Orion duduk sambil memeluk kakinya. Wajahnya merana. Napasnya berat. Sejak bangun tidur pada subuh tadi sampai sekarang di waktu lewat tengah hari, ia belum berminat terhadap makanan. Si polisi yang menjaganya hanya mengernyit tidak suka saat mengangkat nampan makan Orion yang sama sekali tidak tersentuh, mengira pria itu tidak suka makanannya, dan mulai mengomel tentang orang kaya yang hobinya pilih-pilih pangan. “Harusnya kamu bersyukur karena masih ada makanan untuk dimakan. Lihat di luar sana, banyak sekali anak-anak dan orang tua yang sudah tidak produktif mengais-ngais tong sampah cuma untuk memungut sisa makanan yang mungkin sudah tidak layak makan,” omel si polisi sambil berlalu keluar dari ruang tahanan.Merasa dirinya tidak melakukan apa yang si polisi tuduhkan, Orion memilih diam dan hanya melanjutkan renungannya usai melirik punggung si polisi sesaat. Lagipula, banyaknya kejadian yang menimpanya sepanjang pagi ini telah menguras semua tenaganya untuk berbicara. Bahkan, ka
“Belinda?”Citra berseru kaget dengan mata terbelalak. Kepalanya menoleh cepat untuk bergantian menatap Dokter Lavin yang tersenyum di sampingnya dan gadis kecil yang berlari menyongsongnya, masih terpana dengan pemandangan di depannya sehingga membuatnya lupa bagaimana caranya menghamburkan kata-kata untuk sesaat. Pemahaman mulai terbentuk dalam tengkoraknya. Jadi, Dokter Lavin membawa Citra ke rumahnya sendiri?“Anak Papa sudah pulang sekolah, ya?” Dokter Lavin bertanya lembut sambil membawa Belinda ke dalam gendongannya, mengelus rambutnya, lalu mencubit pipinya gemas. “Bagaimana di sekolah hari ini? Belinda belajar dan bermain dengan baik, kan? Bersikap baik pada teman dan guru, kan? Oh ya, Belinda sudah makan?”Belinda menggeleng lucu. Rambut panjangnya yang dikuncir dua dan diberi ikatan berhias kupu-kupu di masing-masing sisi kepala ikut berkibar. “Belinda belum makan, Pa. Tadi, Belinda sudah di meja makan waktu dengar suara mobil Papa datang. Jadi, Belinda keluar, deh. Ayo, Pa
Erian duduk dengan resah di dalam mobil mahalnya yang terparkir rapi di halaman kantor polisi Kota Ryha. Lewat kaca jendela yang terbuka lebar di samping kanannya, ia menoleh dan menghadapkan wajahnya ke kejauhan, ke arah jalanan yang cukup ramai di depan bangunan besar bercat navy itu sambil memijit-mijit pelipis dengan lengan yang bertelekan di bingkai jendela.Dua jam yang lalu, Erian sangat terperanjat saat mendapati Nadi dan dua rekannya berdiri di depan pintu ruang kerjanya, berniat menjemputnya untuk ditanyai sebagai saksi kasus pembunuhan istrinya. Untung saja ia sudah menyimpan kembali wadah obat tidur yang tadi dipegangnya. Kalau tidak, Erian harus mencari alasan dan para polisi yang menyambangi rumahnya bisa-bisa curiga.Di dalam mobil mahalnya yang dikemudikan oleh Pak Soni, beriringan dengan mobil polisi yang mengangkut Nadi dan rekan-rekannya, Erian berpikir keras. Seharusnya, dengan ditemukannya sidik jari Oron di guci kecil yang digunakan sebagai senjata pembunuh, para
“Silakan keluar!”Walaupun mendengar gemerincing kunci, gedebuk gembok sel tahanannya yang dibuka, dan suara si polisi penjaga, Orion tidak tertarik untuk mengubah posisinya yang berbaring menyamping sambil membelakangi pintu. Ia tetap berpura-pura memejamkan mata dengan tangan tergeletak di bawah pipinya, mengesankan pada siapa pun yang melihatnya jika dirinya sedang tidur.“Pak Orion, silakan keluar!” Nada kalimat si polisi sudah merambat naik beberapa oktaf. Pasti ia sudah merasa jengkel karena Orion tidak bergerak-gerak. Si polisi sendiri sudah lelah menghadapi tingkah tahanannya yang satu itu, seolah Orion sengaja membuatnya berang. Entah apa alasannya. Mungkin semata-mata karena orang kaya itu bosan dan ia beranggapan kalau berperilaku menyebalkan dapat mengurangi sedikit kejenuhan.Huh, pikir Orion tidak riang, si polisi menyuruh keluar sel pasti karena ada lagi orang yang datang berkunjung. Bukannya ia sudah bilang bahwa ia tidak ingin bertemu siapa pun saat ini? Mana mungkin
Teriakan yang tidak pernah disangka kedatangannya itu membuat Citra tersedak oleh makanannya dan terbatuk-batuk hebat. Dengan mata berair, ia meraih gelas berisi air putih yang disodorkan oleh Dokter Lavin padanya. Usai minum dua teguk, batuknya mereda dan Citra menoleh ke arah munculnya pekikan yang membahana itu. Penampakan yang ditangkap oleh penglihatannya otomatis membuatnya shock hingga membuatnya kontan berdiri dari duduknya. Harusnya Citra mempertimbangkan hal ini sebelum menerima tawaran Dokter Lavin untuk tinggal sementara di rumahnya.Walaupun sudah lebih dari lima tahun tidak bertemu dengan si pemilik suara itu, Citra tidak mungkin salah mengenalinya. Wajah ketus, nada bicara yang selalu meremehkan, dan penampilan mencolok yang tidak sesuai dengan usianya hanya dimiliki oleh seorang Jian Restia. Ibu Dokter Lavin.Begitu Citra memberinya tatapan tercengang, Jian mendecih tanda tidak suka. Wanita berusia 60-an tahun itu kemudian memasuki ruang makan dan tanpa sopan santun m
“Dokter Hardi, kamu harus menolongku. Orion dan Citra sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin mereka melakukan itu pada orang tua mereka sendiri?”Erian berkata begitu sambil membuka pintu ruangan Dokter Hardi tanpa permisi, membuat dokter senior itu terlonjak kaget dan mendongak dari kertas yang tengah dipelototinya, ekspresinya campuran antara heran dan kurang riang dengan tingkah Erian yang tidak sopan itu.Tapi, Dokter Hardi memilih memakluminya karena dua alasan. Pertama, karena Erian adalah temannya. Kedua, sebab pengusaha hotel itu rutin berdonasi dengan jumlah besar untuk rumah sakit yang dikelolanya. Sehingga, Dokter Hardi berupaya mengendalikan diri dan bertanya. “Ada apa ini, Erian? Kamu membuatku benar-benar terkejut dengan masuk tanpa pemberitahuan seperti ini. Tidak biasanya kamu melakukan ini. Apa yang sudah mengganggumu?”“Orion dan Citra,” jawab Erian seraya melemparkan tubuhnya ke sandaran sofa empuk di situ kemudian memijit-mijit pelipisnya. “Saya tidak tahu apa yang m
Orion menoleh ke samping kanannya demi mendengar seruan itu dan tanpa sadar mulutnya berdecih dan matanya memutar tanda tidak suka. Tapi, untuk menghindari masalah serius yang bisa ditimbulkan oleh orang yang baru datang itu, terutama setelah ia baru saja bebas dari sel tahanan, Orion lekas-lekas menyetel ekspresinya agar terlihat riang-riang saja.“Ulfa,” sapa Orion dengan suara yang diupayakan untuk terdengar senang sambil menghampiri wanita cantik berambut panjang dan berponi yang tadi memanggilnya dari halaman parkir. Sialan, batin Orion di waktu bersamaan, kenapa Ulfa harus muncul sekarang, tepat saat dirinya berpikri akan menemui Citra? Istrinyalah yang ingin Orion temui duluan, bukan makhluk yang seharusnya jadi mantan selingkuhannya itu.“Sayang,” ujar Ulfa kelewat manja, tangannya menggayut lengan Orion dengan bersemangat begitu pria itu mendekatinya. Matanya berbinar-binar menatap wajah tampan Orion. “Kamu bebas hari ini? Wah, berarti aku datang di saat yang tepat, dong. Kit
“Jangan lakukan ini, Citra. Pikirkan baik-baik dulu. Di mana kamu bisa tinggal dalam keadaan seperti ini selain di sini? Kamu mau ditemukan oleh Erian? Atau, jangan-jangan kamu memang berniat untuk pergi memohon-mohon padanya agar menerimamu kembali dan melanjutkan hubungan menjijikkan kalian? Kalau memang seperti itu niatmu, pergilah! Aku saja yang terlalu bodoh karena menganggap kalau kamu benar-benar berubah.”Dokter Lavin pun melepaskan cekalannya pada lengan Citra secara sukarela kemudian membelakangi wanita itu dan berbalik menghadap ke dalam kamar, tangannya tersembunyi di saku celana bahannya. Kalau memang Citra mau pergi, lebih baik ia tidak usah melihatnya langsung. Hatinya sudah cukup sakit hanya dengan mengetahui jika wanita itu sama sekali tidak menghargai perjuangan Dokter Lavin untuk menolongnya.“Keputusan yang bagus, Lavin,” ujar Jian yang ternyata sedari tadi sudah menonton adegan antara putranya dan Citra itu dari pintu ruang keluarga. “Sudah seharusnya kamu bersika