“Bagaimana? Ada yang melihat Citra di kantin? Dia pergi ke mana? Bagaimana dengan rekaman CCTV? Anda sudah mengeceknya?” Erian bertanya bertubi-tubi pada si perawat. Mereka bertemu di lobi rumah sakit setelah menghabiskan lima belas menit hidup masing-masing untuk mencari Citra. Erian sendiri sudah menanyai petugas di lobi dan satpam, tapi tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti karena suasana cukup ramai sehingga tidak ada yang memerhatikan.Si perawat mengangguk. “Saya sudah mengecek CCTV. Bu Citra memang keluar rumah sakit lewat lobi waktu kami ke kantin. Saya juga sudah mengecek CCTV pintu utama rumah sakit yang mengarah ke jalanan dan menemukan ini.”Erian mengambil kertas yang baru saja dikeluarkan oleh si perawat dari saku seragam dan mengamatinya. Rupanya, si perawat sudah mencetak gambar kendaraan yang ditumpangi Citra. Erian pun seketika mengumpat saat menyadari kalau taksi yang dipelototinya sekarang sama dengan taksi yang dilihatnya berbelok di perempatan jalan ketika
Citra terperanjat. Siapa yang mengetuk kaca jendela di sampingnya? Apa pengendara lain yang berniat menolong atau malah salah satu dari teman si pemuda yang tengah meraung-raung kesakitan itu? Jika jawabannya adalah yang kedua, tidak diragukan lagi orang itu memiliki maksud jahat. Mungkin ia ingin balas dendam sebab Citra sudah tega menjepit tangan temannya di jendela mobil.Tok, tok, tok!“Siapa di situ? Jangan macam-macam, ya. Aku sudah telpon polisi dan mereka sedang ke sini. Pergi sana! Pergi!” Citra berteriak sekuat yang ia bisa, berupaya menyaingi teriakan-teriakan yang dihasilkan oleh si pemuda berbaur dengan bunyi pintu mobil yang dipukul, membuat suasana semakin ricuh. Tok, tok,tok!Bahkan setelah diancam seperti itu pun, ketukan itu belum berhenti. Manusia yang mengetuk itu sungguh-sungguh keras kepala. Citra mengeratkan genggamannya pada tas tangan, siap memukulkannya kalau misalnya makhluk itu nekat memecahkan kaca jendela. Di tangan satunya, ponsel mahalnya tergenggam er
“Ada apa ramai-ramai orang berlarian di depan? Apa ada yang tawuran?” Dokter Lavin bergumam pelan. Ia baru saja menurunkan Ulfa di kantor polisi sesuai permintaan wanita itu yang ingin menemui selingkuhannya di sana. Dokter Lavin diam saja dan tidak tertarik berkomentar saat Ulfa mulai memuji sikapnya yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam kehidupan asmara antara Citra, Orion, dan Ulfa.Duuuaaarrr!Ckkkiiittt!“Papa! Huuuaaa!” Belinda tiba-tiba terbangun dan mengawali tangisannya ketika Dokter Lavin mengerem mobilnya mendadak. Beberapa meter di depannya, meledak sebuah mobil. Ia nyaris saja masuk dalam radius ledakan jika seandainya ia berkendara terlalu cepat atau kalau ia tidak singgah sebentar di kantor polisi.“Sini sama Papa, Sayang,” ujar Dokter Lavin sambil membalikkan badan untuk menggendong anaknya demi membawanya ke pangkuannya. Ia mengusap air mata yang sudah berlarian di pipi putrinya dan berkata dengan nada membujuk. “Cup, cup. Kamu takut, ya? Jangan nangis lagi, y
Erian spontan berjongkok di samping mobil mahalnya. Ia menunduk, memejamkan mata sambil menutup telinga dengan napas berlarian begitu mendengar suara ledakan yang mencengangkan itu. Dari dalam mobil, Pak Soni berteriak kencang sebagai perwujudan rasa shocknya. Di sekitarnya, banyak kendaraan yang berhenti tiba-tiba akibat terkejut. Untung saja tidak ada kecelakaan yang sampai terjadi.Pintu mobil di sisi pengemudi mendadak terkuak dan sosok Pak Soni keluar dari sana. Di luar, ia celingukan mencari majikannya dan akhirnya mendapatinya teronggok, masih dengan kepala tertunduk, mata terpejam, dan telinga tertutup. Pak Soni pun tergesa-gesa mendekati Erian dan menyentuh pundaknya pelan. “Tuan Erian, Anda tidak apa-apa? Anda baik-baik saja?”Saat merasakan sentuhan di bahunya dan tahu bahwa Pak Soni-lah yang berbicara padanya, Erian melepaskan tangan yang menutupi telinganya, membuka matanya, dan menaikkan kepalanya kembali. Tapi, napasnya masih belum menemukan iramanya. Ia perlu beberapa
“Ayah?”Citra memekik keheranan untuk kedua kalinya. Dokter Lavin dan Belinda yang mendengar seruan itu sontak menoleh ke belakang dan mendapati pria berumur 60-an tahun tapi masih gagah dan bugar tergesa-gesa mengangkat garis polisi berwarna kuning untuk mendekati mereka. Namun, seorang aparat keamanan lekas-lekas melarang dan menyuruh Erian menghentikan aksinya yang berpotensi akan merusak TKP itu.“Ayah!” Kali ini Citra berteriak memanggil dengan suara penuh kelegaan sebab akhirnya bertemu keluarganya setelah tragedi mengerikan yang baru saja terjadi, membuat Erian dan si polisi berhenti saling mendorong untuk berpaling ke arahnya. Tidak punya pilihan setelah Citra bersuara lagi, si polisi terpaksa mengizinkan Erian melewati garis kuning.“Ayah,” ujar Citra lagi sambil merentangkan tangannya ke depan yang segera disambut oleh Erian dengan pelukan. Dokter Lavin yang tahu diri bahwa tidak sepantasnya ia berada di situ, menggenggam tangan Belinda yang setia berdiri di sampingnya, bera
Begitu mendengar lengkingan Citra beberapa meter di depannya, jantung Dokter Lavin tanpa diminta berdebar gila-gilaan mengantisipasi apa yang akan ditemukannya nanti. Ia pun mengeratkan pegangan pada tubuh Belinda di punggungnya dan meminta anaknya mendekapnya kuat-kuat kemudian berlari menyusuri lahan kosong gelap yang terhampar dengan hanya mengandalkan penerangan dari senter ponselnya.Segera saja cahaya di tangannya menangkap pemandangan yang sama sekali tidak menyenangkan: tubuh si sopir terkapar dalam posisi tertelungkup dengan Citra yang bersimpuh di sampingnya, berupaya keras membaliknya dengan tenaganya sebagai sesama korban yang tidak seberapa. Dokter Lavin lalu menurunkan Belinda dari gendongan dan mengambil alih hal yang tadi dilakukan Citra dan berhasil.Sambil berdoa dalam hati, meminta agar si sopir baik-baik saja dan cuma tidak sadarkan diri, Dokter Lavin mulai memeriksa nadi di lengan dan leher kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan detak jantung. Tapi, ia tidak bis
“Suaranya dari arah sana. Cepat! Cepat!”Erian diam-diam mengikuti Nadi dan rekan-rekannya dari belakang menuju arah teriakan Citra yang baru saja terdengar, mengabaikan omongan Nadi yang menyuruhnya menunggu di ambulans saja. Enak saja, pikir Erian tidak terima, ia tidak akan membiarkan Dokter Lavin dan Citra memiliki waktu bersama-sama lebih banyak. Mungkin ini kedengarannya tidak masuk akal, tapi entah kenapa, sejak awal bertemu dengan Dokter Lavin, Erian punya perasaan aneh jika pria yang sudah memiliki anak itu merupakan ancaman baginya. Semestinya Erian tidak berpikir seperti itu, terlebih ia sudah melihat kalau Dokter Lavin sudah ada yang punya. Namun, bukankah Erian sendiri telah mempunyai Henny di sisinya saat dirinya bermain api dengan Citra? Jadi, bukan tidak mungkin jika Dokter Lavin juga melakukan hal yang sama.Ketika sampai di lokasi tubuh si sopir ditemukan dan mendapati pemandangan yang sanggup membuat amarahnya menggelegak, Erian tahu kalau instingnya benar. Jika d
Perpaduan apik antara shock, kelelahan, dan kesakitan yang teramat hebat membuat Citra tidak dapat menanggungnya lebih lama dan akhirnya tumbang ke bumi. Erian yang menyaksikan langsung bagaimana wanita yang mengandung anaknya pelan-pelan melepaskan tangan dari perutnya dan jatuh ke sisi kanan tubuhnya dengan mata terpejam sontak diselimuti kepanikan tingkat gawat. “Citra! Tidak! Tidak! Citra!” Erian berteriak. Tangannya mengguncang-guncang pundak Citra kuat-kuat sebagai upayanya menyadarkan wanita itu. Setelah beberapa saat dan hasilnya tidak ada, Erian pun mengangkat kepalanya menatap seantero lahan kosong yang remang-remang, mencari keberadaan Nadi, rekan polisinya, dan paramedis yang tadi datang untuk membawa tubuh sopir taksi yang malang.“Tolong! Tolong! Ada yang tidak sadarkan diri di sini! Tolong!” Karena tidak menemukan siapa pun, Erian kemudian berdiri dan memanggil-manggil. Tapi, tidak ada satu pun orang yang menyahuti panggilannya ataupun memunculkan diri. Erian mendecih.