“Silakan duduk, Pak Orion,” ujar Nadi berusaha ramah walaupun wajah Orion terlihat jelas tampak tidak dalam suasana hati untuk beramah-tamah. Setelah melintasi dua kota yang berjarak lebih dari lima puluh kilometer dalam mobil polisi yang tidak berhenti menjerit-jerit dengan waktu tempuh sekitar satu jam, mereka akhirnya berada di bagian bangunan yang paling dihindari Orion di kantor polisi: ruang interogasi.Mungkin Orion tidak mendengar perkataan Nadi, atau pura-pura tidak mendengar, karena ia justru sibuk menjelajahi ruangan dengan matanya yang membesar ketakutan. Mulai dari pintu besi berat yang teronggok di sudut, kaca satu arah yang menutupi satu sisi dinding tempat orang yang berada di sebelah memantau dan merekam jalannya interogasi, sampai ke dua kursi dan satu meja kayu yang terletak persis di tengah, di bawah lampu yang tergantung menyiramkan cahayanya.Di luar jilatan cahaya, tak tampak apapun yang mungkin ada dalam kegelapan. Orion tiba-tiba bergidik, ia baru saja membaya
Ulfa mendecakkan lidahnya, entah untuk keberapa kalinya dalam tiga puluh menit. Ia tengah duduk merengut di kursi belakang mobil Dokter Lavin, dalam hati sibuk mengutuki nasibnya yang sial. Harusnya sekarang ia berkendara bersama Orion berdua saja usai menyingkirkan Citra dengan cara apapun, bukannya menumpang di mobil pria dingin yang hobinya bicara ketus itu sekali lagi.Setelah bosan mendengar decakan yang terus berulang dari belakangnya, Dokter Lavin melirik melalui kaca spion dan bersuara. “Kalau kamu tidak suka naik mobilku, bilang saja. Aku akan menurunkanmu dengan senang hati. Lagipula, aku juga tidak senang kamu ikut pulang ke Ryha. Aku mengangkutmu semata-mata karena alasan kesopanan dan etika sebab tidak mungkin aku membiarkanmu sendirian di kantor polisi setelah mengantarmu ke sana.”Pilihan kata yang digunakan Dokter Lavin membuat Ulfa terpana. Mengangkut? Memangnya ia ternak yang harus diangkut? Apa dokter itu tidak punya koleksi kata yang lebih baik untuk dilompatkan da
“Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?” Erian bertanya resah pada dokter wanita berhijab yang baru saja memeriksa keadaan Citra di brankarnya. Mereka baru tiba di rumah sakit kota sebelah lima belas menit yang lalu setelah sempat tersesat karena Pak Soni yang tidak familiar dengan jalannya dan hanya mengandalkan bertanya pada orang-orang.“Menantu Anda baik-baik saja. Dia pingsan karena stres dan kelelahan. Setelah istirahat yang cukup, dia akan pulih kembali. Tapi, kondisinya tidak bagus untuk kehamilannya karena bisa memengaruhi janin yang dikandungnya. Dia tidak boleh stres, harus berpikir positif, dan menjaga pola makan serta istirahatnya. Kalau dia begini terus, kami khawatir itu akan membahayakan bayinya,” jelas si dokter wanita.Erian memerhatikan penjelasan si dokter wanita dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin kehilangan anak yang dikandung Citra. Itu adalah sarana terkuat yang bisa menghubungkan wanita itu dengannya sekaligus hal paling penting yang sanggup menahan Citra aga
Orion menelengkan kepalanya tidak mengerti, tapi ia memelototi juga kertas yang diberikan oleh Nadi. Wajahnya pun berubah dari bingung menjadi tidak percaya. “Ini kan catatan transaksi bankku, tapi kenapa tertulis saya mentransfer uang satu miliar lebih ke dealer penjualan mobil beberapa hari sebelumnya? Saya kan membeli mobil enam bulan yang lalu.”“Itu jugalah yang ingin kami ketahui, Pak Orion. Sebenarnya, kami tidak peduli Anda mau membeli seberapa sering, seberapa mahal, atau seberapa banyak mobil, namun masalahnya menjadi lain karena kami menemukan mobil yang dimaksud dalam catatan transaksi itu sama dengan yang dipakai oleh Gema dan Ariani saat kecelakaan itu,” ujar Nadi.“Apa?” Orion sampai berdiri saking terkejutnya, membuat kursi yang didudukinya terjengkang ke belakang. “Jadi, Anda mengira saya yang membeli mobil itu? Tidak! Pasti ada kesalahan. Saya tidak pernah membeli mobil itu. Lagipula, saya sudah punya mobil yang serupa, kenapa saya harus beli lagi? Catatan itu pasti
“Ada apa?” Dokter Lavin bertanya pada Ulfa di sela-sela makan. Ia akhirnya memilih bersuara setelah beberapa menit terakhir Ulfa bertingkah tidak wajar dan membuatnya muak. “Kenapa kamu menatap anakku intens begitu? Jangan coba-coba memikirkan rencana jahat pada orang yang sudah membantumu. Itu keterlaluan namanya, tandanya kamu lebih keji daripada iblis.”Ulfa tersentak sampai terbatuk-batuk karena tersedak oleh makanannya. Bukannya membantu mengambilkan air, Dokter Lavin hanya menontonnya berjuang menghentikan batuknya. Justru Belinda yang sigap menyorongkan gelas ke dalam jangkauannya sehingga Ulfa dapat minum dan mendorong makanan menuruni lehernya. “Sepertinya kamu tidak punya perbendaharaan kata yang baik-baik, ya. Selama kamu bicara hari ini, setiap kata yang keluar dari mulutmu tidak nyaman untuk pendengaran siapapun.”Dokter Lavin tidak peduli dengan protes yang ditembakkan Ulfa. Ia cuma menghabiskan suapan terakhir nasi gorengnya, menyeruput jus apelnya, lalu membersihkan m
Citra menyentuh pipinya yang langsung tampak merah dan memberi Erian tatapan tidak percaya. Selama Citra mengenal pria itu, mulai dari berstatus sebagai kekasih Orion sampai sekarang sebagai selingkuhan ayah mertuanya sendiri, Erian tidak pernah sekali pun melompatkan kata-kata kasar dari mulutnya, apalagi sampai melibatkan fisik. Tapi, sekarang? Erian justru sudah berani menamparnya.“Ayah, ap- apa yang Ayah lakukan? Salah saya apa sampai Ayah tega menamparku? Saya bahkan sedang hamil dan baru sadar dari pingsan. Ayah keterlaluan! Ayah jahat! Ternyata Ayah sama saja dengan ibu!” Citra berujar pelan, tangan yang memegang pipinya gemetar dan air mata mulai bermunculan, siap mengaliri wajahnya yang mulus. Erian sendiri terlihat sangat terperanjat dengan apa yang sudah diperbuatnya. Berulang kali ia melihat dengan mata terbelalak ke arah tangannya dan pipi Citra secara bergantian, tak menyangka dirinya bisa berbuat sekeji itu pada wanita yang dicintainya dan tengah mengandung anaknya. P
“Masuk!”Orion tersandung dan nyaris jatuh tertelungkup di ambang pintu sel tahanan sebab didorong tanpa peringatan dengan tidak sopan oleh polisi yang baru saja menyuruhnya masuk dengan nada suara yang sama tidak sopannya. Interogasinya dengan Nadi berakhir beberapa menit lalu dan hasilnya sungguh di luar prediksi siapapun. Dirinya, yang tidak tahu apa-apa, kini telah berubah status menjadi terduga potensial kasus pembunuhan ibunya sendiri karena sidik jarinya ditemukan di senjata pembunuh. Sungguh kebetulan yang konyol sekaligus mengerikan.Orion jadi penasaran, siapa yang sudah menjebaknya begitu rupa? Pertama, kasus kecelakaan mantan asisten rumah tangga dan sopir keluarganya, sekarang kasus ibunya. Siapapun oknum itu, bisa dipastikan ia memiliki dendam kesumat yang membara pada Orion sampai mampu berbuat hal sekeji ini. Tapi, Orion merasa tidak pernah menyakiti seseorang sampai memberinya alasan untuk memorak-porandakan hidup Orion. Belum sempat Orion berdiri tegak kembali, pin
Erian tengah memelototi pemandangan berupa lalu lintas yang mulai sepi di depan rumah sakit. Ia berdiri sambil menumpukan lengannya pada pagar balkon ruang perawatan Citra di lantai tujuh, merenungkan perbuatannya beberapa menit yang lalu pada menantunya sekaligus konsekuensi yang mengiringinya. Harus diakui, hati Erian terasa sakit karena Citra mengabaikan keberadaannya.Tapi, Citra bukannya tidak bersalah sama sekali. Seharusnya wanita itu sadar kalau tingkahnya yang hanya mencari dan memedulikan Orion, padahal ada dirinya yang setia mendampinginya, sangat mampu menimbulkan perasaan cemburu akut dalam diri Erian. Walaupun hubungan mereka terlarang dan harus dijalani sembunyi-sembunyi, bukan berarti Citra bisa memperlakukannya sehina itu.Melempar napas resah, Erian berbalik memunggungi jalanan dan memandangi ruang perawatan Citra yang kosong. Namun, pikir Erian merana, akan lebih baik lagi kalau ia bisa mengendalikan diri. Bagaimanapun juga, Citra adalah wanita hamil yang tidak pant