“Ada apa, Arvan?!” tanyaku sambil menenangkan anak-anak yang juga ikut terkejut setelah mobil tiba-tiba berhenti.
“Seseorang menikung dan menghalangi jalan. Dan saya sepertinya tahu mobil siapa itu,” jawabnya dengan wajah dingin.“Tunggu sebentar, Bu.” Gegas pria itu keluar dan menutup pintu.Aku menelisik melihat wanita yang turun dari mobilnya sendiri. Di sana wanita itu menatap kesal. Sheva.Penampilannya begitu cetar khas seorang pelakor. Rok span warna putih dengan paha yang terekspos, belum lagi dadanya yang terlihat menyembul besar. Pantas Mas Raga begitu tergila-gila dengan pesonanya. Mirisnya dia hanya bisa berzina bukan diperistri secara resmi.Wanita itu berkacak pinggang dan berseru ke arah Arvan. Terjadi perdebatan sengit setelahnya. Sheva sampai menunjuk wajah Arvan. Dasar tidak sopan.“Kalian tunggu di sini bareng Mbak, ya. Mama mau ke luar dulu.” Afni dan Dika yang tidak tahu apa-apa itu langsung menurut.Aku membuka pintu mobil dengan cepat untuk menghampiri keduanya. Hampir saja Sheva melayangkan tangan ke wajah Arvan andai aku tidak segera menghampiri.“Ada apa ini? Dan apa yang kau lakukan pada bodyguardku!” tanyaku sengit.“Oh, akhirnya kamu turun juga. Dengar Zea, jangan salahkan aku melakukan hal ini. Bodyguard sial⁴nmu itu berusaha melindungimu dan tidak mengizinkan aku untuk bertemu denganmu. Dan kau Zea, setelah apa yang kau lakukan pada kami, kau akan lepas tangan dan kabur begitu saja tanpa mempertanggungjawabkan semuanya, hah? Dasar perempuan licik!!” hardiknya kasar.Aku tidak takut melihat wanita penuh emosi di depanku itu. Senyum sinis kulayangkan kemudian.“Memangnya apalagi yang harus kulakukan?! Tugasku sudah selesai, biarkan netizen dan masyarakat luas yang menilai kelakuanmu dan suamiku. Itu sudah cukup bagiku.”“Brengs³k kau, Zea!!” Sheva hendak menamparku tapi Arvan buru-buru menghalau.“Cukup, Bu Sheva. Jangan bertindak anarkis atau Ibu akan berurusan dengan hukum!”Pria itu menjadi tameng untukku dan menahan tangan wanita murahan itu untuk kemudian menepisnya dengan kasar.Sheva limbung dan mundur beberapa langkah ke belakang. Wanita itu mendesis dengan mulut penuh sumpah serapah.“Dasar bodyguard sial⁴n. Jangan ikut campur urusanku!! Apa kau tidak malu menganiaya seorang wanita untuk melindungi wanita tidak tahu diri itu?!” hardiknya pada Arvan. Pria dengan tubuh berotot itu terus menghalangi Sheva yang ingin melampiaskan amarahnya padaku.“Aku dibayar untuk melindungi Bu Zea dan anak-anaknya, jadi jangan pernah coba-coba untuk menyakitinya atau kau akan berhadapan denganku!!” ancam Arvan.Arvan melirik kepadaku kemudian mempersilahkan untuk masuk ke dalam mobil, sementara Sheva yang aksinya dihalangi oleh Arvan tak berkutik dan hanya menyumpah serapah.Aku tidak peduli dan aku juga tidak terlalu puas barusan, karena aku tidak berhasil melayangkan kata-kata dari mulutku padanya.Aku menahan diri hanya karena tidak ingin Afni dan Dika melihat pertengkaran antara aku dan Sheva; yang mereka tahu dia adalah teman papanya dan cukup sering berkunjung ke rumah.Ya, dulu kami memang sedekat Itu. Sheva mengatakan kalau dia berteman dengan suamiku sejak masa SMA, makanya tak heran jika wanita itu beberapa kali datang ke rumah dengan alasan mengantar makanan atau sekedar menjenguk, jika suami tidak ada kesibukan dengan jadwal terbangnya.Siapa yang menyangka itu hanya kodok dan akal-akalan wanita itu semata untuk mendekati suamiku.Mirisnya, aku menganggap semuanya akan berlalu begitu saja dan berulang kali memaafkan Mas Raga yang ternyata buaya.*Kendaraan kembali melaju setelah Arvan masuk kembali ke dalam mobil. Mau tak mau mobil mewah pemberian dari suami ini menyenggol body mobil milik Sheva yang menghalangi jalan.Wanita itu berkali-kali mengumpat apalagi melihat bemper mobilnya yang sedikit penyok.Uang tak masalah jika dia meminta tanggung jawab, tapi harga diri dan pernikahanku hancur olehnya pantas diperhitungkan.“Kita ‘kan harusnya langsung pulang ke rumah. Kenapa malah berbelok ke tempat lain?!” tanyaku heran.Kulihat dari kaca spion tengah Arvan menarik sudut bibir.“Maaf Bu Zea, anak-anak sepertinya sedikit syok dan butuh hiburan. Kita mampir ke taman hiburan, lagipula Bu Zea sudah janji akan membawa mereka jalan-jalan minggu lalu dan sampai sekarang belum ditepati,” balasnya santai.“Oh, benarkah?” tanyaku sambil memijat pelipis. Banyak hal yang terjadi dan membuatku lupa akan janji- janjiku pada anak-anak.Arvan mengangguk dan membelokkan kendaraan ke taman hiburan terbesar di ibukota.Dulu Mas Raga tiba-tiba membawa Arvan ke rumah dengan dalih dia membutuhkan pekerjaan, setelah dipecat dari angkatan laut karena mengabaikan satu perintah dan kasus tertentu. Tak kusangka belakangan Arvan banyak berperan dalam kehidupanku. Terbukti dia menjagaku dan dua anakku atas perintah dari suami.Sekarang baru ‘ku tahu alasannya. Ternyata itu bukan bentuk kepedulian Mas Raga, tapi agar pria itu bebas dan memiliki waktu lebih banyak untuk gundiknya, sementara perannya diserahkan kepada orang lain.Setelah memesan tiket, anak-anak tampak ceria ketika diajak jalan-jalan. Tangan keduanya memegang tangan Arvan, sementara aku dan baby sitter mengekor di belakangnya. Arvan sudah sejauh ini memberi perhatian untuk anak-anak yang tidak mereka dapatkan dari papanya.Arvan mengajak anak-anak berfoto dengan burung-burung. Kami berada di kawasan Ragunan sekarang. Aku memilih duduk sambil membuka ponsel. Setelah memasang mode hening, ribuan notifikasi masuk setelahnya, disusul dengan belasan telepon masuk.Papa dan Mama juga turut menghubungi, tapi masih juga kuabaikan. Untuk apa, biarkan saja nanti aku menjelaskannya setelah tenang karena aku yakin mereka juga terkejut atas tindakanku kali ini.Penasaran, akan membuka pesan dari Sheva. Setelah tidak berhasil melakukan tindak kekerasan tadi, rupanya wanita itu masih belum jera. Terbukti dengan belasan chat dan umpatan masuk ke aplikasi hijau.Tak berniat membacanya sama sekali, kupilih untuk menscreenshot, kemudian menyebarkannya kembali ke media sosial. Biar mereka yang menilainya sendiri, bagaimana pramugari yang terlihat anggun saat melayani penumpang itu, begitu kasar dalam mencaci maki istri sah dari kekasih gelapnya. Ratusan notif kembali masuk dari orang-orang yang geram dengan kelakuan wanita itu.Rasakan Sheva, aku yakin sekarang kau akan jadi bulan-bulanan mereka. Tanpa harus turun tangan, hujatan mereka sudah mewakili. Dan percayalah sanksi sosial itu lebih mengerikan daripada kulawan sendirian.(Zea, kenapa kau malah menyebarkannya kembali, hah! Dasar perempuan tidak tahu diri!!)Sheva kembali melayangkan pesan setelah beberapa saat lalu kuunggah umpatan darinya.Sepertinya wanita itu juga penasaran dan mengikuti akun media sosialku, untuk kemudian berkomentar secara pribadi setelah merasa geram dengan tindakanku kali ini.(Silahkan saja mengumpat dan berkata kasar, maka dengan begitu semakin mudah bagiku untuk mengenalkanmu pada media sosial. Terima kasih sudah berselingkuh dengan suamiku, maka setelah ini kupastikan dia akan menjadi milikmu seutuhnya.)Klik. Send.Tentu saja pesan itu bukan kutujukan untuk membalas chat kasar dari Sheva, melainkan kujadikan unggahan dengan setting publik, hingga tiap orang yang membuka jejaring media sosial bisa melihat bahasa kasarnya.Setelahnya aku memilih nonaktifkan ponsel agar hati dan pikiranku lebih tenang. Fokusku kembali kepada anak-anak yang berteriak memanggil untuk mengajakku berfoto. Gegas akan mengajak Mbak Dina untuk ikut serta, mengabadikan kenang-kenangan dalam sebuah foto cetak dadakan.“Ini Mbak Zea yang lagi viral di tik tok itu, ya?!” tanya seseorang membuatku menoleh.Bukan hanya seorang, tapi beberapa orang tampak mendekat dan penasaran, disusul yang lainnya mengambil ponsel untuk kemudian memotretku setelah meminta izin terlebih dahulu.“Iya bener, ini ‘kan Mbak Zea yang beberapa jam lalu mengunggah perselingkuhan suaminya,” sambut yang lainnya. Antusias.“Dih, kok tega ya, cewek secantik gini masa diselingkuhi?! Mbak Zea yang sabar ya, Mbak terlalu cantik untuk disia-siakan.”Berbagai reaksi masuk ke dalam telinga dari orang-orang yang tidak kukenal, tapi jelas mereka tiba-tiba mengenalku. Ah, memang media sosial mampu membuat seseorang yang bukan siapa-siapa menjadi orang yang patut untuk dibicarakan. Aku hanya berterima kasih atas perhatian mereka dan memilih pergi setelahnya.***Kembali ke rumah setelah puas menyenangkan dua anakku, aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang sudah menunggu dengan raut wajah … entah."Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara begitu kusalami keduanya.“Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku.Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum yang disediakan oleh ART.Afni dan Dika sepertinya bahagia atas kedatangan nenek dan kakeknya. Mereka pun bersenda gurau dan bercengkrama.“Sebelum ke sini kami silaturahmi ke kediaman mertuamu. Mereka sepertinya marah
“Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba, itu jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung atas tindakan yang aku lakukan.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara. Rupanya beliau tidak sabar begitu kusalami keduanya."iya, Ma." Aku pasrah karena sadar semuanya tak bisa ditutup-tutupi lagi. “Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku."Oh ya, udah, deh."Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat. Sepertinya mereka juga kangen pada nenek dan kakeknya.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum ya
“Papa, Mama, kapan kalian datang?!” Mas Raga bertanya yang kutahu hanya basa-basi.“Kenapa memangnya kalau kami datang. Apa kamu keberatan dengan kehadiran kami di rumah ini?!”Mas Raga buru-buru menggeleng. Wajahnya diliputi dengan keterkejutan, “bu-bukan begitu maksudku, Pa.”“Kami tidak tahu kalau seperti itu bahasamu kepada putri kami, Raga. Setelah dulu kau memintanya baik-baik untuk meminang putriku dan berjanji akan menemaninya dalam suka duka dan berjanji akan membahagiakannya, sekarang selain berkata keras di depan wajah istri dan anak-anakmu, kau juga berani mengkhianati dan menduakannya. Bahkan ternyata hubunganmu dengan wanita itu sudah selayaknya pasangan suami istri. Ck, kami benar-benar kecewa padamu. Apa kamu tidak sadar, kami membesarkan Zea untuk hidup bahagia bukan untuk disakiti apalagi disia-siakan seperti ini.” Papa bicara panjang lebar dengan rahang mengeras. Mas Raga yang tidak berkutik malah menggeleng berkali-kali.“Aku minta maaf, Pa,” ucapnya sambil menundu
Papa dan Mama berjengit kaget mendengar pintu yang ditutup kasar oleh Mas Raga. Keduanya menatap pria yang berlalu dengan amarah di wajahnya. Mas Raga tidak memiliki pakaian lagi di rumah ini. Semuanya kukirimkan tanpa sisa. Biar si Sheva yang mengurusnya mulai sekarang.Mau tak mau pria itu keluar dari rumah. Tapi baru sampai di ambang pintu, ponselnya tiba-tiba berdering.Gegas dia melihat layar ponsel miliknya untuk kemudian mendekatkan ke telinga. Hanya beberapa detik setelahnya, terlihat wajah itu semakin nyalang berbalik menatapku dari kejauhan.“Tunggu aku di luar,” ungkapnya entah pada siapa sambil berjalan cepat. Penasaran, aku memburu ke arah pintu dan mendapati tontonan yang cukup menarik.Gundik itu ada di sana. Dia semakin berani menampakan dirinya di lingkungan rumahku. “Dia pasti yang melakukannya. Dia ingin mengusirmu dari rumahmu sendiri, Mas. Apa kau akan membiarkan barang-barangmu menumpuk di teras rumahku?!” tunjuk Sheva ke arahku.“Tenang, She. Jangan bikin ker
“Cukup, She. Tidak usah menambah perkara. Kita sudah mendapatkan hukumannya, sebaiknya tak perlu berdebat lagi. Ayo kita pergi dari sini,” ajaknya pada si gundik sambil menarik tangannya.“Jangan lupa beli kondom, atau kalau tidak kau akan bunting sebelum dinikahi!” Aku berseru pada pasangan yang langsung menahan langkah, untuk kemudian berbalik dengan pandangan nyalang. “Kau lihat ‘kan Mas, bagaimana mulut berdurinya itu terus-terusan menghina kita!! Dan kau masih membiarkan wanita itu menghinaku tanpa berbuat apa-apa!!” “Zea akan terus berbicara, baik kita ladeni atau kita abaikan. Jadi, tak usah pedulikan dia. Ayo pergi.” Kali ini Mas Raga bahkan sampai melingkarkan tangan di bahu wanita itu. Aku memejamkan mata sekilas, merasakan nyeri yang bertubi-tubi dalam dada. Bohong jika aku merelakan mereka. Nyatanya melihat mereka bermesraan saja, hatiku yang sedang terluka seperti berkali-kali disiram air garam saking perihnya.***
“Ya ampun, Mama tidak habis pikir kalau mereka akan secepat ini go publik. Bener-bener nggak tahu malu. Mama kira si Raga nyesel setelah kamu permalukan. Ternyata malah sebaliknya.” Mama terus menggerutu seiring mobil yang melaju untuk membawa kami pulang. Papa yang menyetir tak banyak bicara. Tapi jelas ikut menyesalkan kelakuan Mas Raga juga.“Ya udahlah, Ma. Mau bagaimana lagi. Biasanya ‘kan bukan hanya makan malam, bahkan lebih dari itu pun mereka sanggup,” timpalku menegaskan fakta tentang mereka pada mama.Mama mengangguk lagi,” iya sih, kalau udah gini Mama mendukungmu untuk mengajukan gugatan perceraian. Mama nggak mau punya menantu seorang pezina, terlebih dia tidak memiliki rasa malu dan tidak punya rasa bersalah sedikitpun pada kamu dan anak-anakmu.”Benar kata Mama. Setelah mendapat dukungan dari keduanya tekadku semakin bulat untuk mengakhiri semua, lagi pula kesabaran yang kubangun selama ini sudah terkikis habis pada Mas Raga yang
“Oh, jadi kamu benar-benar tidak sadar bagaimana dan apa kekuranganmu di mataku?” Mas Raga tersenyum meledek.“Katakan saja meskipun itu menyakitkan! Itu lebih baik daripada kau terus-terusan menghianatiku tanpa tahu dimana letak kesalahanku!!” tantangku tak peduli seandainya Mas Raga membeberkan keburukan. Itu akan jadi pertimbangan dan menyadari kekuranganku di matanya. Mungkin itu juga alasan yang membuat dia berulang kali berpaling pada wanita lain.“Oke, mungkin kamu merasa bangga sudah menjadi istri yang baik untukku, ibu yang baik untuk anak-anak kita, tanpa pernah kamu memikirkan penampilanmu dan kamu tidak bisa menyenangkan aku sebagai suamimu. Apa kamu tidak sadar bagaimana keadaanmu selama ini yang bisanya hanya—”Ucapan pria itu menggantung. Mas Raga berulang kali meremas kepalanya yang mungkin terasa berat.“Hanya apa? Katakan dengan jelas agar aku tahu kekuranganku dimana?!” desakku tak tahan. Ini harus segera diakhiri a
Afni dan Dika melambaikan tangan begitu melihatku duduk berdampingan dengan Arvan. “Om Arvan, Mama …!” panggilnya.Arvan ikut melambai. Pria itu lebih dekat dengan anak-anak pasca Mas Raga meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ayah dan menyuruh Arvan jadi pelindung keduanya. Entahlah, setelah ini akankah Mas Raga menarik Arvan dan memecatnya perihal amarahnya terhadapku. Aku tak tahu. Tapi aku tahu pria egois itu tak mau rugi mengingat semuanya dia yang membayar dan Arvan mendapat gaji juga darinya.“Mereka ceria sekali, ya, Arv. Rasanya aku iri dengan kebahagiaan mereka. Bisa tertawa lepas tanpa beban dan penuh keceriaan.”Arvan mengangguk singkat. Tatapannya jatuh pada mereka yang sedang aktif-aktifnya bermain.“Saya harap Bu Zea juga akan begitu suatu hari nanti. Setelah melepas beban, masa depan cerah akan Ibu gapai. Percayalah, jika kita melepaskan sesuatu yang berat, kita akan mendapatkan sesuatu yang baru juga.”“Ya, semoga saja.”“Mama, aku lapar.” Afni dan adiknya m
Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins
Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat
“Arvan, apa-apaan kamu? Apa yang kamu lakukan pada Ezra?!” Tiba-tiba Bu Widya keluar dari kamar tempat Zea dirawat dan memburu pria itu, lalu membantu membangunkannya. “Ezra, kamu nggak apa-apa? Bibirmu berdarah itu,” ujarnya panik dan kesal padaku.“Saya nggak apa-apa, Tante.” Ezra menatap tajam tapi tak kupedulikan. Awas saja kalau bertemu di luaran sana, akan kupatahkan lehernya jika dia berani mengusikku.“Ampun ya, kamu Arvan. Bisa-bisanya kamu bertingkah kasar di rumah sakit. Heuh, sudah kayak preman saja!”Ezra tersenyum sinis karena dibela seperti memiliki seorang dewi penolong. Dia merasa di atas angin saat Bu Widya membawa pria itu masuk ke dalam ruangan. Terlihat tatapan meremehkan darinya yang ditujukan padaku.Sejak kapan pria itu dekat dengan Bu Widya, padahal dengan Zea saja bahkan baru bertemu beberapa kali saat di mall dan mampir ke rumahnya. Selebihnya aku jelas tahu kalau Ezra tidak dekat dengan wanita itu.“Arvan, bisa kita bicara sebentar?” tanya Pak Budi keluar
POV Arvanda Pradipta Ponsel yang berdering membuatku terpaksa menepikan kendaraan di bahu jalan. Doni—pria yang kusuruh untuk menjaga Zea dan dua anaknya, menghubungi.Tak biasanya dia nyepam sampai lima kali panggilan. Doni hafal sifatku. Jika tak diangkat, artinya aku sedang sibuk dan akan menghubungi kembali nanti.Dan sekarang, otakku dipenuhi rasa gelisah dan prasangka.“Ada apa, Don?” Langsung kutanya pria itu tanpa peduli.“Van, kayaknya lo harus balik lagi ke sini. Zea masuk rumah sakit!” ujarnya terdengar panik disusul suara sirine dari ambulan yang terdengar getir di telinga.“Katakan yang jelas, ada apa?! Apa terjadi sesuatu sama Zea?!” Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Apalagi terdengar suara beberapa orang di belakang pria itu.“Zea ditusuk oleh seseorang. Sorry, Van. Aku ‘gak nyangka bakal kejadian kayak gini!”“Shitt!!” Aku mengumpat tak sadar sambil memukul setir. Tak menduga akan kecolongan seperti ini. Padahal Doni sudah aku wanti-wanti untuk menjaga ca
Tunggu, apa maksudnya?Apa Arvan sering membicarakanku pada orang tuanya. Tapi sejak kapan? Dan apa saja yang dia katakan.Aku masih bertarung dengan pikiranku sendiri, saat pria itu bertambah garang dan menatapku tajam.“Suruh dia pergi dari sini, atau bapak sendiri yang akan menyeretnya keluar!” usirnya tanpa rasa kemanusiaan.Aku terkejut, begitupun Afni dan Dika. Keduanya merapatkan badan dengan gemetar.“Ma, aku takut,” cicit Dika.“Ma, ayo kita pulang.” Afni ikut merengek tak bisa kutenangkan. Jujur aku tak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini.“Pak, sabar dulu. Kenapa mesti ngomong seperti itu? Zea dan anak-anaknya adalah tamu kita. Rasanya tidak pantas Bapak bicara seperti itu.” Wanita yang sepertinya ibunya Arvan berdiri dan mendekati pria yang menatap dingin tersebut. Afni dan Dika juga seketika mengatupkan bibir, mungkin takut dengan cara pandangnya saat melihatku.“Ibu diam saja, biar Bapak sendiri yang ngomong pada anak itu. Apa dia tak sadar dengan apa
“Zea? Ada apa, dan kenapa kamu pulang lagi?”Karena pikiranku yang kacau, aku tidak sadar kalau ternyata Arvan sudah ada di rumah bersama Dika. Anak itu sudah tampan dengan rambutnya yang terlihat basah. Arvan juga tengah menyuapinya makan. Di tangan pria itu, Dika tampak lebih ceria.“Ze, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu dan Afni baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya terdengar khawatir.Aku menggeleng lemah dan mendekat padanya. Tak peduli apapun, aku menjatuhkan badan ke pelukan pria itu yang sigap menyambut dengan penuh tanya.Cukup lama kami berpelukan. Bahkan dapat kudengar suara jantungnya yang bertalu. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan nyaman seperti ini. Dan di pelukan Arvan, sesaat aku merasa tenang.Aku melepas pelukan dan mendesah berat, masih tak berani menatap wajahnya.“Maaf, dan … makasih.”“Ceritakan apa yang terjadi sampai-sampai membuatmu gelisah seperti ini? Apa ada seseorang yang menyakitimu, atau kamu bertemu dengan Sheva, atau bahkan Pak Raga mungki
Dua hari kemudian, Afni tampak cantik setelah memakai seragam baru. Hari ini aku akan mengantarnya ke taman kanak-kanak. Afni mulai bersekolah sekarang, itu pun setelah tak bosan-bosannya kubujuk. Awalnya, dia masih mau main di rumah dan belum mau masuk TK. Akhirnya setelah perjuangan dan sedikit drama, dia mau menuruti permintaanku dan Arvan untuk masuk pra sekolah.“Ayo kita berangkat sekarang, nanti telat masuk kelas,” ajakku sambil menggamit lengannya. Afni terlihat riang dan sesekali bersenandung. Lagu ‘balonku ada lima’ jadi pilihannya.Saat hendak membuka pintu mobil, aku terkejut melihat di dekat gerbang, Mas Raga menunggu di sana dengan senyum manisnya.“Ma, itu Papa. Aku mau berangkatnya bareng Papa aja,” ujar Afni berseru.Sebelum aku merespon, Afni sudah berlari-lari mendekati pria itu. Mas Raga segera memangku, mencium rambut dan mengajaknya duduk di kursi depan mobilnya. Aku yang melihatnya bahkan sampai melongo.Apa-apaan pria itu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada d
“Halo, Arvan?” sapaku begitu panggilan tersambung.“Ada apa Bu Zea? Kangen, ya,” canda pria itu dengan suara lembutnya di ujung telepon. Aku menggigit ujung jari, bingung harus mulai dari mana.“Bu Zea, kenapa diam saja? Kalau kangen ya, bilang aja kangen. Gak usah malu-malu kayak gitu. Lagian bentar lagi ‘kan kita nikah,” godanya lagi membuatku semakin tak enak hati. Bagaimana tanggapannya kalau dia tahu Mas Raga ada di sini.“Arvan, ada papanya anak-anak di sini, dan—”“Oh, apa dia membuat masalah? Apa perlu aku pulang sekarang?” potong Arvan dengan cepat. Pria itu sangat mengkhawatiranku yang tidak siap bertemu dengan mantan suami. Tapi bibirku seakan kelu untuk bicara padanya. Entah bagaimana caranya meminta izin.“Kenapa Bu, apa ada masalah?” tanya Arvan lagi di ujung telepon, seperti tidak sabar ingin mendengar alasanku menghubunginya.“Itu … anak-anak katanya ingin jalan-jalan dengan papanya, dan Mas Raga memintaku untuk pergi. Aku butuh izinmu, Arvan. Itupun kalau kamu tid
“Katakan dengan jujur atau aku akan menghabisimu sekarang!” ancamku tak main-main. Bayangan ketakutan mantan istri dan dua anakku menari di kepala, membuatku kehilangan akal dan bergelung amarah pada Sheva. Memangnya kalau bukan dia pelakunya, lantas siapa lagi yang mesti aku curigai? Wanita itu meneguk ludah dengan kasar. Matanya bergerak-gerak mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku. Dari gerak geriknya saja, aku sudah mengetahui kalau dialah si biang masalah.Wanita licik ini tidak cukup mengambilku dari keluargaku sendiri, dia dengan teganya berbuat zalim di belakang mereka. Meski perbuatanku sendiri tidak dapat dibenarkan, tapi dia lebih keterlaluan padahal Zea tidak melakukan apa-apa padanya.“Heh, kau tidak memiliki jawaban, ‘kan? Itu karena memang benar kalau kaulah pelakunya. Tapi ingat Sheva, sekali lagi kau meneror mereka maka kau akan berhadapan denganku!” Kuhempaskan rahang wanita itu hingga dia tersungkur ke lantai.Sebelum pergi, aku menyambar kunci yang teronggo