepas beban, masa depan cerah akan Ibu gapai. Percayalah, jika kita melepaskan sesuatu yang berat, kita akan mendapatkan sesuatu yang baru juga.”“Ya, semoga saja.”“Mama, aku lapar.” Afni dan adiknya m
Kugeser sembarang pakaian ke tepian ranjang. Mencari tempat yang nyaman untuk istirahat. Aku tidak boleh terpancing emosi. Terus-terusan bertengkar dengan pria itu, hanya akan merugikan diriku sendiri dan membuatku lelah jiwa raga. ‘Ku ambil ponsel untuk menghubungi Wike dan menceritakan semuanya. Wanita itu menghela nafas sebelum akhirnya memberi saran padaku.“Untuk sementara, biarkan saja dulu. Daripada Raga melakukan sesuatu yang brutal terhadapmu, seperti ancaman yang kamu ceritakan barusan, takutnya dia berbuat nekat dan membawa dua anakmu pergi bersama dengan selingkuhannya.”“Kamu benar, Wi. Tapi aku harus bagaimana? Aku tidak sudi tinggal satu atap dengan mereka, bahkan membayangkan terakhir kali mereka bergumul di atas tempat tidur saja kepalaku rasanya mau pecah,” aduku pada wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu.“Kuncinya adalah sabar, Zea. Aku tahu kamu wanita yang kuat. Aku juga ada kabar baik untukmu. Aku sudah mengajukan gugatan perceraianmu ke pengadilan dan
Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins
Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat
“Arvan, apa-apaan kamu? Apa yang kamu lakukan pada Ezra?!” Tiba-tiba Bu Widya keluar dari kamar tempat Zea dirawat dan memburu pria itu, lalu membantu membangunkannya. “Ezra, kamu nggak apa-apa? Bibirmu berdarah itu,” ujarnya panik dan kesal padaku.“Saya nggak apa-apa, Tante.” Ezra menatap tajam tapi tak kupedulikan. Awas saja kalau bertemu di luaran sana, akan kupatahkan lehernya jika dia berani mengusikku.“Ampun ya, kamu Arvan. Bisa-bisanya kamu bertingkah kasar di rumah sakit. Heuh, sudah kayak preman saja!”Ezra tersenyum sinis karena dibela seperti memiliki seorang dewi penolong. Dia merasa di atas angin saat Bu Widya membawa pria itu masuk ke dalam ruangan. Terlihat tatapan meremehkan darinya yang ditujukan padaku.Sejak kapan pria itu dekat dengan Bu Widya, padahal dengan Zea saja bahkan baru bertemu beberapa kali saat di mall dan mampir ke rumahnya. Selebihnya aku jelas tahu kalau Ezra tidak dekat dengan wanita itu.“Arvan, bisa kita bicara sebentar?” tanya Pak Budi keluar
POV Arvanda Pradipta Ponsel yang berdering membuatku terpaksa menepikan kendaraan di bahu jalan. Doni—pria yang kusuruh untuk menjaga Zea dan dua anaknya, menghubungi.Tak biasanya dia nyepam sampai lima kali panggilan. Doni hafal sifatku. Jika tak diangkat, artinya aku sedang sibuk dan akan menghubungi kembali nanti.Dan sekarang, otakku dipenuhi rasa gelisah dan prasangka.“Ada apa, Don?” Langsung kutanya pria itu tanpa peduli.“Van, kayaknya lo harus balik lagi ke sini. Zea masuk rumah sakit!” ujarnya terdengar panik disusul suara sirine dari ambulan yang terdengar getir di telinga.“Katakan yang jelas, ada apa?! Apa terjadi sesuatu sama Zea?!” Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Apalagi terdengar suara beberapa orang di belakang pria itu.“Zea ditusuk oleh seseorang. Sorry, Van. Aku ‘gak nyangka bakal kejadian kayak gini!”“Shitt!!” Aku mengumpat tak sadar sambil memukul setir. Tak menduga akan kecolongan seperti ini. Padahal Doni sudah aku wanti-wanti untuk menjaga ca
Tunggu, apa maksudnya?Apa Arvan sering membicarakanku pada orang tuanya. Tapi sejak kapan? Dan apa saja yang dia katakan.Aku masih bertarung dengan pikiranku sendiri, saat pria itu bertambah garang dan menatapku tajam.“Suruh dia pergi dari sini, atau bapak sendiri yang akan menyeretnya keluar!” usirnya tanpa rasa kemanusiaan.Aku terkejut, begitupun Afni dan Dika. Keduanya merapatkan badan dengan gemetar.“Ma, aku takut,” cicit Dika.“Ma, ayo kita pulang.” Afni ikut merengek tak bisa kutenangkan. Jujur aku tak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini.“Pak, sabar dulu. Kenapa mesti ngomong seperti itu? Zea dan anak-anaknya adalah tamu kita. Rasanya tidak pantas Bapak bicara seperti itu.” Wanita yang sepertinya ibunya Arvan berdiri dan mendekati pria yang menatap dingin tersebut. Afni dan Dika juga seketika mengatupkan bibir, mungkin takut dengan cara pandangnya saat melihatku.“Ibu diam saja, biar Bapak sendiri yang ngomong pada anak itu. Apa dia tak sadar dengan apa
“Zea? Ada apa, dan kenapa kamu pulang lagi?”Karena pikiranku yang kacau, aku tidak sadar kalau ternyata Arvan sudah ada di rumah bersama Dika. Anak itu sudah tampan dengan rambutnya yang terlihat basah. Arvan juga tengah menyuapinya makan. Di tangan pria itu, Dika tampak lebih ceria.“Ze, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu dan Afni baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya terdengar khawatir.Aku menggeleng lemah dan mendekat padanya. Tak peduli apapun, aku menjatuhkan badan ke pelukan pria itu yang sigap menyambut dengan penuh tanya.Cukup lama kami berpelukan. Bahkan dapat kudengar suara jantungnya yang bertalu. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan nyaman seperti ini. Dan di pelukan Arvan, sesaat aku merasa tenang.Aku melepas pelukan dan mendesah berat, masih tak berani menatap wajahnya.“Maaf, dan … makasih.”“Ceritakan apa yang terjadi sampai-sampai membuatmu gelisah seperti ini? Apa ada seseorang yang menyakitimu, atau kamu bertemu dengan Sheva, atau bahkan Pak Raga mungki
Dua hari kemudian, Afni tampak cantik setelah memakai seragam baru. Hari ini aku akan mengantarnya ke taman kanak-kanak. Afni mulai bersekolah sekarang, itu pun setelah tak bosan-bosannya kubujuk. Awalnya, dia masih mau main di rumah dan belum mau masuk TK. Akhirnya setelah perjuangan dan sedikit drama, dia mau menuruti permintaanku dan Arvan untuk masuk pra sekolah.“Ayo kita berangkat sekarang, nanti telat masuk kelas,” ajakku sambil menggamit lengannya. Afni terlihat riang dan sesekali bersenandung. Lagu ‘balonku ada lima’ jadi pilihannya.Saat hendak membuka pintu mobil, aku terkejut melihat di dekat gerbang, Mas Raga menunggu di sana dengan senyum manisnya.“Ma, itu Papa. Aku mau berangkatnya bareng Papa aja,” ujar Afni berseru.Sebelum aku merespon, Afni sudah berlari-lari mendekati pria itu. Mas Raga segera memangku, mencium rambut dan mengajaknya duduk di kursi depan mobilnya. Aku yang melihatnya bahkan sampai melongo.Apa-apaan pria itu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada d
“Halo, Arvan?” sapaku begitu panggilan tersambung.“Ada apa Bu Zea? Kangen, ya,” canda pria itu dengan suara lembutnya di ujung telepon. Aku menggigit ujung jari, bingung harus mulai dari mana.“Bu Zea, kenapa diam saja? Kalau kangen ya, bilang aja kangen. Gak usah malu-malu kayak gitu. Lagian bentar lagi ‘kan kita nikah,” godanya lagi membuatku semakin tak enak hati. Bagaimana tanggapannya kalau dia tahu Mas Raga ada di sini.“Arvan, ada papanya anak-anak di sini, dan—”“Oh, apa dia membuat masalah? Apa perlu aku pulang sekarang?” potong Arvan dengan cepat. Pria itu sangat mengkhawatiranku yang tidak siap bertemu dengan mantan suami. Tapi bibirku seakan kelu untuk bicara padanya. Entah bagaimana caranya meminta izin.“Kenapa Bu, apa ada masalah?” tanya Arvan lagi di ujung telepon, seperti tidak sabar ingin mendengar alasanku menghubunginya.“Itu … anak-anak katanya ingin jalan-jalan dengan papanya, dan Mas Raga memintaku untuk pergi. Aku butuh izinmu, Arvan. Itupun kalau kamu tid
“Katakan dengan jujur atau aku akan menghabisimu sekarang!” ancamku tak main-main. Bayangan ketakutan mantan istri dan dua anakku menari di kepala, membuatku kehilangan akal dan bergelung amarah pada Sheva. Memangnya kalau bukan dia pelakunya, lantas siapa lagi yang mesti aku curigai? Wanita itu meneguk ludah dengan kasar. Matanya bergerak-gerak mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku. Dari gerak geriknya saja, aku sudah mengetahui kalau dialah si biang masalah.Wanita licik ini tidak cukup mengambilku dari keluargaku sendiri, dia dengan teganya berbuat zalim di belakang mereka. Meski perbuatanku sendiri tidak dapat dibenarkan, tapi dia lebih keterlaluan padahal Zea tidak melakukan apa-apa padanya.“Heh, kau tidak memiliki jawaban, ‘kan? Itu karena memang benar kalau kaulah pelakunya. Tapi ingat Sheva, sekali lagi kau meneror mereka maka kau akan berhadapan denganku!” Kuhempaskan rahang wanita itu hingga dia tersungkur ke lantai.Sebelum pergi, aku menyambar kunci yang teronggo