“Kenapa diam saja dari tadi? Kamu tidak enak badan? Mual? Demam? Perutmu sakit? Atau, makanannya tidak sesuai seleramu?” Orion mendongak dan bertanya dari atas mi gorengnya yang sudah dilahap setengah karena menyadari istrinya tidak bersuara sedikit pun sejak membeberkan keinginannya makan di tempat itu beberapa puluh menit yang lalu.Citra tersentak karena setengah berharap suaminya tidak akan mengajaknya bicara, sebab ia telah bertekad akan mendiamkan Orion selama mungkin. Ia masih jengkel dengan panggilan dari Ulfa tadi, walaupun Citra mati-matian meyakinkan dirinya bahwa alasan kekesalannya semata-mata karena Orion meremukkan rencana indahnya untuk menikmati hari libur bersama Erian di vila cantik pinggir pantai.“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja, makanannya juga aku suka,” jawab Citra ogah-ogahan, terlihat jelas enggan berinteraksi verbal dengan suaminya. Ingin memastikan, Orion melirik piring istrinya dan menemukan makanannya memang hampir habis. Ia mengerjap. Oke, b
Dengan bayangan tentang kejadian menyenangkan dalam tengkoraknya yang nanti akan dilakoninya bersama Ulfa, sambil menahan senyum mesum Pak Wira muncul di sisi mobil tempat tas coklat itu dilihatnya. Tapi, senyum di wajahnya tiba-tiba punah begitu Pak Wira menemukan tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Ke mana perginya Ulfa? Atau, apa ia salah lihat?Tidak mau kehilangan buruannya begitu saja, mengingat ini kesempatan yang sangat langka bisa bertemu wanita yang sudah lama bersemayam dalam imajinasi nakalnya itu di lokasi yang menurutnya tepat, Pak Wira mengelilingi mobil sekali lagi, bahkan sampai melongok ke kolong kendaraan itu. Namun, hasilnya tetap nihil. Ulfa tidak ada di mana pun.“Sialan! Aku yakin betul melihat tas wanita itu di sini, ke mana perginya dia?” Pak Wira menggerutu geram. Ia berkeliling dan matanya jumpalitan lagi demi memindai halaman parkir, jalanan, dan deretan toko di depannya. Siapa tahu Ulfa sudah berlari ke seberang sana ketika Pak Wira mendekat tadi. Namun,
31“Pak Erian, apa Anda memerhatikan? Saya bertanya, di mana anak Anda, Orion? Apa dia ada di rumah?” Nadi bertanya lagi setelah beberapa detik berlalu dan Erian tak kunjung bereaksi terhadap pertanyaannya. Pria itu bahkan tampak aneh dengan mata melotot dan mulut sedikit terbuka. Apa berita yang dibawanya terlalu berat hingga tidak sanggup ditanggung oleh Erian?“Pak Erian, tolong jawab pertanyaan saya. Kalau tidak, kami terpaksa menggeledah rumah Anda untuk mencari,” ujar Nadi yang sudah memutuskan untuk menaikkan nada suaranya sedikit demi menggiring Erian kembali ke kenyataan sehingga bisa diajak berkomunikasi. Ia kemudian memberi isyarat agar rekan-rekannya yang menunggu di luar memasuki rumah. Sekejap saja ruang tamu mewah itu sudah sarat dengan belasan polisi berpakaian biasa.Teguran itu rupanya sukses menyadarkan Erian yang sempat terlena dengan pemikirannya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, meskipun sangat keterlaluan, pernyataan Nadi soal Orion yang kemungkinan adalah pembunu
Citra memelototi ponsel dalam genggamannya, berharap balasan pesan dari Erian tiba secepat mungkin. Ia tengah jengkel setengah hidup pada suaminya sehingga membutuhkan pengalihan agar otaknya tidak memikirkan hal-hal ekstrem yang patut dilakukan demi melampiaskan perasaan tidak nyaman itu, tiba-tiba menjambak rambut Orion sampai suaminya tidak fokus mengemudi dan membuat mobil oleng hingga menabrak pohon, misalnya.Sebab itu, begitu merasakan getaran dalam tas tangan yang digenggamnya erat, Citra tergesa-gesa meraup ponsel dari dalamnya dan tanpa sadar wajahnya tidak lagi sedatar tripleks. Ekspresinya pun berubah menjadi lebih manusiawi. Dengan cepat ia membalas pesan Erian yang dianggapnya penyelamat dari suasana menyesakkan yang membungkusnya.Tapi, satu menit, dua menit, sampai lima menit berlalu, namun Erian belum juga merespons pesannya. Citra mengerutkan dahi dan menyipitkan mata, situasi hatinya kembali memburuk. Usai meyakinkan diri bahwa interaksi antara dirinya dan Erian sud
“Sepertinya ini alamat yang benar, tolong parkir di depan saja, Kun,” ujar Nadi kepada rekannya yang mengemudi di depan rumah makan yang padat pengunjung sambil kembali mengamati catatannya dan mencocokkan antara papan nama yang terpampang di bagian muka atap bangunan dengan keterangan Erian, sekaligus mengarahkan matanya ke sekitar untuk memastikan ia tidak salah tempat.“Hmm, ini alamat yang benar. Oke, “ gumam Nadi sekali lagi seraya mengangguk-angguk usai Kun menghentikan mobil di lokasi yang diminta. Ia lalu turun dan langsung menuju ke konter kasir yang terletak di bagian depan samping pintu masuk, diiringi oleh tatapan ingin tahu pengunjung rumah makan yang tertarik oleh bunyi sirene yang mendahului kedatangan Nadi.“Permisi, Mbak, saya dari Kepolisian Ryha,” kata Nadi sembari memperlihatkan tanda pengenal polisinya pada kasir wanita berseragam kuning muda yang sedang berjaga dengan wajah ketakutan dan tangan gemetar. “Saya ingin menanyakan sesuatu, apa benar tadi orang ini mak
Jawaban ketus yang dilemparkan oleh pemilik mobil membuat Ulfa seketika mengatupkan bibirnya, tidak sudi berbicara lagi. Seandainya tidak merasa berutang budi sebab telah diselamatkan dari kemesuman Pak Wira, sejak tadi Ulfa akan melawan sikap dingin pria itu, bahkan minta diturunkan saja dari mobil. Demi rasa terima kasihnya yang tak terhingga, Ulfa rela menahan diri dan menerima saja bahwa pemilik mobil memang orang yang sulit.Tapi, melihat dirinya dibawa tanpa tahu tujuan, mau tidak mau Ulfa merasa resah. Pikiran bahwa mungkin pemilik mobil juga bukan manusia baik-baik tiba-tiba bercokol di tengkoraknya. Walaupun pria itu membawa anak, hal itu bukan jaminan kalau ia tidak jatuh di tangan yang salah. Bisa saja itu cuma kamuflase, atau yang lebih parah, anak itu diculik oleh pemilik mobil.Di tengah kerisauannya, secara instingtif Ulfa beringsut mendekati anak yang tidur itu dan mengamati wajahnya, mencari kemiripan antara gadis kecil itu dengan si pemilik mobil untuk meyakinkan dir
“Lavin?” Orion yang juga menyusul bersama Ulfa ke parkiran sebab penasaran, mengulang nama itu dengan terkejut. Tiba-tiba, ia melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Ulfa kemudian setengah berlari mendekati Citra, sengaja menyenggol bahu Lavin saat melewatinya, dan segera memarkirkan tangannya di sekeliling bahu istrinya dengan dagu terangkat, seolah ingin mempertontonkan pada khalayak bahwa wanita itu miliknya.Di satu sisi, setelah memerhatikan dengan saksama pria yang berdiri di samping Citra sambil mengesankan dirinya adalah orang yang beruntung karena mempunyai wanita secantik Citra, Lavin mendadak tersadar. Pria itu adalah pria yang sama dengan yang dilihatnya memeluk Ulfa beberapa menit yang lalu, pria yang diakui Ulfa sebagai kekasihnya. Pantas saja Lavin merasa pernah melihatnya. Jadi, kekasih Ulfa dan suami Citra adalah manusia yang sama?Merasa sangat lucu dengan situasi itu, Lavin menaikkan satu sudut bibirnya. Menyeringai. Biar tahu rasa wanita itu. Ia tidak tertarik
Kedatangan para polisi dan ucapan Nadi yang tidak bisa diprediksi membuat Citra sejenak lupa dengan obsesinya ingin memeluk Belinda. Ia pun turun tergesa-gesa dari mobil dan mendekati suaminya, lupa sama sekali dengan keberadaan orang lain. Wajahnya sarat dengan kebingungan. “Rion? Apa maksudnya itu? Kamu juga membunuh Gema dan Ariani?”“Juga?” Nadi langsung bersuara usai menangkap kejanggalan dari omongan Citra. Ia pun menghampiri wanita itu dan menatapnya tajam, menuntut penjelasan. “Apa maksud Anda, Bu Citra? Kenapa Anda bilang begitu? Anda tahu sesuatu, kan? Kalau begitu, Anda juga sebaiknya ikut kami ke kantor. Kami membutuhkan keterangan Anda. Tolong bekerjasama dengan kami.”Citra tiba-tiba tersadar jika dirinya sudah melakukan kecerobohan yang fatal. Sambil bergantian mengerling Orion dan Nadi dengan ekspresi panik, ia berupaya memikirkan alasan yang bisa diterima semua pihak sehingga ia tidak perlu lagi menginjakkan kaki di kantor polisi untuk ditanyai macam-macam. Sebab, jik