Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu dekat air terjun tiba-tiba sepasang mata biru Dewi Awan Putih membesar. Wajahnya berubah.
“Zeus, jangan turun ke tanah. Melayang ke balik batu sebelah sana. Aku melihat seseorang berusaha mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu...”
Di tepi telaga Ksatria Pengembara tampak heran ketika tiba-tiba Awan putih raksasa lenyap dari pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat di udara. Di lain kejap makhluk ini telah mendarat tujuh langkah di hadapannya.
Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang memiliki dua sayap lebar hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap taj
“Itu tidak mungkin, Ruhjelita. Dewi tidak mungkin kawin dengan manusia biasa. Aku tahu benar hal itu... Kalau itu sampai terjadi akibatnya sungguh luar biasa...”“Hai sahabat muda berambut panjang! Belum berbilang tahun kau berada di Negeri Jin ini, banyak hal yang sudah kau ketahui. Namun jangan kau menduga bahwa makhluk bernama Dewi itu selalu berada dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara mereka yang tersesat dan melanggar pantangan. Salah satu di antaranya adalah Dewi yang kawin dengan seorang manusia biasa bernama Pahambalang hingga melahirkan seorang anak kutukan. Berbentuk manusia tapi tubuhnya penuh dengan duri seperti landak! Dan kurasa saat ini atau di masa mendatang semakin banyak para Dewi yang menjadi liar dan memilih jalan sesat karena tidak bisa bertahan terhadap tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil kau sendiri bisa-bisa sudah menjadi incaran mereka. Hati-hatilah kau Hai Bintang...”Baru saja Ruhjelita selesai berucap
“Hentikan perkelahian!”Tapi tak satupun dari dua gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau Ksatria Pengembara terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada saat Dewi Awan Putih lancarkan satu pukulan kilat ke arah Ruhjelita. Namun karena sosok Bintang melintang di depan maka hantaman Dewi Awan Putih mendarat telak di dada kanan sang Pendekar.Bukkkk!Bintang terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan tubuhnya hampir roboh kalau dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang ke tanah. Dewi Awan Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang terjadi. Saat itu justru tamparan tangan kanan Ruhjelita berkelebat ke depan.Plaaakkk!Tamparan keras mendarat di pipi kiri Dewi Awan Putih. Dewi bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah mengucur di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit akibat pukulan yang kesalahan menghant
DI TEPI telaga Dewi Awan Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Bintang, tak ada gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia masih memegang robekan lengan baju Bintang yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut bibir akibat tamparan Ruhjelita.“Aku memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Hai! Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut bibirku. Hai... Kalau saja aku bisa membaca isi hatinya...” Dewi Awan Putih tekapkan robekan baju Bintang itu ke wajahnya. Sepasang mat
Di lereng bukit yang sejuk dan sunyi, Ksatria Pengembara tegak berdiri sementara Ruhjelita enak saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan.Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah Bintang sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah. Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.“Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan?” bertanya Bintang.Ruhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari tempatnya berdiri Bintang bisa melihat sosok tubuh bagian atas si gadis, putih dan kencang. Dalam hati Ksatria Pengembara berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis ini dari Maithatarun. Aku harus berhati-hati...”“Hai Bintang,” Ruhjelita berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan segala urusan?”Bintang tersenyum. &l
“Bunga mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti ini...” kata Bintang. Lalu dia membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan orang begitu bunga dipegang Bintang ini langsung dekatkan ke hidungnya lalu mengendus bunga itu. “Heiii... harum sekali,” kata Bintang pula. “Bunga sebagus ini dari mana datangnya?” Ksatria Pengembara memandang ke arah telaga. “Eh...!” Kening Bintang mengerenyit. Dikedip-kedipkannya matanya. Lalu diusapnya. “Aneh, apa yang teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. Lebih aneh lagi, dadaku sesak. Kepalaku seperti pusing!” Bintang pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan matanya namun dia tak bisa melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!”Bintang mulai huyung. “Seharusnya aku kebal segala macam racun. Tapi ra
“Anak muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa perlu aku membukai celanamu! Celana perempuan saja tak ingin aku bukai! Ha... ha... ha...!”“Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain itu kau punya kesukaan jelek, tukang merorotkan celana orang!”“Waw... waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu kejelekan? Aku sendiri pakai celana melorot seperti itu! Lihat saja!” Lalu si kakek putar tubuhnya memperlihatkan pantatnya yang memang tersingkap karena celananya sengaja dilorotkan di bagian belakang!“Anak muda, sebenarnya tadi aku tidak mau mengganggu kau lagi asyik bersama kekasihmu. Bercumbu rayu boleh-boleh saja. Tapi kalau sampai main gerayang-gerayangan ke dalam celana, walau ini tempat sunyi, kurasa sudah melewati batas! Pasti tadi kau keenakan ya diraba-raba seperti itu? Ha... ha... ha!”“Kek, jangan kau berkata yang bukan-bukan! Apa maksud ucapanmu. Siapa yang bercumbu rayu! Siapa y
“Mawar kuning berbisa itu hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh. Di alam kehidupan para Dewi...”Bintang terkejut. Dadanya bergetar dan mukanya berubah. “Kalau begitu ini adalah pekerjaan Dewi Awan Putih!”“Terima kasih kau pandai menuduh. Tapi jangan sekali-kali berprasangka buruk tanpa bukti!” mengingatkan Si Jin Sinting.“Saya berkata begitu karena Dewi Awan Putihlah satu-satunya Dewi yang saya temui sebelumnya... Saya harus menyelidiki hal ini! Saya harus mencari Dewi Awan Putih dan menanyainya!” Bintang kepalkan tangan kanannya penuh perasaan geram.“Sudahlah, aku tidak mau ikut campur urusanmu. Aku mau pergi. Apa kau mau ikut?”“Kau mau menyuruh saya memayungimu lagi, kau bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke mana kau pergi?”Si Jin Sinting tertawa bergelak. “Terima kasih kau menyatakan ketidaksenanganmu. Tapi sekali ini aku mengajakmu untuk berbuat p
Bintang bersama Si Jin Sinting yang mendekam di balik sebuah batu memperhatikan bagaimana dua buah batu kelabu di depan batu yang ditumbuhi cendawan hitam tiba-tiba bergeser ke samping disertai suara berdesing halus. Di antara dua batu besar yang membuka itu kini kelihatan sebuah liang yang merupakan tangga turun setinggi tiga tombak. Jin Api Biru segera melompat ke dalam liang batu. Dua buah batu besar kembali keluarkan suara berdesing lalu merapat. Liang batu lenyap dari pemandangan. Si Jin Sinting melirik pada Bintang. Dia menunggu sesaat lalu tarik lengan pemuda itu dan melompat ke arah batu pembuka liang. Seperti yang dilakukan Jin Api Biru, Si Jin Sinting hunjamkan tumitnya tiga kali berturut-turut. Dua batu besar serta merta terkuak ke samping.“Cepat!” ujar Si Jin Sinting lalu menerobos masuk ke dalam liang batu.Bintang mengikuti dengan perasaan tegang. Ketika liang menutup kembali ternyata ruang di bawahnya tidak menjadi gelap. Si Jin Sinting samp