“Papa, Mama, kapan kalian datang?!” Mas Raga bertanya yang kutahu hanya basa-basi.
“Kenapa memangnya kalau kami datang. Apa kamu keberatan dengan kehadiran kami di rumah ini?!”Mas Raga buru-buru menggeleng. Wajahnya diliputi dengan keterkejutan, “bu-bukan begitu maksudku, Pa.”“Kami tidak tahu kalau seperti itu bahasamu kepada putri kami, Raga. Setelah dulu kau memintanya baik-baik untuk meminang putriku dan berjanji akan menemaninya dalam suka duka dan berjanji akan membahagiakannya, sekarang selain berkata keras di depan wajah istri dan anak-anakmu, kau juga berani mengkhianati dan menduakannya. Bahkan ternyata hubunganmu dengan wanita itu sudah selayaknya pasangan suami istri. Ck, kami benar-benar kecewa padamu. Apa kamu tidak sadar, kami membesarkan Zea untuk hidup bahagia bukan untuk disakiti apalagi disia-siakan seperti ini.” Papa bicara panjang lebar dengan rahang mengeras. Mas Raga yang tidak berkutik malah menggeleng berkali-kali.“Aku minta maaf, Pa,” ucapnya sambil menunduk.“Kamu tidak menyesalinya, ‘kan?!” tebak Papa mendesah. Pria paruh baya itu melepas kacamata untuk kemudian mendekat ke arah pria yang masih berstatus sebagai menantunya.“Apa maksud Papa?!” Mas Raga tampak tak terima dengan ucapannya barusan.Papa mempersilahkan pria itu untuk duduk di kursi dan mengobrol serius.“Begini saja, Raga. Jika kamu sudah tidak menyukai Zea, alih-alih terus-terusan menyakitinya kenapa kamu tidak membereskan dulu semuanya. Kembalikan dia pada kami, agar kau juga bebas menikahi wanita itu. Jangan terus-terusan larut dalam dosa zina, ingat hukumnya berat. Dunia akhirat kami tidak ridho. Apalagi semuanya sudah terlanjur tersebar sekarang. Jadi, apalagi yang kau tunggu.” Papa menghembuskan nafasnya. “Jangan membentak putriku karena kami juga tidak pernah melakukannya. Hargai dia sebagaimana pertama kali kamu memintanya pada kami. Dan jika kamu tidak sanggup, kami tidak akan memberatkanmu untuk terus-terusan menjaganya. Kembalikan dia.”“Pa, aku tidak berpikir jauh itu. Aku hanya khilaf.” Setelah semuanya terungkap, pria itu masih melakukan pembelaan. Dih, dasar tidak tahu malu.“Hanya khilaf, katamu?! Khilaf itu satu kali Raga, kalau terus-terusan itu namanya doyan,” sahut Mama yang sepertinya ikut geram. Pria itu kemudian disidang di ruang tengah. Sengaja kubiarkan orang tuaku yang mengobrol dan menasehati Mas Raga. Aku sendiri sibuk menyiapkan sarapan untuk semua orang.Beruntung anak-anak langsung diajak mandi oleh Mbak Dina. Hingga mereka tidak perlu mendengar obrolan kakek, nenek dan papanya.Belum selesai Papa mengobrol dengan Mas Raga, tiba-tiba Arvan mendekat dengan selembar surat yang dibawanya.“Maaf Pak Raga, Bu Zea, ada surat panggilan untuk kalian,” ucapnya dengan wajah serius seperti biasanya.“Surat?!” Arvan mengangguk. Mas Raga buru-buru berdiri dan mengambil alih kertas berwarna krem itu, untuk kemudian dibacanya.Melebarkan mata, pria itu melirik ke arahku. Meski pandangannya tidak terlalu garang, jelas dia terkejut dan tak bisa menutupi wajah gelisahnya.“Surat dari mana itu, Mas?!” Kuambil lembaran putih itu setelah menghidangkan minuman di atas meja, kemudian membacanya dengan cepat. Rupanya itu surat panggilan dari perusahaan maskapai yang kini menaungi suamiku.“Kita diminta datang ke kantor siang ini,” ucapnya dengan desahan, demi melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak.“Oke, aku pasti akan datang,” sahutku tenang.Aku pergi ke dapur meninggalkan mereka. Aku yakin lambat laun hal ini akan terjadi juga. Sebelumnya sempat kudengar kabar tentang teman Mas Raga yang juga kedapatan berselingkuh bahkan sampai nikah siri. Mereka pun dipanggil ke kantor tempat mereka bekerja, untuk kemudian ditindaklanjuti dan menerima sanksi yang harus diterima oleh para pelaku yang dinilai telah mencoreng nama baik perusahaan.“Permisi, Pa, Ma.” Mas Raga menyusul ke dapur dan menutup pintu dengan cepat. Dia mendorongku hingga punggungku terantuk sink kitchen.“Apa-apaan ini, Mas?! Kau mau berbuat kasar padaku di belakang orang tuaku?!”“Kau lihat, baru dua hari kamu melakukan hal ini, orang-orang langsung menanggapinya. Apa kau tidak bayangkan apa yang akan atasan lakukan padaku nanti, ha! Mereka marah karena aku memikul tanggung jawab yang besar dan membawa nama-nama perusahaan!!”“Dan kau masih menyalahkan aku. Begitu maksudmu?!”“Memangnya siapa lagi yang harus ‘ku salahkan?! Tentu saja kamu lah. kalau saja kamu tidak menyebarkan semuanya, hal ini tidak akan terjadi,” tudingnya.Mas Raga bicara dengan pikiran gusar. Aku mencebik, menatap dengan pandangan paling menyedihkan. “Semuanya tidak akan terjadi kalau kau tidak berbuat zina lebih dulu!”“Diam, jangan terus-terusan mengungkit apa yang sudah aku lakukan?!” sentaknya kasar.Kutatap pria itu dengan pandangan tajam. “Apa kamu tidak berpikir kalau ini adalah benih yang kau tanam, hm?! Aku hanya membantu menyebarkannya saja dan kau yang harus merasakan buah akibat dari perbuatanmu sendiri!!”“Zea, kau masih tidak sadar juga atas semua kesalahanmu ini?!” geramnya sambil meremas bahu, sakit. Bisa kupastikan dia kesal karena aku terus-terusan mematahkan argumennya.Aku mendorong dadanya membuat Mas Raga agak mundur ke belakang.“Yang tidak sadar di sini, aku atau kau sebenarnya, Mas?! Ini adalah buah kesalahan yang kau lakukan. Jadi jangan coba-coba bermain api kalau kau tidak ingin terbakar sendiri. Dan setelah kau terbakar, kenapa kau menyalahkan orang lain yang ada di sekitarmu, hm?! Terima saja dan hadapi kenyataan kalau kau sudah hancur sekarang!! Aku yakin surat panggilan itu untuk mengesahkan pemecatanmu dari kantor secara tidak hormat.”“Sial4n!!” Mas Raga kalap. Aku hendak berbalik meninggalkan pria itu. Percuma bicara dengan Mas Raga. Pria itu tidak sadar dan tidak menyesali tindakan yang sudah dia lakukan, yang bisanya hanya menyalahkan orang lain saja. Ck! Dasar pria egois. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab.Mas Raga menahan dan meremas bahuku dengan cepat, lalu berbisik di telinga.“Dengar Zea, kalaupun aku dipecat, aku tidak akan pernah melepaskanmu begitu saja, karena semuanya bermula darimu. Ingat itu baik-baik. Kalau perlu, aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang, apalagi lepas dariku dan anak-anak. Camkan itu baik-baik!!” ancam pria itu sambil menyenggol bahu dan meninggalkanku untuk kemudian membanting pintu. Aku yang limbung terkejut dengan tingkahnya yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Aku bahkan tidak menemukan kelembutan dari sikap dan perangainya.Ya Tuhan, aku semakin tidak mengenal suamiku sendiri.Papa dan Mama berjengit kaget mendengar pintu yang ditutup kasar oleh Mas Raga. Keduanya menatap pria yang berlalu dengan amarah di wajahnya. Mas Raga tidak memiliki pakaian lagi di rumah ini. Semuanya kukirimkan tanpa sisa. Biar si Sheva yang mengurusnya mulai sekarang.Mau tak mau pria itu keluar dari rumah. Tapi baru sampai di ambang pintu, ponselnya tiba-tiba berdering.Gegas dia melihat layar ponsel miliknya untuk kemudian mendekatkan ke telinga. Hanya beberapa detik setelahnya, terlihat wajah itu semakin nyalang berbalik menatapku dari kejauhan.“Tunggu aku di luar,” ungkapnya entah pada siapa sambil berjalan cepat. Penasaran, aku memburu ke arah pintu dan mendapati tontonan yang cukup menarik.Gundik itu ada di sana. Dia semakin berani menampakan dirinya di lingkungan rumahku. “Dia pasti yang melakukannya. Dia ingin mengusirmu dari rumahmu sendiri, Mas. Apa kau akan membiarkan barang-barangmu menumpuk di teras rumahku?!” tunjuk Sheva ke arahku.“Tenang, She. Jangan bikin ker
“Cukup, She. Tidak usah menambah perkara. Kita sudah mendapatkan hukumannya, sebaiknya tak perlu berdebat lagi. Ayo kita pergi dari sini,” ajaknya pada si gundik sambil menarik tangannya.“Jangan lupa beli kondom, atau kalau tidak kau akan bunting sebelum dinikahi!” Aku berseru pada pasangan yang langsung menahan langkah, untuk kemudian berbalik dengan pandangan nyalang. “Kau lihat ‘kan Mas, bagaimana mulut berdurinya itu terus-terusan menghina kita!! Dan kau masih membiarkan wanita itu menghinaku tanpa berbuat apa-apa!!” “Zea akan terus berbicara, baik kita ladeni atau kita abaikan. Jadi, tak usah pedulikan dia. Ayo pergi.” Kali ini Mas Raga bahkan sampai melingkarkan tangan di bahu wanita itu. Aku memejamkan mata sekilas, merasakan nyeri yang bertubi-tubi dalam dada. Bohong jika aku merelakan mereka. Nyatanya melihat mereka bermesraan saja, hatiku yang sedang terluka seperti berkali-kali disiram air garam saking perihnya.***
“Ya ampun, Mama tidak habis pikir kalau mereka akan secepat ini go publik. Bener-bener nggak tahu malu. Mama kira si Raga nyesel setelah kamu permalukan. Ternyata malah sebaliknya.” Mama terus menggerutu seiring mobil yang melaju untuk membawa kami pulang. Papa yang menyetir tak banyak bicara. Tapi jelas ikut menyesalkan kelakuan Mas Raga juga.“Ya udahlah, Ma. Mau bagaimana lagi. Biasanya ‘kan bukan hanya makan malam, bahkan lebih dari itu pun mereka sanggup,” timpalku menegaskan fakta tentang mereka pada mama.Mama mengangguk lagi,” iya sih, kalau udah gini Mama mendukungmu untuk mengajukan gugatan perceraian. Mama nggak mau punya menantu seorang pezina, terlebih dia tidak memiliki rasa malu dan tidak punya rasa bersalah sedikitpun pada kamu dan anak-anakmu.”Benar kata Mama. Setelah mendapat dukungan dari keduanya tekadku semakin bulat untuk mengakhiri semua, lagi pula kesabaran yang kubangun selama ini sudah terkikis habis pada Mas Raga yang
“Oh, jadi kamu benar-benar tidak sadar bagaimana dan apa kekuranganmu di mataku?” Mas Raga tersenyum meledek.“Katakan saja meskipun itu menyakitkan! Itu lebih baik daripada kau terus-terusan menghianatiku tanpa tahu dimana letak kesalahanku!!” tantangku tak peduli seandainya Mas Raga membeberkan keburukan. Itu akan jadi pertimbangan dan menyadari kekuranganku di matanya. Mungkin itu juga alasan yang membuat dia berulang kali berpaling pada wanita lain.“Oke, mungkin kamu merasa bangga sudah menjadi istri yang baik untukku, ibu yang baik untuk anak-anak kita, tanpa pernah kamu memikirkan penampilanmu dan kamu tidak bisa menyenangkan aku sebagai suamimu. Apa kamu tidak sadar bagaimana keadaanmu selama ini yang bisanya hanya—”Ucapan pria itu menggantung. Mas Raga berulang kali meremas kepalanya yang mungkin terasa berat.“Hanya apa? Katakan dengan jelas agar aku tahu kekuranganku dimana?!” desakku tak tahan. Ini harus segera diakhiri a
Afni dan Dika melambaikan tangan begitu melihatku duduk berdampingan dengan Arvan. “Om Arvan, Mama …!” panggilnya.Arvan ikut melambai. Pria itu lebih dekat dengan anak-anak pasca Mas Raga meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ayah dan menyuruh Arvan jadi pelindung keduanya. Entahlah, setelah ini akankah Mas Raga menarik Arvan dan memecatnya perihal amarahnya terhadapku. Aku tak tahu. Tapi aku tahu pria egois itu tak mau rugi mengingat semuanya dia yang membayar dan Arvan mendapat gaji juga darinya.“Mereka ceria sekali, ya, Arv. Rasanya aku iri dengan kebahagiaan mereka. Bisa tertawa lepas tanpa beban dan penuh keceriaan.”Arvan mengangguk singkat. Tatapannya jatuh pada mereka yang sedang aktif-aktifnya bermain.“Saya harap Bu Zea juga akan begitu suatu hari nanti. Setelah melepas beban, masa depan cerah akan Ibu gapai. Percayalah, jika kita melepaskan sesuatu yang berat, kita akan mendapatkan sesuatu yang baru juga.”“Ya, semoga saja.”“Mama, aku lapar.” Afni dan adiknya m
Kugeser sembarang pakaian ke tepian ranjang. Mencari tempat yang nyaman untuk istirahat. Aku tidak boleh terpancing emosi. Terus-terusan bertengkar dengan pria itu, hanya akan merugikan diriku sendiri dan membuatku lelah jiwa raga. ‘Ku ambil ponsel untuk menghubungi Wike dan menceritakan semuanya. Wanita itu menghela nafas sebelum akhirnya memberi saran padaku.“Untuk sementara, biarkan saja dulu. Daripada Raga melakukan sesuatu yang brutal terhadapmu, seperti ancaman yang kamu ceritakan barusan, takutnya dia berbuat nekat dan membawa dua anakmu pergi bersama dengan selingkuhannya.”“Kamu benar, Wi. Tapi aku harus bagaimana? Aku tidak sudi tinggal satu atap dengan mereka, bahkan membayangkan terakhir kali mereka bergumul di atas tempat tidur saja kepalaku rasanya mau pecah,” aduku pada wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu.“Kuncinya adalah sabar, Zea. Aku tahu kamu wanita yang kuat. Aku juga ada kabar baik untukmu. Aku sudah mengajukan gugatan perceraianmu ke pengadilan dan
“Kenapa ngomongnya bisik-bisik begitu. Kamu mau ngomong apa memangnya?” Mas Raga mengernyitkan kening. Seolah-olah tidak ada masalah di antara kami. Entah kalau otaknya tiba-tiba minus setelah berulang kali selingkuh.“Kecilkan volume tv-nya,” ucapku. Dia langsung menurutinya.“Sudah, kamu mau apa sekarang? Jangan bilang ini tentang kehadiran Sheva di rumah ini. Walau kamu menolak, Mas tetap tidak mengizinkan dia keluar dari rumah ini,” jelasnya terdengar egois.“Kenapa kamu memecat para ART? Kenapa kamu membawa gundik itu kemari dan tidak ke apartemen saja, misalnya? Dan kenapa kamu mengobrak-abrik kamarku, bukankah semuanya harus kamu jelaskan, Mas? Dan ya, dia tidak memiliki hak di rumah ini. Tolong mengertilah, jangan terus-terusan menginjak harga diriku. Setidaknya setelah apa yang kalian lakukan, tolong biarkan aku tenang di rumahku sendiri.” Aku mengatupkan tangan didepan dada berharap dia mengerti. Tapi sepertinya tidak. Dia tetap kekeh dengan keputusannya.“Jadi itu yang kam
Mas Raga meringis kesakitan saat bapaknya terus-terusan memukulnya dengan tas gendong yang dibawanya. Ibu tirinya sesekali mencegah tapi tidak dipedulikan.“Pak sudah, kasihan Raga.”“Udah Ibu diam saja, dia pantas diberi pelajaran!”Sekarang pria itu persis seperti seorang pencuri yang ketahuan mengambil barang, kemudian dipukuli membabi buta. Ibu mertua memang sudah meninggal. Mas Raga punya ibu tiri dan bapaknya tinggal jauh di kota Solo. Bahkan saat mantan istrinya itu wafat, keduanya belum sempat hadir di sana.“Aduh, aw … Ampun, Pak. Tolong hentikan!” Mas Raga terus mengaduh. Tapi tidak berusaha menghindar. Dia menutupi wajahnya dengan tangan membiarkan pria itu memukuli sampai ampun-ampunan.“Anak tidak tahu diuntung! Berani ya, kamu berselingkuh di belakang istrimu!”“Iya, Pak. Raga salah. Tapi tolong hentikan. Stop!” pintanya memohon. Dia terus meringis kesakitan. Lengannya bahkan sudah merah karena terus-terusan dipukuli.“Sudah, Pak. Tahan dulu emosinya. Tuh lihat siap
Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins
Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat
“Arvan, apa-apaan kamu? Apa yang kamu lakukan pada Ezra?!” Tiba-tiba Bu Widya keluar dari kamar tempat Zea dirawat dan memburu pria itu, lalu membantu membangunkannya. “Ezra, kamu nggak apa-apa? Bibirmu berdarah itu,” ujarnya panik dan kesal padaku.“Saya nggak apa-apa, Tante.” Ezra menatap tajam tapi tak kupedulikan. Awas saja kalau bertemu di luaran sana, akan kupatahkan lehernya jika dia berani mengusikku.“Ampun ya, kamu Arvan. Bisa-bisanya kamu bertingkah kasar di rumah sakit. Heuh, sudah kayak preman saja!”Ezra tersenyum sinis karena dibela seperti memiliki seorang dewi penolong. Dia merasa di atas angin saat Bu Widya membawa pria itu masuk ke dalam ruangan. Terlihat tatapan meremehkan darinya yang ditujukan padaku.Sejak kapan pria itu dekat dengan Bu Widya, padahal dengan Zea saja bahkan baru bertemu beberapa kali saat di mall dan mampir ke rumahnya. Selebihnya aku jelas tahu kalau Ezra tidak dekat dengan wanita itu.“Arvan, bisa kita bicara sebentar?” tanya Pak Budi keluar
POV Arvanda Pradipta Ponsel yang berdering membuatku terpaksa menepikan kendaraan di bahu jalan. Doni—pria yang kusuruh untuk menjaga Zea dan dua anaknya, menghubungi.Tak biasanya dia nyepam sampai lima kali panggilan. Doni hafal sifatku. Jika tak diangkat, artinya aku sedang sibuk dan akan menghubungi kembali nanti.Dan sekarang, otakku dipenuhi rasa gelisah dan prasangka.“Ada apa, Don?” Langsung kutanya pria itu tanpa peduli.“Van, kayaknya lo harus balik lagi ke sini. Zea masuk rumah sakit!” ujarnya terdengar panik disusul suara sirine dari ambulan yang terdengar getir di telinga.“Katakan yang jelas, ada apa?! Apa terjadi sesuatu sama Zea?!” Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Apalagi terdengar suara beberapa orang di belakang pria itu.“Zea ditusuk oleh seseorang. Sorry, Van. Aku ‘gak nyangka bakal kejadian kayak gini!”“Shitt!!” Aku mengumpat tak sadar sambil memukul setir. Tak menduga akan kecolongan seperti ini. Padahal Doni sudah aku wanti-wanti untuk menjaga ca
Tunggu, apa maksudnya?Apa Arvan sering membicarakanku pada orang tuanya. Tapi sejak kapan? Dan apa saja yang dia katakan.Aku masih bertarung dengan pikiranku sendiri, saat pria itu bertambah garang dan menatapku tajam.“Suruh dia pergi dari sini, atau bapak sendiri yang akan menyeretnya keluar!” usirnya tanpa rasa kemanusiaan.Aku terkejut, begitupun Afni dan Dika. Keduanya merapatkan badan dengan gemetar.“Ma, aku takut,” cicit Dika.“Ma, ayo kita pulang.” Afni ikut merengek tak bisa kutenangkan. Jujur aku tak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini.“Pak, sabar dulu. Kenapa mesti ngomong seperti itu? Zea dan anak-anaknya adalah tamu kita. Rasanya tidak pantas Bapak bicara seperti itu.” Wanita yang sepertinya ibunya Arvan berdiri dan mendekati pria yang menatap dingin tersebut. Afni dan Dika juga seketika mengatupkan bibir, mungkin takut dengan cara pandangnya saat melihatku.“Ibu diam saja, biar Bapak sendiri yang ngomong pada anak itu. Apa dia tak sadar dengan apa
“Zea? Ada apa, dan kenapa kamu pulang lagi?”Karena pikiranku yang kacau, aku tidak sadar kalau ternyata Arvan sudah ada di rumah bersama Dika. Anak itu sudah tampan dengan rambutnya yang terlihat basah. Arvan juga tengah menyuapinya makan. Di tangan pria itu, Dika tampak lebih ceria.“Ze, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu dan Afni baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya terdengar khawatir.Aku menggeleng lemah dan mendekat padanya. Tak peduli apapun, aku menjatuhkan badan ke pelukan pria itu yang sigap menyambut dengan penuh tanya.Cukup lama kami berpelukan. Bahkan dapat kudengar suara jantungnya yang bertalu. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan nyaman seperti ini. Dan di pelukan Arvan, sesaat aku merasa tenang.Aku melepas pelukan dan mendesah berat, masih tak berani menatap wajahnya.“Maaf, dan … makasih.”“Ceritakan apa yang terjadi sampai-sampai membuatmu gelisah seperti ini? Apa ada seseorang yang menyakitimu, atau kamu bertemu dengan Sheva, atau bahkan Pak Raga mungki
Dua hari kemudian, Afni tampak cantik setelah memakai seragam baru. Hari ini aku akan mengantarnya ke taman kanak-kanak. Afni mulai bersekolah sekarang, itu pun setelah tak bosan-bosannya kubujuk. Awalnya, dia masih mau main di rumah dan belum mau masuk TK. Akhirnya setelah perjuangan dan sedikit drama, dia mau menuruti permintaanku dan Arvan untuk masuk pra sekolah.“Ayo kita berangkat sekarang, nanti telat masuk kelas,” ajakku sambil menggamit lengannya. Afni terlihat riang dan sesekali bersenandung. Lagu ‘balonku ada lima’ jadi pilihannya.Saat hendak membuka pintu mobil, aku terkejut melihat di dekat gerbang, Mas Raga menunggu di sana dengan senyum manisnya.“Ma, itu Papa. Aku mau berangkatnya bareng Papa aja,” ujar Afni berseru.Sebelum aku merespon, Afni sudah berlari-lari mendekati pria itu. Mas Raga segera memangku, mencium rambut dan mengajaknya duduk di kursi depan mobilnya. Aku yang melihatnya bahkan sampai melongo.Apa-apaan pria itu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada d
“Halo, Arvan?” sapaku begitu panggilan tersambung.“Ada apa Bu Zea? Kangen, ya,” canda pria itu dengan suara lembutnya di ujung telepon. Aku menggigit ujung jari, bingung harus mulai dari mana.“Bu Zea, kenapa diam saja? Kalau kangen ya, bilang aja kangen. Gak usah malu-malu kayak gitu. Lagian bentar lagi ‘kan kita nikah,” godanya lagi membuatku semakin tak enak hati. Bagaimana tanggapannya kalau dia tahu Mas Raga ada di sini.“Arvan, ada papanya anak-anak di sini, dan—”“Oh, apa dia membuat masalah? Apa perlu aku pulang sekarang?” potong Arvan dengan cepat. Pria itu sangat mengkhawatiranku yang tidak siap bertemu dengan mantan suami. Tapi bibirku seakan kelu untuk bicara padanya. Entah bagaimana caranya meminta izin.“Kenapa Bu, apa ada masalah?” tanya Arvan lagi di ujung telepon, seperti tidak sabar ingin mendengar alasanku menghubunginya.“Itu … anak-anak katanya ingin jalan-jalan dengan papanya, dan Mas Raga memintaku untuk pergi. Aku butuh izinmu, Arvan. Itupun kalau kamu tid
“Katakan dengan jujur atau aku akan menghabisimu sekarang!” ancamku tak main-main. Bayangan ketakutan mantan istri dan dua anakku menari di kepala, membuatku kehilangan akal dan bergelung amarah pada Sheva. Memangnya kalau bukan dia pelakunya, lantas siapa lagi yang mesti aku curigai? Wanita itu meneguk ludah dengan kasar. Matanya bergerak-gerak mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku. Dari gerak geriknya saja, aku sudah mengetahui kalau dialah si biang masalah.Wanita licik ini tidak cukup mengambilku dari keluargaku sendiri, dia dengan teganya berbuat zalim di belakang mereka. Meski perbuatanku sendiri tidak dapat dibenarkan, tapi dia lebih keterlaluan padahal Zea tidak melakukan apa-apa padanya.“Heh, kau tidak memiliki jawaban, ‘kan? Itu karena memang benar kalau kaulah pelakunya. Tapi ingat Sheva, sekali lagi kau meneror mereka maka kau akan berhadapan denganku!” Kuhempaskan rahang wanita itu hingga dia tersungkur ke lantai.Sebelum pergi, aku menyambar kunci yang teronggo