Satu nama itu rupanya ampuh menghancurkan suasana intim yang tidak sengaja terbangun di antara Orion dan Citra saat itu. Sebab, begitu melihat layar ponsel suaminya, kegeraman yang tak bisa dijelaskan tiba-tiba membungkus Citra, membuatnya memalingkan wajah dengan ekspresi jengkel, berniat tidak akan membiarkan matanya melihat sosok suaminya selama mungkin.Sedangkan Orion langsung merasa salah tingkah seperti telah tertangkap basah melakukan dosa besar. Matanya jumpalitan tidak fokus dan mulutnya buka tutup tidak jelas, tidak tahu apakah akan memutuskan akan berbicara atau tidak. Kalaupun bakal bersuara, kata apa yang akan dilompatkannya pun ia tidak tahu. Tapi, Orion yakin sekali jika Citra tidak suka dengan deretan huruf yang terpajang di ponselnya sekarang sehingga memilih untuk mengabaikan saja panggilan itu sampai layarnya menggelap kembali.Namun, orang yang berusaha menghubungi Orion adalah manusia pantang menyerah, atau mungkin keras kepala karena beberapa detik setelahnya,
“Rion ke mana sih, jam segini masih belum datang juga,” gumam Ulfa resah. Ia melirik arloji berwarna navy yang bertengger di lengan kiri untuk kesekian kalinya. Selingkuhannya itu sudah terlambat satu jam. Orion memang sering telat di tiap pertemuan mereka, biasanya karena sulit mencari alasan untuk dikemukakan pada ayah dan istrinya, tapi itu hanya beberapa menit, belum pernah sampai selama ini.Ulfa bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela besar. Usai menyibakkan tirai putih yang menggantung, Ulfa melongokkan kepalanya demi mengamati parkiran hotel tempatnya berada, berharap melihat mobil Orion memasuki kawasan parkir.Namun, setelah menunggu lima menit dan Orion masih belum menampakkan wujudnya, Ulfa menarik kepalanya kemudian menyentakkan tirai di tangannya dengan kasar. Selama hubungan rahasia itu berlangsung, ia belum pernah menelpon Orion tiap kali mereka janjian ketemu karena yakin pria itu pasti datang, tapi sepertinya kali ini Ulfa harus melakukannya.Dengan perasaa
Sambil memelototi mobil anaknya yang perlahan menjauh, tinju Erian mengepal erat di sisi tubuhnya. Walaupun secara hukum, moral, dan etika ia tidak punya hak untuk menahan Citra lebih lama bersamanya dan melarang Orion membawa wanita itu, Erian tetap geram. Di dalam dirinya berkobar-kobar perasaan kepemilikan terhadap menantunya dan menganggap tindakan Orion lancang dan kurang ajar.“Bagaimana, Tuan Erian? Kita putar balik juga sekarang?” Pak Soni bersuara takut-takut dari samping pintu sisi pengemudi meskipun enggan. Tapi, melihat posisi mobil mereka yang tergeletak di tengah jalan, ditambah lagi dengan tatapan ingin tahu dari pengendara yang lain, membuat Pak Soni memberanikan diri untuk menegur majikannya agar bisa kabur secepatnya dari situ.Mendengar pertanyaan sopirnya, Erian membuka kembali kepalan tangannya dan berbalik. Saat mendapati wajah Pak Soni yang kelihatan tidak enak, Erian mencoba tersenyum untuk menetralkan suasana, tapi gagal sebab senyumnya lebih mirip seringaian.
“Kenapa diam saja dari tadi? Kamu tidak enak badan? Mual? Demam? Perutmu sakit? Atau, makanannya tidak sesuai seleramu?” Orion mendongak dan bertanya dari atas mi gorengnya yang sudah dilahap setengah karena menyadari istrinya tidak bersuara sedikit pun sejak membeberkan keinginannya makan di tempat itu beberapa puluh menit yang lalu.Citra tersentak karena setengah berharap suaminya tidak akan mengajaknya bicara, sebab ia telah bertekad akan mendiamkan Orion selama mungkin. Ia masih jengkel dengan panggilan dari Ulfa tadi, walaupun Citra mati-matian meyakinkan dirinya bahwa alasan kekesalannya semata-mata karena Orion meremukkan rencana indahnya untuk menikmati hari libur bersama Erian di vila cantik pinggir pantai.“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja, makanannya juga aku suka,” jawab Citra ogah-ogahan, terlihat jelas enggan berinteraksi verbal dengan suaminya. Ingin memastikan, Orion melirik piring istrinya dan menemukan makanannya memang hampir habis. Ia mengerjap. Oke, b
Dengan bayangan tentang kejadian menyenangkan dalam tengkoraknya yang nanti akan dilakoninya bersama Ulfa, sambil menahan senyum mesum Pak Wira muncul di sisi mobil tempat tas coklat itu dilihatnya. Tapi, senyum di wajahnya tiba-tiba punah begitu Pak Wira menemukan tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Ke mana perginya Ulfa? Atau, apa ia salah lihat?Tidak mau kehilangan buruannya begitu saja, mengingat ini kesempatan yang sangat langka bisa bertemu wanita yang sudah lama bersemayam dalam imajinasi nakalnya itu di lokasi yang menurutnya tepat, Pak Wira mengelilingi mobil sekali lagi, bahkan sampai melongok ke kolong kendaraan itu. Namun, hasilnya tetap nihil. Ulfa tidak ada di mana pun.“Sialan! Aku yakin betul melihat tas wanita itu di sini, ke mana perginya dia?” Pak Wira menggerutu geram. Ia berkeliling dan matanya jumpalitan lagi demi memindai halaman parkir, jalanan, dan deretan toko di depannya. Siapa tahu Ulfa sudah berlari ke seberang sana ketika Pak Wira mendekat tadi. Namun,
31“Pak Erian, apa Anda memerhatikan? Saya bertanya, di mana anak Anda, Orion? Apa dia ada di rumah?” Nadi bertanya lagi setelah beberapa detik berlalu dan Erian tak kunjung bereaksi terhadap pertanyaannya. Pria itu bahkan tampak aneh dengan mata melotot dan mulut sedikit terbuka. Apa berita yang dibawanya terlalu berat hingga tidak sanggup ditanggung oleh Erian?“Pak Erian, tolong jawab pertanyaan saya. Kalau tidak, kami terpaksa menggeledah rumah Anda untuk mencari,” ujar Nadi yang sudah memutuskan untuk menaikkan nada suaranya sedikit demi menggiring Erian kembali ke kenyataan sehingga bisa diajak berkomunikasi. Ia kemudian memberi isyarat agar rekan-rekannya yang menunggu di luar memasuki rumah. Sekejap saja ruang tamu mewah itu sudah sarat dengan belasan polisi berpakaian biasa.Teguran itu rupanya sukses menyadarkan Erian yang sempat terlena dengan pemikirannya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, meskipun sangat keterlaluan, pernyataan Nadi soal Orion yang kemungkinan adalah pembunu
Citra memelototi ponsel dalam genggamannya, berharap balasan pesan dari Erian tiba secepat mungkin. Ia tengah jengkel setengah hidup pada suaminya sehingga membutuhkan pengalihan agar otaknya tidak memikirkan hal-hal ekstrem yang patut dilakukan demi melampiaskan perasaan tidak nyaman itu, tiba-tiba menjambak rambut Orion sampai suaminya tidak fokus mengemudi dan membuat mobil oleng hingga menabrak pohon, misalnya.Sebab itu, begitu merasakan getaran dalam tas tangan yang digenggamnya erat, Citra tergesa-gesa meraup ponsel dari dalamnya dan tanpa sadar wajahnya tidak lagi sedatar tripleks. Ekspresinya pun berubah menjadi lebih manusiawi. Dengan cepat ia membalas pesan Erian yang dianggapnya penyelamat dari suasana menyesakkan yang membungkusnya.Tapi, satu menit, dua menit, sampai lima menit berlalu, namun Erian belum juga merespons pesannya. Citra mengerutkan dahi dan menyipitkan mata, situasi hatinya kembali memburuk. Usai meyakinkan diri bahwa interaksi antara dirinya dan Erian sud
“Sepertinya ini alamat yang benar, tolong parkir di depan saja, Kun,” ujar Nadi kepada rekannya yang mengemudi di depan rumah makan yang padat pengunjung sambil kembali mengamati catatannya dan mencocokkan antara papan nama yang terpampang di bagian muka atap bangunan dengan keterangan Erian, sekaligus mengarahkan matanya ke sekitar untuk memastikan ia tidak salah tempat.“Hmm, ini alamat yang benar. Oke, “ gumam Nadi sekali lagi seraya mengangguk-angguk usai Kun menghentikan mobil di lokasi yang diminta. Ia lalu turun dan langsung menuju ke konter kasir yang terletak di bagian depan samping pintu masuk, diiringi oleh tatapan ingin tahu pengunjung rumah makan yang tertarik oleh bunyi sirene yang mendahului kedatangan Nadi.“Permisi, Mbak, saya dari Kepolisian Ryha,” kata Nadi sembari memperlihatkan tanda pengenal polisinya pada kasir wanita berseragam kuning muda yang sedang berjaga dengan wajah ketakutan dan tangan gemetar. “Saya ingin menanyakan sesuatu, apa benar tadi orang ini mak
“Apa yang terjadi, Lavin? Kenapa ada polisi di sini?”Citra bertanya dengan wajah menghadap ke moncong pistol yang mengarah padanya, matanya tajam melirik Dokter Lavin yang tengah memberinya tatapan terluka. Walaupun malam itu udara lumayan dingin, keringat mulai bermunculan di dahinya. Wanita itu meneguk ludah yang terasa mengganjal. Ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu.Namun, bukannya menjawab, Dokter Lavin justru memutus kontak matanya dengan Citra, turun dari mobil, membuka pintu belakang, dan membawa Belinda ke dalam gendongannya. Ia memilih untuk tidak menengok ke arah Citra satu kali pun selagi melangkah kembali ke dalam toko yang pengunjungnya tampaknya tidak menyadari kejadian di depan bangunan yang mereka datangi, berbeda dengan Belinda yang tidak berhenti memelototi mobil yang baru saja mereka tinggalkan.“Lavin, Lavin, kamu mau ke mana? Jelaskan padaku ada apa ini. Lavin! Kamu tidak boleh pergi begitu saja dan meninggalkanku di sini!” Citra memanggil-manggil
Mata Citra terbelalak mendengar pengumuman mengejutkan yang disampaikan oleh Jian. Dengan mulut setengah membuka, ia menoleh ke arah Dokter Lavin yang juga tengah menatapnya. Berkat kehadiran polisi di luar sana di waktu yang sangat tidak tepat ini, rencananya bersama pria itu untuk mengasingkan Orion di ruangan tersendiri bisa dipastikan gagal.“Bagaimana mereka bisa tahu saya di sini? Setahu saya, kita tidak diikuti sejak di pusat perbelanjaan tadi. Saya juga yakin orang-orang di toko tidak ada yang mengenali saya,” ujar Citra dengan nada heran setelah berhasil berjumpa dengan suaranya. Kepalanya bergantian berpaling ke Dokter Lavin dan Jian, menuntut penjelasan. Tidak bisa dipungkiri ada sorot menuduh dalam pandangannya. Mungkin ibu dan anak itu tidak setulus yang Citra kira.Dokter Lavin melihat ke sekeliling rumah dengan resah sebelum membuka mulut. “Kalau dilihat dari polisi yang datang, bukan orang-orang suruhan Erian, kemungkinan besar mereka bisa mengetahui lokasi Citra denga
“Hati-hati menggalinya, jangan sampai guci itu pecah. Lebih baik kita menggalinya pakai tangan saja.”Nadi memberi instruksi pada rekan-rekannya sambil membasmi keringat yang berlelehan mengaliri dahinya menggunakan punggung tangan yang berlumur tanah. Mereka, para aparat kepolisian itu, tengah menggali tanah di halaman belakang kediaman Indrayana untuk mencari sesuatu yang disebutkan oleh Erian pada Nadi tiga puluh menit sebelumnya.“Kalau Anda tahu siapa yang membunuh korban, kenapa Anda tidak bilang dari awal dan membantu penyidikan? Kenapa malah menyembunyikannya dan bersikap tidak tahu apa-apa, bahkan sampai menjebak anak Anda sendiri? Apakah Anda diancam oleh Bu Citra atau Anda sendiri yang memilih untuk menutupi kasus ini, Pak Erian?”“Saya sendiri yang memang memutuskan untuk menutupi kasus ini. Saya pikir, jika Henny ditemukan meninggal sebagai korban pembunuhan, orang-orang akan bersimpati pada saya yang akhirnya akan menaikkan harga saham hotel. Tapi, Citra juga turut andil
Dokter Lavin duduk di sofa ruang tamu rumahnya, alih-alih di ruang keluarga tempatnya mengambil kotak obat, semata-mata agar tidak mendengar pertengkaran antara Citra dan Orion. Sambil menotol-notolkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke lukanya, ia meyakinkan diri bahwa sangat tidak sopan menguping perselisihan suami istri dan mereka tentu tidak ingin didengar oleh siapapun., walaupun Dokter Lavin penasaran setengah hidup.Sekarang, setelah Citra ada di sini, apa yang akan mereka lakukan? Hanya bersembunyi dari Erian tanpa usaha apapun untuk melepaskan wanita itu sepenuhnya dari jeratan pengusaha ternama itu? Citra memang sudah mengambil langkah pertama dengan memutuskan untuk menggugat cerai Orion, tapi kaitan antara mantan kekasihnya dan Erian bukan hanya itu.Namun, sampai kapan mereka sanggup menyembunyikan diri begini? Dokter Lavin harus bekerja, yang tentu saja tidak aman dilakukan sebab Erian sudah tahu jika dirinya ikut terlibat. Sekali Dokter Lavin tertangkap, Citra,
“Itu benar, Pak Nadi. Citralah yang telah membunuh istriku. Aku tidak bohong atau sedang berupaya kabur. Itulah yang sebenarnya terjadi.”Erian menegaskan kalimatnya usai melihat reaksi Dokter Hardi dan Nadi atas perkataannya sebelumnya adalah saling melempar tatapan tidak mengerti. Tapi, sedetik kemudian, wajah si polisi menjelma tidak percaya dan ekspresi si dokter tetap dalam kebingungannya.“Apa maksudmu, Erian?” Dokter Hardi menyuarakan ketidakpahamannya. Ia bergantian memandang polisi di depannya dan temannya yang terbaring di brankar, menunggu salah satu dari keduanya sudi menjelaskan. “Citra yang membunuh Henny? Tapi, kenapa? Tadi kamu bilang kalau dijebak dan akan berusaha mencari pelaku sebenarnya, sekarang kamu bilang kalau Citra pelakunya. Apa yang terjadi di sini, Erian?”“Lebih baik Anda ikut ke kantor dan menjelaskan semuanya di sana, Pak Erian. Bangunlah, saya akan memapah Anda ke mobil,” sebut Nadi lalu melangkah mendekati brankar dan mengulurkan tangannya pada Erian,
Bunyi pukulan itu mengalihkan perhatian Citra yang tengah asyik duduk di kursi kerja Jian dan memelototi salah satu kertas yang diraupnya dari atas meja. Tangannya otomatis menjatuhkan benda yang dipegangnya begitu menyaksikan bagaimana suaminya menonjok pipi Dokter Lavin yang sama sekali tidak menduga datangnya serangan itu. Ia tergesa-gesa menghampiri mantan kekasihnya yang setengah bersimpuh di lantai dan berjongkok di sampingnya.“Kamu tidak apa-apa, Lavin?” Citra bertanya risau sambil mengamati wajah lebam pria di sisinya. Saat Dokter Lavin hanya mengangguk sebagai reaksi tanpa mengatakan apapun, wanita itu menaikkan kepalanya untuk memberi Orion tatapan sengit. “Apa yang kamu lakukan, Rion? Kenapa kamu memukul Lavin? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu.”Mata Orion mendelik, dadanya masih naik turun mengejar napas. Tenaganya yang tidak seberapa, karena baru makan sekali dalam hari ini, dikerahkan semuanya untuk memberi Dokter Lavin pukulan sekuatnya yang pantas pria itu terima
“Ibu!”“Tante!”Dokter Lavin dan Citra memekik berjamaah kemudian saling bertatapan salah tingkah setelahnya yang segera dilanjutkan dengan membuang pandangan masing-masing ke arah berlawanan. Citra pura-pura tertarik dengan hiasan rambut Belinda yang duduk di pangkuannya, sedangkan Dokter Lavin berdeham tidak jelas sambil bersikap seakan-akan terpesona dengan pemandangan di luar jendela mobil.“Loh, apa yang salah?” Jian bertanya dengan wajah tanpa dosa, tidak menyadari bencana yang baru saja diciptakannya, matanya bergantian menatap tiga penumpang dewasa yang terduduk di kursi belakang mobilnya. “Kalau Citra dan pria ini bercerai, artinya dia bisa kembali pada Lavin dan anak kandungnya, Belinda. Nah, pria ini bisa bersama dengan si poni kekanak-kanakan itu. Akhir yang bahagia untuk semuanya.”Usai menemukan kendali dirinya kembali, Dokter Lavin memandang ibunya, sebisa mungkin menahan matanya agar tidak melirik ke arah Citra atau Orion yang duduk di sisi kiri dan kanannya. “Lebih ba
Nadi duduk tepekur di sofa kulit mahal yang ada di ruang rawat mewah itu. Operasi pengangkatan peluru di betis Erian yang dilakukan langsung oleh Dokter Hardi sudah selesai tiga jam yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu pengusaha hotel itu siuman untuk ditanyai. Nadi memilih untuk bersiaga di ruangan yang sama dengan Erian untuk mencegah orang kaya itu berkonspirasi jahat dengan Dokter Hardi lagi.Sebenarnya, ia bisa saja meminta Kun atau rekannya yang lain untuk menggantikannya berjaga di rumah sakit. Tapi, Nadi memutuskan terlibat langsung karena saat ini bisa dikatakan jika Erian merupakan terduga potensial dalam kasus pembunuhan Henny serta kecelakaan Gema dan Ariani. Baginya, ini semacam tanggung jawab moril selaku ketua tim penyidikan. Bukankah sebagai pemimpin, ia yang harus bekerja lebih keras?Usai beberapa belas menit duduk sambil menjalin tangan dan bertatap muka dengan lantai, Nadi mengubah posisinya menjadi bersandar di sofa dengan kepala mendongak dan mata nyalang
“Orion?”Citra menggumamkan nama suaminya dengan nada terperanjat bervolume rendah. Ia tidak salah dengar, kan? Tapi, apa yang dilakukan Orion di sini? Bukannya dia tengah ditahan di kantor polisi?“Buka pintunya, Citra. Ini aku, Orion!” Orang yang berdiri di luar bilik toilet Citra itu berbicara lagi.Mendengar suara manusia itu sekali lagi, Citra akhirnya yakin. Sekarang ia berseru lantang. “Orion? Itu benar-benar kamu, kan?”“Iya, Citra. Aku Orion, suamimu.”Lebih tepatnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, pikir Citra. Walaupun yakin betul kalau makhluk yang mengobrol dengannya adalah Orion, ia tetap memilih melakukan tindakan pencegahan dengan cara mengintip lagi melalui celah di bawah pintu, siapa tahu ada orang lain di situ.Usai memastikan jika suaminya memang benar-benar datang sendirian, Citra menjatuhkan pecahan cermin di tangannya ke lantai dan membuka pintu bilik toilet. Di depannya, terpampang wujud Orion yang terlihat tidak terurus dengan wajah dan pa