“Aku setuju,” jawab Ruhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata. “Ruhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran. Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku. Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak beradik. Perkawinan yang membawa malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut manusia?”
“Ruhcinta... apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?” bertanya Ruhsantini ketika dilihatnya sepasang mata Ruhcinta tampak memandang sayu dan kosong.
Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Ruhcinta. Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang memikat. Kini bibir itu tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Ruhsantini melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
“Tidak Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri dengar pembicaraan dua perempuan itu...”“Kau bangsa jin yang suka menguping rupanya. Coba kau ceritakan apa saja yang kau dengar,” kata Jin Terjungkir Langit pula. Lalu dia rebahkan tubuhnya di tanah.Si Jin Budiman menuturkan semua pembicaraan Ruhsantini dan Ruhcinta yang sempat didengarnya di dalam goa sebelum dia kemudian terpaksa meninggalkan tempat itu karena takut ketahuan.“Pemuda asing itu. Namanya Bintang. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi mengenai gadis bernama Ruhrembulan sungguh tak pernah aku mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Jin ini tidak ada gadis bernama seperti itu...” Si kakek menatap ke dalam mata Si Jin Budiman. “Sahabatku, aku merasakan dari nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau menyebut nama Ruhcinta, ada suatu getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai gadis itu
“Terima kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud tersembunyi!” menyahuti Jin Terjungkir Langit.Ruhjahilio kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang menempel di atas keningnya kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Pajahilio mendekat dan berbisik. “Aku tidak takut pada manusia yang hidup menyungsang itu. Tapi harap kau berhati-hati pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam itu. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si Jin Budiman? Ingat, dia yang dulu menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!”“Aku ingat!” jawab si nenek. “Tapi kau diam sajalah Pajahilio. Biar aku yang bicara. Biar aku yang mengatur! Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau langsung membokong Jin Terjungkir Langit!” Memang antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih tinggi.Ruhjahilio k
“Tahan! Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki senjata berbentuk pedang terbuat dari batu merah. Mana senjata itu sekarang?! Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup?! Ha... ha... ha!” Wuuttt!Clurit putih di tangan kiri Ruhjahilio berkelebat dan tahu-tahu bagian tajamnya sudah melingkar di leher Jin Terjungkir Langit. Sekali renggut saja leher kakek ini pasti akan amblas putus.Seperti diketahui, ilmu kepandaian Jin Terjungkir Langit alias Pasedayu telah amblas dirampas Jin Muka Seribu. Peristiwanya terjadi ketika Jin Muka Seribu dengan mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang didapatnya dari makhluk bernama Pamanyala, berhasil mencungkil pusar Pasedayu yakni bagian tubuh yang menjadi pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi, namun secara diam-diam di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Pasedayu berhasil menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapa
“Kek, kau tak apa-apa?”“Sial betul nasibku! Mengapa aku begitu tolol pergunakan tangan kanan memukul lawan! Tangan ini pasti sudah patah lagi! Celaka betul!”“Aku akan menolongmu. Mari kulihat dulu lenganmu,” kata Si Jin Budiman sambil hendak membuka pelepah pisang yang membalut lengan si kakek.“Jangan pikirkan diriku. Awasi dulu sepasang kakek nenek sesat itu! Mereka tidak segan-segan membokong kita secara curang!”“Tak usah khawatir Kek. Si nenek cidera berat akibat pukulanmu! Kekasihnya kakek satu itu agaknya tak akan sadar dalam waktu satu minggu!”Apa yang terjadi dengan Pajahilio seperti yang disaksikan oleh si nenek kekasihnya?Ketika tadi sinar kuning berbentuk tombak menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian Pajahilio jadi terbagi. Dia merasa masih punya kesempatan untuk menambus perut Si Jin Budiman. Karena itu sambil jatuhkan diri ke samping dia betot celuritnya demik
“Nenek sesat! Kalau saja kau tahu diri akan kukembalikan tangan kananmu ke tempat semula!” kata nenek muka kuning mengantar kepergian Ruhjahilio. Mendengar ucapan itu Ruhjahilio hentikan langkahnya dan berteriak.“Aku tidak perlu belas kasihanmu nenek muka comberan! Kalau tiba saatnya aku akan pindahkan nyawamu ke pusaran neraka langit ke tujuh!”Butt prett!Jin Selaksa Angin alias Jin Selaksa Kentut jawab ucapan Ruhjahilio dengan pancaran kentutnya lalu tertawa cekikikan. Tak lama setelah Ruhjahilio meninggalkan tempat itu bersama kekasihnya, Jin Selaksa Angin berpaling ke arah orang bermuka tanah liat yang tengah menolong Jin Terjungkir Langit. Nenek muka kuning ini segera mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si kakek lalu berkata. “Huh! Seperti anak kecil! Cuma sakit sedikit saja tapi mengerang tak putus-putus!”Jin Terjungkir Langit sibakkan rambut yang menutupi kepalanya. “Tua bangka tukang kentut
Butt prett!“Jangan cengeng!” bentak si nenek muka kuning setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan kirinya dia usap tangan kanan Jin Terjungkir Langit yang patah sementara mulutnya berkomat-kamit. Masih dengan tangan kirinya dia cekal tangan itu di bagian siku. Lalu dipelintirnya kuat-kuat!Klek!Tangan kanan Jin Terjungkir Langit tanggal di bagian siku! Si kakek menjerit setinggi langit. Saking sakitnya dia hendak berguling-guling di tanah. Tapi si nenek cepat injak dadanya. “Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!” bentak si nenek.“Uh... uh... uh...” Jin Terjungkir Langit terpaksa menahan rasa sakitnya walau muka dan badannya sampai mandi keringat. Jin Selaksa Angin kemudian melangkah mendekati sebatang pohon. Potongan tangan Jin Terjungkir Langit ditempelkannya di pohon itu. Lalu, krakkk! Dia mematahkan cabang pohon yang besar dan panjangnya kira-kira sama dengan tangan si kakek. Potongan cabang pohon itu lal
“Kalau kau memang ingin tahu, nama asliku Pasedayu.”“Pasedayu... Pasedayu...” Si nenek ketuk-ketuk keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. “Hemmm... Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu! Aku tidak kenal nama itu!”“Lebih bagus kau tidak kenal siapa diriku!” menyahuti si kakek.“Aku memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak menyuruh...”“Siapa gurumu?” bertanya Si Jin Budiman.“Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu muka hitam!”“Kau tak mau menjawab tak jadi apa,” kata Si Jin Budiman tenang.“Sudah tua bangka begini apakah kau punya istri, Pasedayu?” Si nenek ajukan pertanyaan kedua.“Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!” tanya Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit.Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setel
Jin Terjungkir Langit pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.Si Jin Budiman dapat merasakan kemarahan si kakek. “Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!” katanya. Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-tiba manusia bermuka tanah liat ini berseru keras. “Kek!”“Ada apa?!” tanya Jin Terjungkir Langit kesal.“Tangan kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!”“Astaga!” Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik besar. Ternyata tangannya yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat cabang pohon yang tadinya dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah. Si kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas, diturunkan ke bawah. Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!“