Gegas kutinggalkan kamar, meninggalkan Mas Raga sendirian dengan emosinya yang menggebu. Terdengar suara benda-benda yang dibanting setelahnya. Mungkin dia melampiaskannya pada barang-barang yang ada di dalam. Dan sekali lagi, aku tidak peduli. Bagiku yang terpenting sekarang adalah pergi jauh darinya. Aku juga akan segera mengakhiri biduk rumah tangga kami. Tak guna mempertahankan seorang pengkhianat seperti dia.
Afni sedang bermain di tengah rumah bersama dengan para sepupunya. Tak kulihat keberadaan Dika di sana. Mungkin dia sedang bersama baby sitter dan bodyguard-nya di tempat lain, entah.Mbak Anisa—kakaknya Mas Raga sedang menutup mulut. Tatapannya melihat ponsel di depannya dengan wajah terkejut. Heh, dia pasti sudah melihat kabar terbaru tentang adiknya.Wanita itu mengangkat wajah begitu mendengar langkah kakiku yang mendekat.“Apa ini, Zea? Ini pasti ulahmu, ‘kan? Ayo, ngaku!” Mbak Anisa melotot, “Mbak nggak percaya kamu setega itu pada Raga? Atau jangan-jangan ponselmu di retas oleh orang lain dan ia yang menyebarkan aib suamimu sendiri ke khalayak?!” tanya Mbak Anisa yang sepertinya tak percaya. Aku terkekeh membuatnya keheranan.“Kenapa heran begitu, Mbak? Lambat laun bukankah semua orang harus mengetahui tentang perbuatan Mas Raga dan wanita itu? Jadi, ketika saatnya datang, kenapa Mbak justru sangat terkejut?!”“Iya, tapi nggak begitu juga caranya. Kamu bodoh atau apa sih, Ze. Kelakuan nggak pake otak!” tudingnya geram. Belum selesai ucapannya, Mas Beni—kakak pertama Mas Raga juga ikut geram dan menatapku kesal.Kuraih kaos kaki milik Afni dan memakaikannya. Mbak Anisa meraih bahu membuatku berbalik menatap cepat ke arahnya.“Iya, tapi tidak begini juga, Zea. Kalau seperti ini caranya kau hanya akan mempermalukan semua orang. Bukan hanya Raga dan Sheva yang kena imbasnya, tapi pekerjaan suamimu, keluarga besar kita, termasuk kamu dan anak-anakmu,” serang Mas Beni turut campur, tapi tak kupedulikan.“Ze, kenapa diam?!” tanya wanita itu lagi. Aku berbalik cepat. Kupasang wajah garang menatap keduanya.“Aku tidak akan bertindak sejauh ini kalau tidak pernah memikirkan konsekuensi yang akan kudapatkan setelahnya.” “Sebenarnya kamu pasti tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu, atau jangan-jangan karena emosi dan cemburu, makanya kamu gelap mata sampai menyebarkan semuanya, termasuk bukti chat dan foto-foto mesum mereka?!” Mas Beni bertanya lagi. Mungkin aneh dengan sikapku yang sekarang.“Iya, Zea. Kenapa tega kamu melakukan hal itu pada suamimu sendiri. Setidaknya jika kamu sakit hati, pikirkan anak-anakmu juga. Orang akan menilai buruk kamu dan juga orang-orang di sekitarmu, termasuk kami juga,” timpal Mas Beni. Kakak pertama Mas Raga itu selalu membela adiknya yang salah.Aku menghela nafas dan masih menatap tenang.“Sudahlah Mbak, Mas, aku tahu konsekuensi yang harus kuhadapi dan aku sudah siap. Lagi pula aku tidak mau hancur sendirian. Mas Raga dan gundiknya harus merasakan konsekuensinya juga.”“Zea, ini—” Ucapan Mas Beni terhenti saat Afni tiba-tiba bersuara.“Ma, kita mau pergi ke mana, sih? Dan kenapa semua orang marah-marah?” tanya Afni begitu kuraih tangannya dan bersiap pergi.“Kita pulang ke rumah, ya. Mereka nggak marah, cuma lagi becanda.”“Tunggu, Zea. Obrolan kita belum selesai. Setidaknya kamu harus mendengarkan pendapat semua orang. Suruh Raga dan yang lainnya kumpul, kita bicarakan baik-baik.”Mbak Anisa mencoba menahanku, tapi aku menggeleng.“Bahkan setelah semuanya terjadi, Mbak Anisa masih menyuruh kami untuk kumpul. Buat apa, Mbak? Dan kenapa kalian masih ingin membela pria yang jelas-jelas salah itu?!”“Zea, kok kamu ngomongnya gitu sih. Ya ‘kan semuanya harus diselesaikan dengan kepala dingin. Seenggaknya kamu harus minta maaf dan menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai.”“Maaf Mbak, tidak ada lagi yang harus kujelaskan dan aku juga tak peduli dengan pendapat dari kalian. Bagiku semuanya sudah selesai. Aku akan kembali ke rumahku. Maaf, aku tidak ikut mendoakan ibu di sini.”“Lalu kamu akan angkat tangan begitu saja, hah?! Bagaimana dengan Raga, dia pasti mendapatkan banyak masalah setelah ini,” ucap Mas Beni kembali bersuara cemas.Mereka berdua hanya memikirkan tentang adiknya saja, dan tidak pernah memikirkan bagaimana hatiku yang terus-terusan dikhianati. Miris.Aku menatapnya datar dan mengangkat bahu, “Aku tidak peduli, yang jelas tugasku sudah selesai. Setelah ini aku akan segera mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Semoga Mbak Anisa dan Mas Beni bisa membujuk Mas Raga untuk mempercepat semuanya dan tak perlu mengundur waktu.”“Apa kau bilang?! Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Zea. Kau dengar, kita tidak akan pernah bercerai!! Sampai kapanpun kau akan tetap menjadi istriku!!”Aku dan dua orang yang tengah berdebat melempar tatap ke arah kiri. Entah sejak kapan Mas Raga mendengar pembicaraanku dengan dua kakaknya, tapi aku tidak peduli dan memilih membuang muka.“Itu urusanmu sendiri! Berani berselingkuh tentu berani bertanggung jawab dengan perbuatanmu, dan pada akhirnya jalan yang kupilih adalah perpisahan! Permisi!!”Gegas aku pergi ke arah pintu. Mencari Dika yang pasti sedang diajak main oleh Arvan. Keduanya sangat dekat setelah papanya tak peduli dengan anak itu.“Zea, kau tidak mendengar ucapanku barusan? Kita tidak akan pernah bercerai, tidak sampai kapanpun! Jadi, pikirkan lagi kata-katamu itu!!”Mas Raga memburu ke halaman. Berulang kali menarik tangan tapi berkali-kali juga kutepis kasar. Aku menatapnya jijik dan malas bersentuhan lagi dengannya. Bodohnya kenapa baru sekarang aku sadar kalau semuanya tak guna kupertahankan.“Zea, kau dengar aku, hah?!” Mas Raga yang kesal menahan bahu dan meremasnya. Rasa perih seketika terasa. Tenaga besar pria itu bertambah dengan emosi mampu meremukkan tulangku.“Papa! Jangan sakiti Mama!!” Afni yang melihat papanya marah sontak berteriak histeris.Mas Raga buru-buru melepaskan tangannya dan menyuruh anak itu untuk bermain dengan sepupunya.“Maaf Afni, Papa nggak sengaja. Sekarang main dulu sama Winda, ya.” Mas Raga melihat kepergian anaknya sekilas lalu tatapannya kembali jatuh padaku.“Kau lihat bagaimana anak-anak akan terluka atas keputusan sepihakmu ini? Pikirkan lagi. Kalau perlu aku akan minta maaf. Jadi pikirkan itu baik-baik, Zea.” Mas Raga bicara setenang mungkin tapi aku menanggapinya dengan sinis.“Itu urusanmu, yang jelas keputusanku sudah final. Aku tidak akan kembali apalagi memaafkanmu. Sudah cukup sakit hati yang kualami selama ini. Terima juga semua yang sudah kau lakukan. Tidak usah pikirkan pernikahan kita, karena saat aku berada di sisimu pun, kamu menganggapku tidak ada, dan lebih memilih berlabuh pada wanita lain,” ucapku dingin sambil terlalu. Kucari dua anakku di belakang rumah. Rupanya Arvan dan Dika sedang berada di halaman. Ada Afni juga yang langsung mendekat dengan wajah bingung.“Bu Zea, Anda mau kemana?” tanya Arvan.“Kita pergi dari sini, Arvan. Tugasku sudah selesai dan tak ada lagi yang harus diurusi di sini. Kau pastikan saja Afni dan Dika berada di bawah perlindunganmu. Karena setelah ini aku yakin Mas Raga tidak akan diam saja,” ucapku menjelaskan.Pria yang sudah menjadi bodyguard selama 2 tahun itu mengangguk dengan cepat, kemudian berjalan ke sisi mobil. Dia membuka pintu samping, aku dan dua anakku masuk ke dalam, dia dan baby sitter duduk berdampingan, sementara kulihat Mas Raga mengumpat di halaman.“Mama, papa marahan sama Mama ya, atau apa kalian bertengkar lagi?” tanya Afni yang lebih peka daripada adiknya.Aku menggeleng dengan hati meringis, berusaha tersenyum meskipun hatiku nyeri.“Nggak kok, Afni. Cuma mulai sekarang mungkin kita akan sedikit jarang bertemu dengan papa. Afni tahu ‘kan kalau papa sangat sibuk?!” Gadis kecilku mengangguk dengan cepat.“Iya, Ma. Aku juga nggak apa-apa, kok. Lagian ‘kan aku memang jarang sekali ketemu sama papa.”“Makasih udah ngertiin keadaan Mama, ya?”“Iya, Mama.” Aku mengusap kepala gadis kecilku, sampai ketika tiba-tiba mobil mengerem mendadak dan kepalaku hampir membentur jok di depan.Arghhh!!Ada apa ini?“Ada apa, Arvan?!” tanyaku sambil menenangkan anak-anak yang juga ikut terkejut setelah mobil tiba-tiba berhenti.“Seseorang menikung dan menghalangi jalan. Dan saya sepertinya tahu mobil siapa itu,” jawabnya dengan wajah dingin. “Tunggu sebentar, Bu.” Gegas pria itu keluar dan menutup pintu.Aku menelisik melihat wanita yang turun dari mobilnya sendiri. Di sana wanita itu menatap kesal. Sheva. Penampilannya begitu cetar khas seorang pelakor. Rok span warna putih dengan paha yang terekspos, belum lagi dadanya yang terlihat menyembul besar. Pantas Mas Raga begitu tergila-gila dengan pesonanya. Mirisnya dia hanya bisa berzina bukan diperistri secara resmi.Wanita itu berkacak pinggang dan berseru ke arah Arvan. Terjadi perdebatan sengit setelahnya. Sheva sampai menunjuk wajah Arvan. Dasar tidak sopan.“Kalian tunggu di sini bareng Mbak, ya. Mama mau ke luar dulu.” Afni dan Dika yang tidak tahu apa-apa itu langsung menurut.Aku membuka pintu mobil dengan cepat untuk menghampiri ked
"Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara begitu kusalami keduanya.“Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku.Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum yang disediakan oleh ART.Afni dan Dika sepertinya bahagia atas kedatangan nenek dan kakeknya. Mereka pun bersenda gurau dan bercengkrama.“Sebelum ke sini kami silaturahmi ke kediaman mertuamu. Mereka sepertinya marah
“Papa, Mama, kapan kalian datang? Ayo masuk, Ma, Pa,” ajakku pada keduanya. Aku tidak menyangka kalau papa dan mama akan datang secepat ini dari kota kembang. Meski jelas tujuannya untuk menelusuri apa yang terjadi dengan pernikahanku dan pengkhianatan Mas Raga, tapi melihatnya datang tiba-tiba, itu jadi ketakutan sendiri untukku. Aku takut keduanya menyalahkan dan tidak mendukung atas tindakan yang aku lakukan.“Zea, kami mau bicara serius denganmu.” Mama langsung bersuara. Rupanya beliau tidak sabar begitu kusalami keduanya."iya, Ma." Aku pasrah karena sadar semuanya tak bisa ditutup-tutupi lagi. “Ma, ada Afni dan Dika. Kita bicara nanti saja,” tegur Papa mengingatkan Mama yang sepertinya tak tahan ingin mencecarku dengan berbagai pertanyaan seputar suamiku."Oh ya, udah, deh."Mama menghela nafas untuk kemudian menghambur pada anak-anak yang mendekat. Sepertinya mereka juga kangen pada nenek dan kakeknya.Setelah masuk ke ruangan, kupersilahkan mereka untuk menikmati minum ya
“Papa, Mama, kapan kalian datang?!” Mas Raga bertanya yang kutahu hanya basa-basi.“Kenapa memangnya kalau kami datang. Apa kamu keberatan dengan kehadiran kami di rumah ini?!”Mas Raga buru-buru menggeleng. Wajahnya diliputi dengan keterkejutan, “bu-bukan begitu maksudku, Pa.”“Kami tidak tahu kalau seperti itu bahasamu kepada putri kami, Raga. Setelah dulu kau memintanya baik-baik untuk meminang putriku dan berjanji akan menemaninya dalam suka duka dan berjanji akan membahagiakannya, sekarang selain berkata keras di depan wajah istri dan anak-anakmu, kau juga berani mengkhianati dan menduakannya. Bahkan ternyata hubunganmu dengan wanita itu sudah selayaknya pasangan suami istri. Ck, kami benar-benar kecewa padamu. Apa kamu tidak sadar, kami membesarkan Zea untuk hidup bahagia bukan untuk disakiti apalagi disia-siakan seperti ini.” Papa bicara panjang lebar dengan rahang mengeras. Mas Raga yang tidak berkutik malah menggeleng berkali-kali.“Aku minta maaf, Pa,” ucapnya sambil menundu
Papa dan Mama berjengit kaget mendengar pintu yang ditutup kasar oleh Mas Raga. Keduanya menatap pria yang berlalu dengan amarah di wajahnya. Mas Raga tidak memiliki pakaian lagi di rumah ini. Semuanya kukirimkan tanpa sisa. Biar si Sheva yang mengurusnya mulai sekarang.Mau tak mau pria itu keluar dari rumah. Tapi baru sampai di ambang pintu, ponselnya tiba-tiba berdering.Gegas dia melihat layar ponsel miliknya untuk kemudian mendekatkan ke telinga. Hanya beberapa detik setelahnya, terlihat wajah itu semakin nyalang berbalik menatapku dari kejauhan.“Tunggu aku di luar,” ungkapnya entah pada siapa sambil berjalan cepat. Penasaran, aku memburu ke arah pintu dan mendapati tontonan yang cukup menarik.Gundik itu ada di sana. Dia semakin berani menampakan dirinya di lingkungan rumahku. “Dia pasti yang melakukannya. Dia ingin mengusirmu dari rumahmu sendiri, Mas. Apa kau akan membiarkan barang-barangmu menumpuk di teras rumahku?!” tunjuk Sheva ke arahku.“Tenang, She. Jangan bikin ker
“Cukup, She. Tidak usah menambah perkara. Kita sudah mendapatkan hukumannya, sebaiknya tak perlu berdebat lagi. Ayo kita pergi dari sini,” ajaknya pada si gundik sambil menarik tangannya.“Jangan lupa beli kondom, atau kalau tidak kau akan bunting sebelum dinikahi!” Aku berseru pada pasangan yang langsung menahan langkah, untuk kemudian berbalik dengan pandangan nyalang. “Kau lihat ‘kan Mas, bagaimana mulut berdurinya itu terus-terusan menghina kita!! Dan kau masih membiarkan wanita itu menghinaku tanpa berbuat apa-apa!!” “Zea akan terus berbicara, baik kita ladeni atau kita abaikan. Jadi, tak usah pedulikan dia. Ayo pergi.” Kali ini Mas Raga bahkan sampai melingkarkan tangan di bahu wanita itu. Aku memejamkan mata sekilas, merasakan nyeri yang bertubi-tubi dalam dada. Bohong jika aku merelakan mereka. Nyatanya melihat mereka bermesraan saja, hatiku yang sedang terluka seperti berkali-kali disiram air garam saking perihnya.***
“Ya ampun, Mama tidak habis pikir kalau mereka akan secepat ini go publik. Bener-bener nggak tahu malu. Mama kira si Raga nyesel setelah kamu permalukan. Ternyata malah sebaliknya.” Mama terus menggerutu seiring mobil yang melaju untuk membawa kami pulang. Papa yang menyetir tak banyak bicara. Tapi jelas ikut menyesalkan kelakuan Mas Raga juga.“Ya udahlah, Ma. Mau bagaimana lagi. Biasanya ‘kan bukan hanya makan malam, bahkan lebih dari itu pun mereka sanggup,” timpalku menegaskan fakta tentang mereka pada mama.Mama mengangguk lagi,” iya sih, kalau udah gini Mama mendukungmu untuk mengajukan gugatan perceraian. Mama nggak mau punya menantu seorang pezina, terlebih dia tidak memiliki rasa malu dan tidak punya rasa bersalah sedikitpun pada kamu dan anak-anakmu.”Benar kata Mama. Setelah mendapat dukungan dari keduanya tekadku semakin bulat untuk mengakhiri semua, lagi pula kesabaran yang kubangun selama ini sudah terkikis habis pada Mas Raga yang
“Oh, jadi kamu benar-benar tidak sadar bagaimana dan apa kekuranganmu di mataku?” Mas Raga tersenyum meledek.“Katakan saja meskipun itu menyakitkan! Itu lebih baik daripada kau terus-terusan menghianatiku tanpa tahu dimana letak kesalahanku!!” tantangku tak peduli seandainya Mas Raga membeberkan keburukan. Itu akan jadi pertimbangan dan menyadari kekuranganku di matanya. Mungkin itu juga alasan yang membuat dia berulang kali berpaling pada wanita lain.“Oke, mungkin kamu merasa bangga sudah menjadi istri yang baik untukku, ibu yang baik untuk anak-anak kita, tanpa pernah kamu memikirkan penampilanmu dan kamu tidak bisa menyenangkan aku sebagai suamimu. Apa kamu tidak sadar bagaimana keadaanmu selama ini yang bisanya hanya—”Ucapan pria itu menggantung. Mas Raga berulang kali meremas kepalanya yang mungkin terasa berat.“Hanya apa? Katakan dengan jelas agar aku tahu kekuranganku dimana?!” desakku tak tahan. Ini harus segera diakhiri a
Sampai di hari kepulanganku ke rumah, aku tidak bertemu dengan Arvan kembali. Entah kemana pria itu perginya aku tidak tahu. Hanya saja aku berdoa semoga dia dalam keadaan baik-baik saja.Aku banyak bercerita tentang pria itu pada Mama dan Papa. Meski awalnya Mama tidak menyukai Arvan dikarenakan pria itu yang tidak menjagaku dengan baik, tapi setelah aku meyakinkan dan menjelaskan semuanya, Mama akhirnya mengutarakan kesalahannya pada pria itu.“Ya ampun, Mama nggak tahu kalau Arvan se-protektif itu untuk menjagamu. Mama bahkan membentaknya karena dia gagal melindungimu,” ujar Mama tampak merasa bersalah.“Tapi ngomong-ngomong, apa kamu serius menyukai dia?” Ingat Ze, statusmu itu janda anak dua, sedangkan Arvan itu adalah bujangan. Lagian inget kasusnya juga. Meskipun dia dinyatakan tidak bersalah setelah dia naik banding, tapi ‘kan tetap saja sekali arang tercoreng di muka, selamanya orang takkan percaya. Ya, seperti itu istilahnya,” lanjut Mama mengemukakan kekhawatirannya.“Ins
Mataku mengerjap, merasa silau dari cahaya yang ada di atasku. Lalu kesadaran membawaku ke alam nyata, saat kulihat Arvan duduk di samping sambil menggenggam tanganku erat, dan membawa ke pipinya yang hangat.Sejenak aku lupa apa yang terjadi, namun rasanya seperti mimpi ketika pria itu berada di sini dengan wajah cemasnya. Aku bahagia tentu saja.Lalu tiba-tiba rasa nyeri dalam perut berdenyut kuat. Memikirkan apa penyebabnya, barulah ‘ku ingat apa yang terjadi sesaat sebelum aku berakhir seperti ini.Aku ingin mengatakan semuanya pada Arvan, agar pria itu segera menangkap si pelaku.Sheva, wanita itu bertindak nekat dengan menusukku hingga berdarah-darah, dan rasa sakit di perut saat itu membuatku tidak sadarkan diri.Arvan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Termasuk aku harus menurut keinginannya agar cepat sembuh. Dan untuk sementara waktu, mengatakan agar aku tidak banyak pikiran. Aku berharap Arvan juga bisa menyelesaikan semuanya.Pintu ruangan yang diketuk membuat
“Arvan, apa-apaan kamu? Apa yang kamu lakukan pada Ezra?!” Tiba-tiba Bu Widya keluar dari kamar tempat Zea dirawat dan memburu pria itu, lalu membantu membangunkannya. “Ezra, kamu nggak apa-apa? Bibirmu berdarah itu,” ujarnya panik dan kesal padaku.“Saya nggak apa-apa, Tante.” Ezra menatap tajam tapi tak kupedulikan. Awas saja kalau bertemu di luaran sana, akan kupatahkan lehernya jika dia berani mengusikku.“Ampun ya, kamu Arvan. Bisa-bisanya kamu bertingkah kasar di rumah sakit. Heuh, sudah kayak preman saja!”Ezra tersenyum sinis karena dibela seperti memiliki seorang dewi penolong. Dia merasa di atas angin saat Bu Widya membawa pria itu masuk ke dalam ruangan. Terlihat tatapan meremehkan darinya yang ditujukan padaku.Sejak kapan pria itu dekat dengan Bu Widya, padahal dengan Zea saja bahkan baru bertemu beberapa kali saat di mall dan mampir ke rumahnya. Selebihnya aku jelas tahu kalau Ezra tidak dekat dengan wanita itu.“Arvan, bisa kita bicara sebentar?” tanya Pak Budi keluar
POV Arvanda Pradipta Ponsel yang berdering membuatku terpaksa menepikan kendaraan di bahu jalan. Doni—pria yang kusuruh untuk menjaga Zea dan dua anaknya, menghubungi.Tak biasanya dia nyepam sampai lima kali panggilan. Doni hafal sifatku. Jika tak diangkat, artinya aku sedang sibuk dan akan menghubungi kembali nanti.Dan sekarang, otakku dipenuhi rasa gelisah dan prasangka.“Ada apa, Don?” Langsung kutanya pria itu tanpa peduli.“Van, kayaknya lo harus balik lagi ke sini. Zea masuk rumah sakit!” ujarnya terdengar panik disusul suara sirine dari ambulan yang terdengar getir di telinga.“Katakan yang jelas, ada apa?! Apa terjadi sesuatu sama Zea?!” Entah kenapa perasaanku tiba-tiba gelisah. Apalagi terdengar suara beberapa orang di belakang pria itu.“Zea ditusuk oleh seseorang. Sorry, Van. Aku ‘gak nyangka bakal kejadian kayak gini!”“Shitt!!” Aku mengumpat tak sadar sambil memukul setir. Tak menduga akan kecolongan seperti ini. Padahal Doni sudah aku wanti-wanti untuk menjaga ca
Tunggu, apa maksudnya?Apa Arvan sering membicarakanku pada orang tuanya. Tapi sejak kapan? Dan apa saja yang dia katakan.Aku masih bertarung dengan pikiranku sendiri, saat pria itu bertambah garang dan menatapku tajam.“Suruh dia pergi dari sini, atau bapak sendiri yang akan menyeretnya keluar!” usirnya tanpa rasa kemanusiaan.Aku terkejut, begitupun Afni dan Dika. Keduanya merapatkan badan dengan gemetar.“Ma, aku takut,” cicit Dika.“Ma, ayo kita pulang.” Afni ikut merengek tak bisa kutenangkan. Jujur aku tak menyangka akan dihadapkan dengan situasi seperti ini.“Pak, sabar dulu. Kenapa mesti ngomong seperti itu? Zea dan anak-anaknya adalah tamu kita. Rasanya tidak pantas Bapak bicara seperti itu.” Wanita yang sepertinya ibunya Arvan berdiri dan mendekati pria yang menatap dingin tersebut. Afni dan Dika juga seketika mengatupkan bibir, mungkin takut dengan cara pandangnya saat melihatku.“Ibu diam saja, biar Bapak sendiri yang ngomong pada anak itu. Apa dia tak sadar dengan apa
“Zea? Ada apa, dan kenapa kamu pulang lagi?”Karena pikiranku yang kacau, aku tidak sadar kalau ternyata Arvan sudah ada di rumah bersama Dika. Anak itu sudah tampan dengan rambutnya yang terlihat basah. Arvan juga tengah menyuapinya makan. Di tangan pria itu, Dika tampak lebih ceria.“Ze, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu dan Afni baik-baik saja, ‘kan?” tanyanya terdengar khawatir.Aku menggeleng lemah dan mendekat padanya. Tak peduli apapun, aku menjatuhkan badan ke pelukan pria itu yang sigap menyambut dengan penuh tanya.Cukup lama kami berpelukan. Bahkan dapat kudengar suara jantungnya yang bertalu. Sudah lama aku tak mendapatkan pelukan nyaman seperti ini. Dan di pelukan Arvan, sesaat aku merasa tenang.Aku melepas pelukan dan mendesah berat, masih tak berani menatap wajahnya.“Maaf, dan … makasih.”“Ceritakan apa yang terjadi sampai-sampai membuatmu gelisah seperti ini? Apa ada seseorang yang menyakitimu, atau kamu bertemu dengan Sheva, atau bahkan Pak Raga mungki
Dua hari kemudian, Afni tampak cantik setelah memakai seragam baru. Hari ini aku akan mengantarnya ke taman kanak-kanak. Afni mulai bersekolah sekarang, itu pun setelah tak bosan-bosannya kubujuk. Awalnya, dia masih mau main di rumah dan belum mau masuk TK. Akhirnya setelah perjuangan dan sedikit drama, dia mau menuruti permintaanku dan Arvan untuk masuk pra sekolah.“Ayo kita berangkat sekarang, nanti telat masuk kelas,” ajakku sambil menggamit lengannya. Afni terlihat riang dan sesekali bersenandung. Lagu ‘balonku ada lima’ jadi pilihannya.Saat hendak membuka pintu mobil, aku terkejut melihat di dekat gerbang, Mas Raga menunggu di sana dengan senyum manisnya.“Ma, itu Papa. Aku mau berangkatnya bareng Papa aja,” ujar Afni berseru.Sebelum aku merespon, Afni sudah berlari-lari mendekati pria itu. Mas Raga segera memangku, mencium rambut dan mengajaknya duduk di kursi depan mobilnya. Aku yang melihatnya bahkan sampai melongo.Apa-apaan pria itu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada d
“Halo, Arvan?” sapaku begitu panggilan tersambung.“Ada apa Bu Zea? Kangen, ya,” canda pria itu dengan suara lembutnya di ujung telepon. Aku menggigit ujung jari, bingung harus mulai dari mana.“Bu Zea, kenapa diam saja? Kalau kangen ya, bilang aja kangen. Gak usah malu-malu kayak gitu. Lagian bentar lagi ‘kan kita nikah,” godanya lagi membuatku semakin tak enak hati. Bagaimana tanggapannya kalau dia tahu Mas Raga ada di sini.“Arvan, ada papanya anak-anak di sini, dan—”“Oh, apa dia membuat masalah? Apa perlu aku pulang sekarang?” potong Arvan dengan cepat. Pria itu sangat mengkhawatiranku yang tidak siap bertemu dengan mantan suami. Tapi bibirku seakan kelu untuk bicara padanya. Entah bagaimana caranya meminta izin.“Kenapa Bu, apa ada masalah?” tanya Arvan lagi di ujung telepon, seperti tidak sabar ingin mendengar alasanku menghubunginya.“Itu … anak-anak katanya ingin jalan-jalan dengan papanya, dan Mas Raga memintaku untuk pergi. Aku butuh izinmu, Arvan. Itupun kalau kamu tid
“Katakan dengan jujur atau aku akan menghabisimu sekarang!” ancamku tak main-main. Bayangan ketakutan mantan istri dan dua anakku menari di kepala, membuatku kehilangan akal dan bergelung amarah pada Sheva. Memangnya kalau bukan dia pelakunya, lantas siapa lagi yang mesti aku curigai? Wanita itu meneguk ludah dengan kasar. Matanya bergerak-gerak mencari alasan untuk menjawab pertanyaanku. Dari gerak geriknya saja, aku sudah mengetahui kalau dialah si biang masalah.Wanita licik ini tidak cukup mengambilku dari keluargaku sendiri, dia dengan teganya berbuat zalim di belakang mereka. Meski perbuatanku sendiri tidak dapat dibenarkan, tapi dia lebih keterlaluan padahal Zea tidak melakukan apa-apa padanya.“Heh, kau tidak memiliki jawaban, ‘kan? Itu karena memang benar kalau kaulah pelakunya. Tapi ingat Sheva, sekali lagi kau meneror mereka maka kau akan berhadapan denganku!” Kuhempaskan rahang wanita itu hingga dia tersungkur ke lantai.Sebelum pergi, aku menyambar kunci yang teronggo