“Ada apa?” Dokter Lavin bertanya pada Ulfa di sela-sela makan. Ia akhirnya memilih bersuara setelah beberapa menit terakhir Ulfa bertingkah tidak wajar dan membuatnya muak. “Kenapa kamu menatap anakku intens begitu? Jangan coba-coba memikirkan rencana jahat pada orang yang sudah membantumu. Itu keterlaluan namanya, tandanya kamu lebih keji daripada iblis.”Ulfa tersentak sampai terbatuk-batuk karena tersedak oleh makanannya. Bukannya membantu mengambilkan air, Dokter Lavin hanya menontonnya berjuang menghentikan batuknya. Justru Belinda yang sigap menyorongkan gelas ke dalam jangkauannya sehingga Ulfa dapat minum dan mendorong makanan menuruni lehernya. “Sepertinya kamu tidak punya perbendaharaan kata yang baik-baik, ya. Selama kamu bicara hari ini, setiap kata yang keluar dari mulutmu tidak nyaman untuk pendengaran siapapun.”Dokter Lavin tidak peduli dengan protes yang ditembakkan Ulfa. Ia cuma menghabiskan suapan terakhir nasi gorengnya, menyeruput jus apelnya, lalu membersihkan m
Citra menyentuh pipinya yang langsung tampak merah dan memberi Erian tatapan tidak percaya. Selama Citra mengenal pria itu, mulai dari berstatus sebagai kekasih Orion sampai sekarang sebagai selingkuhan ayah mertuanya sendiri, Erian tidak pernah sekali pun melompatkan kata-kata kasar dari mulutnya, apalagi sampai melibatkan fisik. Tapi, sekarang? Erian justru sudah berani menamparnya.“Ayah, ap- apa yang Ayah lakukan? Salah saya apa sampai Ayah tega menamparku? Saya bahkan sedang hamil dan baru sadar dari pingsan. Ayah keterlaluan! Ayah jahat! Ternyata Ayah sama saja dengan ibu!” Citra berujar pelan, tangan yang memegang pipinya gemetar dan air mata mulai bermunculan, siap mengaliri wajahnya yang mulus. Erian sendiri terlihat sangat terperanjat dengan apa yang sudah diperbuatnya. Berulang kali ia melihat dengan mata terbelalak ke arah tangannya dan pipi Citra secara bergantian, tak menyangka dirinya bisa berbuat sekeji itu pada wanita yang dicintainya dan tengah mengandung anaknya. P
“Masuk!”Orion tersandung dan nyaris jatuh tertelungkup di ambang pintu sel tahanan sebab didorong tanpa peringatan dengan tidak sopan oleh polisi yang baru saja menyuruhnya masuk dengan nada suara yang sama tidak sopannya. Interogasinya dengan Nadi berakhir beberapa menit lalu dan hasilnya sungguh di luar prediksi siapapun. Dirinya, yang tidak tahu apa-apa, kini telah berubah status menjadi terduga potensial kasus pembunuhan ibunya sendiri karena sidik jarinya ditemukan di senjata pembunuh. Sungguh kebetulan yang konyol sekaligus mengerikan.Orion jadi penasaran, siapa yang sudah menjebaknya begitu rupa? Pertama, kasus kecelakaan mantan asisten rumah tangga dan sopir keluarganya, sekarang kasus ibunya. Siapapun oknum itu, bisa dipastikan ia memiliki dendam kesumat yang membara pada Orion sampai mampu berbuat hal sekeji ini. Tapi, Orion merasa tidak pernah menyakiti seseorang sampai memberinya alasan untuk memorak-porandakan hidup Orion. Belum sempat Orion berdiri tegak kembali, pin
Erian tengah memelototi pemandangan berupa lalu lintas yang mulai sepi di depan rumah sakit. Ia berdiri sambil menumpukan lengannya pada pagar balkon ruang perawatan Citra di lantai tujuh, merenungkan perbuatannya beberapa menit yang lalu pada menantunya sekaligus konsekuensi yang mengiringinya. Harus diakui, hati Erian terasa sakit karena Citra mengabaikan keberadaannya.Tapi, Citra bukannya tidak bersalah sama sekali. Seharusnya wanita itu sadar kalau tingkahnya yang hanya mencari dan memedulikan Orion, padahal ada dirinya yang setia mendampinginya, sangat mampu menimbulkan perasaan cemburu akut dalam diri Erian. Walaupun hubungan mereka terlarang dan harus dijalani sembunyi-sembunyi, bukan berarti Citra bisa memperlakukannya sehina itu.Melempar napas resah, Erian berbalik memunggungi jalanan dan memandangi ruang perawatan Citra yang kosong. Namun, pikir Erian merana, akan lebih baik lagi kalau ia bisa mengendalikan diri. Bagaimanapun juga, Citra adalah wanita hamil yang tidak pant
“Mau ke mana, Bu?” Sopir taksi yang terlihat seumuran dengan Orion bertanya lewat kaca spion saat Citra telah duduk dengan tidak nyaman di kursi belakang. Tapi, ketika melihat penumpangnya terlihat tidak asing sekaligus bertingkah tidak wajar, si sopir berbalik demi memastikan penglihatannya. Ia pun terbelalak terkejut bercampur senang karena di dalam taksinya sungguh-sungguh duduk Citra Narutama, si artis itu.“Tolong antar ke kantor polisi Kota Ryha, Pak. Cepat!” Citra bertitah. Tiap beberapa detik sekali kepalanya menoleh ke belakang taksi, berharap perawat yang tadi bersamanya tidak menyadari ia keluar rumah sakit. Sebab, kalau perawat itu tahu, maka Erian pun juga akan tahu. Kalau sudah begitu, rencananya untuk menemui Orion bisa dipastikan bakal dipatahkan.Si sopir terperanjat lagi mendengar tujuan Citra. Dari tempatnya sampai ke kantor polisi Kota Ryha itu berjarak lebih dari lima puluh kilometer, jika ia memilih mengantar penumpangnya yang terkenal itu, ia akan menempuh jarak
Orion mengernyitkan dahinya. Reaksi Ulfa sungguh di luar prediksi siapapun. Sepanjang tiga puluh tahun lebih hidupnya dan belasan kali berurusan dengan wanita dalam sejarah asmaranya, baru kali ini Orion menemukan respons yang betul-betul berbeda. Terang saja, siapa yang tertawa terbahak-bahak saat diputuskan? Kecuali yang bersangkutan sudah tercuri akal sehatnya. Atau memang benar begitu?Bahkan tawa Ulfa yang terlalu lepas juga menarik perhatian para polisi yang berjaga di ruang besuk. Mereka saling bertatapan dengan wajah bertanya-tanya kemudian memandang Orion seolah memintanya menyuruh Ulfa menghentikan aksinya. Akhirnya, Orion memilih untuk memanggil wanita yang asyik sendiri itu dengan suara pelan dan hati-hati. ”Ulfa?”“Hah hah hah. Hah hah hah. Omonganmu terlalu lucu, Rion. Aku sampai tidak bisa mengendalikan diri. Hah hah hah,” jawab Ulfa lalu melanjutkan tawanya, bahkan dengan suara yang semakin keras, memberi waktu bagi Orion untuk merasakan kebingungan lebih lama. Ia sam
“Bagaimana? Ada yang melihat Citra di kantin? Dia pergi ke mana? Bagaimana dengan rekaman CCTV? Anda sudah mengeceknya?” Erian bertanya bertubi-tubi pada si perawat. Mereka bertemu di lobi rumah sakit setelah menghabiskan lima belas menit hidup masing-masing untuk mencari Citra. Erian sendiri sudah menanyai petugas di lobi dan satpam, tapi tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti karena suasana cukup ramai sehingga tidak ada yang memerhatikan.Si perawat mengangguk. “Saya sudah mengecek CCTV. Bu Citra memang keluar rumah sakit lewat lobi waktu kami ke kantin. Saya juga sudah mengecek CCTV pintu utama rumah sakit yang mengarah ke jalanan dan menemukan ini.”Erian mengambil kertas yang baru saja dikeluarkan oleh si perawat dari saku seragam dan mengamatinya. Rupanya, si perawat sudah mencetak gambar kendaraan yang ditumpangi Citra. Erian pun seketika mengumpat saat menyadari kalau taksi yang dipelototinya sekarang sama dengan taksi yang dilihatnya berbelok di perempatan jalan ketika
Citra terperanjat. Siapa yang mengetuk kaca jendela di sampingnya? Apa pengendara lain yang berniat menolong atau malah salah satu dari teman si pemuda yang tengah meraung-raung kesakitan itu? Jika jawabannya adalah yang kedua, tidak diragukan lagi orang itu memiliki maksud jahat. Mungkin ia ingin balas dendam sebab Citra sudah tega menjepit tangan temannya di jendela mobil.Tok, tok, tok!“Siapa di situ? Jangan macam-macam, ya. Aku sudah telpon polisi dan mereka sedang ke sini. Pergi sana! Pergi!” Citra berteriak sekuat yang ia bisa, berupaya menyaingi teriakan-teriakan yang dihasilkan oleh si pemuda berbaur dengan bunyi pintu mobil yang dipukul, membuat suasana semakin ricuh. Tok, tok,tok!Bahkan setelah diancam seperti itu pun, ketukan itu belum berhenti. Manusia yang mengetuk itu sungguh-sungguh keras kepala. Citra mengeratkan genggamannya pada tas tangan, siap memukulkannya kalau misalnya makhluk itu nekat memecahkan kaca jendela. Di tangan satunya, ponsel mahalnya tergenggam er
“Apa yang terjadi, Lavin? Kenapa ada polisi di sini?”Citra bertanya dengan wajah menghadap ke moncong pistol yang mengarah padanya, matanya tajam melirik Dokter Lavin yang tengah memberinya tatapan terluka. Walaupun malam itu udara lumayan dingin, keringat mulai bermunculan di dahinya. Wanita itu meneguk ludah yang terasa mengganjal. Ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu.Namun, bukannya menjawab, Dokter Lavin justru memutus kontak matanya dengan Citra, turun dari mobil, membuka pintu belakang, dan membawa Belinda ke dalam gendongannya. Ia memilih untuk tidak menengok ke arah Citra satu kali pun selagi melangkah kembali ke dalam toko yang pengunjungnya tampaknya tidak menyadari kejadian di depan bangunan yang mereka datangi, berbeda dengan Belinda yang tidak berhenti memelototi mobil yang baru saja mereka tinggalkan.“Lavin, Lavin, kamu mau ke mana? Jelaskan padaku ada apa ini. Lavin! Kamu tidak boleh pergi begitu saja dan meninggalkanku di sini!” Citra memanggil-manggil
Mata Citra terbelalak mendengar pengumuman mengejutkan yang disampaikan oleh Jian. Dengan mulut setengah membuka, ia menoleh ke arah Dokter Lavin yang juga tengah menatapnya. Berkat kehadiran polisi di luar sana di waktu yang sangat tidak tepat ini, rencananya bersama pria itu untuk mengasingkan Orion di ruangan tersendiri bisa dipastikan gagal.“Bagaimana mereka bisa tahu saya di sini? Setahu saya, kita tidak diikuti sejak di pusat perbelanjaan tadi. Saya juga yakin orang-orang di toko tidak ada yang mengenali saya,” ujar Citra dengan nada heran setelah berhasil berjumpa dengan suaranya. Kepalanya bergantian berpaling ke Dokter Lavin dan Jian, menuntut penjelasan. Tidak bisa dipungkiri ada sorot menuduh dalam pandangannya. Mungkin ibu dan anak itu tidak setulus yang Citra kira.Dokter Lavin melihat ke sekeliling rumah dengan resah sebelum membuka mulut. “Kalau dilihat dari polisi yang datang, bukan orang-orang suruhan Erian, kemungkinan besar mereka bisa mengetahui lokasi Citra denga
“Hati-hati menggalinya, jangan sampai guci itu pecah. Lebih baik kita menggalinya pakai tangan saja.”Nadi memberi instruksi pada rekan-rekannya sambil membasmi keringat yang berlelehan mengaliri dahinya menggunakan punggung tangan yang berlumur tanah. Mereka, para aparat kepolisian itu, tengah menggali tanah di halaman belakang kediaman Indrayana untuk mencari sesuatu yang disebutkan oleh Erian pada Nadi tiga puluh menit sebelumnya.“Kalau Anda tahu siapa yang membunuh korban, kenapa Anda tidak bilang dari awal dan membantu penyidikan? Kenapa malah menyembunyikannya dan bersikap tidak tahu apa-apa, bahkan sampai menjebak anak Anda sendiri? Apakah Anda diancam oleh Bu Citra atau Anda sendiri yang memilih untuk menutupi kasus ini, Pak Erian?”“Saya sendiri yang memang memutuskan untuk menutupi kasus ini. Saya pikir, jika Henny ditemukan meninggal sebagai korban pembunuhan, orang-orang akan bersimpati pada saya yang akhirnya akan menaikkan harga saham hotel. Tapi, Citra juga turut andil
Dokter Lavin duduk di sofa ruang tamu rumahnya, alih-alih di ruang keluarga tempatnya mengambil kotak obat, semata-mata agar tidak mendengar pertengkaran antara Citra dan Orion. Sambil menotol-notolkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke lukanya, ia meyakinkan diri bahwa sangat tidak sopan menguping perselisihan suami istri dan mereka tentu tidak ingin didengar oleh siapapun., walaupun Dokter Lavin penasaran setengah hidup.Sekarang, setelah Citra ada di sini, apa yang akan mereka lakukan? Hanya bersembunyi dari Erian tanpa usaha apapun untuk melepaskan wanita itu sepenuhnya dari jeratan pengusaha ternama itu? Citra memang sudah mengambil langkah pertama dengan memutuskan untuk menggugat cerai Orion, tapi kaitan antara mantan kekasihnya dan Erian bukan hanya itu.Namun, sampai kapan mereka sanggup menyembunyikan diri begini? Dokter Lavin harus bekerja, yang tentu saja tidak aman dilakukan sebab Erian sudah tahu jika dirinya ikut terlibat. Sekali Dokter Lavin tertangkap, Citra,
“Itu benar, Pak Nadi. Citralah yang telah membunuh istriku. Aku tidak bohong atau sedang berupaya kabur. Itulah yang sebenarnya terjadi.”Erian menegaskan kalimatnya usai melihat reaksi Dokter Hardi dan Nadi atas perkataannya sebelumnya adalah saling melempar tatapan tidak mengerti. Tapi, sedetik kemudian, wajah si polisi menjelma tidak percaya dan ekspresi si dokter tetap dalam kebingungannya.“Apa maksudmu, Erian?” Dokter Hardi menyuarakan ketidakpahamannya. Ia bergantian memandang polisi di depannya dan temannya yang terbaring di brankar, menunggu salah satu dari keduanya sudi menjelaskan. “Citra yang membunuh Henny? Tapi, kenapa? Tadi kamu bilang kalau dijebak dan akan berusaha mencari pelaku sebenarnya, sekarang kamu bilang kalau Citra pelakunya. Apa yang terjadi di sini, Erian?”“Lebih baik Anda ikut ke kantor dan menjelaskan semuanya di sana, Pak Erian. Bangunlah, saya akan memapah Anda ke mobil,” sebut Nadi lalu melangkah mendekati brankar dan mengulurkan tangannya pada Erian,
Bunyi pukulan itu mengalihkan perhatian Citra yang tengah asyik duduk di kursi kerja Jian dan memelototi salah satu kertas yang diraupnya dari atas meja. Tangannya otomatis menjatuhkan benda yang dipegangnya begitu menyaksikan bagaimana suaminya menonjok pipi Dokter Lavin yang sama sekali tidak menduga datangnya serangan itu. Ia tergesa-gesa menghampiri mantan kekasihnya yang setengah bersimpuh di lantai dan berjongkok di sampingnya.“Kamu tidak apa-apa, Lavin?” Citra bertanya risau sambil mengamati wajah lebam pria di sisinya. Saat Dokter Lavin hanya mengangguk sebagai reaksi tanpa mengatakan apapun, wanita itu menaikkan kepalanya untuk memberi Orion tatapan sengit. “Apa yang kamu lakukan, Rion? Kenapa kamu memukul Lavin? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu.”Mata Orion mendelik, dadanya masih naik turun mengejar napas. Tenaganya yang tidak seberapa, karena baru makan sekali dalam hari ini, dikerahkan semuanya untuk memberi Dokter Lavin pukulan sekuatnya yang pantas pria itu terima
“Ibu!”“Tante!”Dokter Lavin dan Citra memekik berjamaah kemudian saling bertatapan salah tingkah setelahnya yang segera dilanjutkan dengan membuang pandangan masing-masing ke arah berlawanan. Citra pura-pura tertarik dengan hiasan rambut Belinda yang duduk di pangkuannya, sedangkan Dokter Lavin berdeham tidak jelas sambil bersikap seakan-akan terpesona dengan pemandangan di luar jendela mobil.“Loh, apa yang salah?” Jian bertanya dengan wajah tanpa dosa, tidak menyadari bencana yang baru saja diciptakannya, matanya bergantian menatap tiga penumpang dewasa yang terduduk di kursi belakang mobilnya. “Kalau Citra dan pria ini bercerai, artinya dia bisa kembali pada Lavin dan anak kandungnya, Belinda. Nah, pria ini bisa bersama dengan si poni kekanak-kanakan itu. Akhir yang bahagia untuk semuanya.”Usai menemukan kendali dirinya kembali, Dokter Lavin memandang ibunya, sebisa mungkin menahan matanya agar tidak melirik ke arah Citra atau Orion yang duduk di sisi kiri dan kanannya. “Lebih ba
Nadi duduk tepekur di sofa kulit mahal yang ada di ruang rawat mewah itu. Operasi pengangkatan peluru di betis Erian yang dilakukan langsung oleh Dokter Hardi sudah selesai tiga jam yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu pengusaha hotel itu siuman untuk ditanyai. Nadi memilih untuk bersiaga di ruangan yang sama dengan Erian untuk mencegah orang kaya itu berkonspirasi jahat dengan Dokter Hardi lagi.Sebenarnya, ia bisa saja meminta Kun atau rekannya yang lain untuk menggantikannya berjaga di rumah sakit. Tapi, Nadi memutuskan terlibat langsung karena saat ini bisa dikatakan jika Erian merupakan terduga potensial dalam kasus pembunuhan Henny serta kecelakaan Gema dan Ariani. Baginya, ini semacam tanggung jawab moril selaku ketua tim penyidikan. Bukankah sebagai pemimpin, ia yang harus bekerja lebih keras?Usai beberapa belas menit duduk sambil menjalin tangan dan bertatap muka dengan lantai, Nadi mengubah posisinya menjadi bersandar di sofa dengan kepala mendongak dan mata nyalang
“Orion?”Citra menggumamkan nama suaminya dengan nada terperanjat bervolume rendah. Ia tidak salah dengar, kan? Tapi, apa yang dilakukan Orion di sini? Bukannya dia tengah ditahan di kantor polisi?“Buka pintunya, Citra. Ini aku, Orion!” Orang yang berdiri di luar bilik toilet Citra itu berbicara lagi.Mendengar suara manusia itu sekali lagi, Citra akhirnya yakin. Sekarang ia berseru lantang. “Orion? Itu benar-benar kamu, kan?”“Iya, Citra. Aku Orion, suamimu.”Lebih tepatnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, pikir Citra. Walaupun yakin betul kalau makhluk yang mengobrol dengannya adalah Orion, ia tetap memilih melakukan tindakan pencegahan dengan cara mengintip lagi melalui celah di bawah pintu, siapa tahu ada orang lain di situ.Usai memastikan jika suaminya memang benar-benar datang sendirian, Citra menjatuhkan pecahan cermin di tangannya ke lantai dan membuka pintu bilik toilet. Di depannya, terpampang wujud Orion yang terlihat tidak terurus dengan wajah dan pa