Erian spontan berjongkok di samping mobil mahalnya. Ia menunduk, memejamkan mata sambil menutup telinga dengan napas berlarian begitu mendengar suara ledakan yang mencengangkan itu. Dari dalam mobil, Pak Soni berteriak kencang sebagai perwujudan rasa shocknya. Di sekitarnya, banyak kendaraan yang berhenti tiba-tiba akibat terkejut. Untung saja tidak ada kecelakaan yang sampai terjadi.Pintu mobil di sisi pengemudi mendadak terkuak dan sosok Pak Soni keluar dari sana. Di luar, ia celingukan mencari majikannya dan akhirnya mendapatinya teronggok, masih dengan kepala tertunduk, mata terpejam, dan telinga tertutup. Pak Soni pun tergesa-gesa mendekati Erian dan menyentuh pundaknya pelan. “Tuan Erian, Anda tidak apa-apa? Anda baik-baik saja?”Saat merasakan sentuhan di bahunya dan tahu bahwa Pak Soni-lah yang berbicara padanya, Erian melepaskan tangan yang menutupi telinganya, membuka matanya, dan menaikkan kepalanya kembali. Tapi, napasnya masih belum menemukan iramanya. Ia perlu beberapa
“Ayah?”Citra memekik keheranan untuk kedua kalinya. Dokter Lavin dan Belinda yang mendengar seruan itu sontak menoleh ke belakang dan mendapati pria berumur 60-an tahun tapi masih gagah dan bugar tergesa-gesa mengangkat garis polisi berwarna kuning untuk mendekati mereka. Namun, seorang aparat keamanan lekas-lekas melarang dan menyuruh Erian menghentikan aksinya yang berpotensi akan merusak TKP itu.“Ayah!” Kali ini Citra berteriak memanggil dengan suara penuh kelegaan sebab akhirnya bertemu keluarganya setelah tragedi mengerikan yang baru saja terjadi, membuat Erian dan si polisi berhenti saling mendorong untuk berpaling ke arahnya. Tidak punya pilihan setelah Citra bersuara lagi, si polisi terpaksa mengizinkan Erian melewati garis kuning.“Ayah,” ujar Citra lagi sambil merentangkan tangannya ke depan yang segera disambut oleh Erian dengan pelukan. Dokter Lavin yang tahu diri bahwa tidak sepantasnya ia berada di situ, menggenggam tangan Belinda yang setia berdiri di sampingnya, bera
Begitu mendengar lengkingan Citra beberapa meter di depannya, jantung Dokter Lavin tanpa diminta berdebar gila-gilaan mengantisipasi apa yang akan ditemukannya nanti. Ia pun mengeratkan pegangan pada tubuh Belinda di punggungnya dan meminta anaknya mendekapnya kuat-kuat kemudian berlari menyusuri lahan kosong gelap yang terhampar dengan hanya mengandalkan penerangan dari senter ponselnya.Segera saja cahaya di tangannya menangkap pemandangan yang sama sekali tidak menyenangkan: tubuh si sopir terkapar dalam posisi tertelungkup dengan Citra yang bersimpuh di sampingnya, berupaya keras membaliknya dengan tenaganya sebagai sesama korban yang tidak seberapa. Dokter Lavin lalu menurunkan Belinda dari gendongan dan mengambil alih hal yang tadi dilakukan Citra dan berhasil.Sambil berdoa dalam hati, meminta agar si sopir baik-baik saja dan cuma tidak sadarkan diri, Dokter Lavin mulai memeriksa nadi di lengan dan leher kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan detak jantung. Tapi, ia tidak bis
“Suaranya dari arah sana. Cepat! Cepat!”Erian diam-diam mengikuti Nadi dan rekan-rekannya dari belakang menuju arah teriakan Citra yang baru saja terdengar, mengabaikan omongan Nadi yang menyuruhnya menunggu di ambulans saja. Enak saja, pikir Erian tidak terima, ia tidak akan membiarkan Dokter Lavin dan Citra memiliki waktu bersama-sama lebih banyak. Mungkin ini kedengarannya tidak masuk akal, tapi entah kenapa, sejak awal bertemu dengan Dokter Lavin, Erian punya perasaan aneh jika pria yang sudah memiliki anak itu merupakan ancaman baginya. Semestinya Erian tidak berpikir seperti itu, terlebih ia sudah melihat kalau Dokter Lavin sudah ada yang punya. Namun, bukankah Erian sendiri telah mempunyai Henny di sisinya saat dirinya bermain api dengan Citra? Jadi, bukan tidak mungkin jika Dokter Lavin juga melakukan hal yang sama.Ketika sampai di lokasi tubuh si sopir ditemukan dan mendapati pemandangan yang sanggup membuat amarahnya menggelegak, Erian tahu kalau instingnya benar. Jika d
Perpaduan apik antara shock, kelelahan, dan kesakitan yang teramat hebat membuat Citra tidak dapat menanggungnya lebih lama dan akhirnya tumbang ke bumi. Erian yang menyaksikan langsung bagaimana wanita yang mengandung anaknya pelan-pelan melepaskan tangan dari perutnya dan jatuh ke sisi kanan tubuhnya dengan mata terpejam sontak diselimuti kepanikan tingkat gawat. “Citra! Tidak! Tidak! Citra!” Erian berteriak. Tangannya mengguncang-guncang pundak Citra kuat-kuat sebagai upayanya menyadarkan wanita itu. Setelah beberapa saat dan hasilnya tidak ada, Erian pun mengangkat kepalanya menatap seantero lahan kosong yang remang-remang, mencari keberadaan Nadi, rekan polisinya, dan paramedis yang tadi datang untuk membawa tubuh sopir taksi yang malang.“Tolong! Tolong! Ada yang tidak sadarkan diri di sini! Tolong!” Karena tidak menemukan siapa pun, Erian kemudian berdiri dan memanggil-manggil. Tapi, tidak ada satu pun orang yang menyahuti panggilannya ataupun memunculkan diri. Erian mendecih.
“Hei, ada telpon!”Tapi, Orion seperti tidak mendengar omongan si polisi yang bertugas menjaganya di ruang tahanan itu. Posisi duduknya tidak berubah sesenti pun, kepalanya masih bersandar di pojok sel dengan tatapan menerawang yang kosong, sedangkan kedua tangannya sibuk mendekap lutut. Orion sudah mempertahankan pose itu sejak dini hari tadi sebab tidak bisa tidur memikirkan kenyataan yang semalam disodorkan oleh Ulfa padanya.“Hei, kamu dengar tidak, sih? Ada telpon untukmu, nih. Ponselmu bunyi terus dari tadi, bikin berisik saja. Bikin orang tidak bisa istirahat. Lagipula, seharusnya ponselmu dimatikan. Tapi, atasan memintaku membiarkannya dan mengizinkanmu berkomunikasi. Enak sekali hidup kalian, di tahanan pun masih bisa telponan,” omel si polisi, tangannya mengangsurkan benda pipih yang memekik-mekik nyaring.Mendengar bunyi ponselnya yang khas, Orion seperti tersadarkan dari lamunannya yang kelewat panjang. Ia kemudian mengangkat kepalanya dari dinding, melepaskan lututnya dar
Sinar matahari yang menyusup melalui jendela yang terbuka mengenai wajah Citra sekaligus membangunkannya. Wanita itu pun membuka mata dan mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali demi beradaptasi dengan keberadaan cahaya terang itu. Setelah penglihatannya sudah terbiasa, Citra menyadari jika ia tengah terbaring di ruangan yang dirasanya tidak asing, tapi tidak berada di rumah keluarga Indrayana tempatnya berdiam selama ini.Tiba-tiba, rasa sakit di perutnya mendadak terasa. Refleks, Citra menggerakkan tangan untuk menyentuh bagian tubuhnya itu. Saat itulah Citra melihat selang infus yang menjalar dari punggung tangannya ke tiang di sebelah brankarnya dan seketika paham kalau dirinya sedang dirawat di Rumah Sakit Ryha, lagi.“Aduh!” Citra spontan menjerit sebab sakit di perutnya menyerang kembali. Mungkinkah efek dari ledakan semalam baru dirasanya hari ini? Tapi, ia tidak merasa membentur sesuatu saat berlari keluar dari taksi ketika si pemuda yang tangannya sudah dijepit kaca jendela mo
“Ap- apa?”Bik Yuli yang baru saja akan mengetuk pintu geser ruang perawatan Citra refleks menutup mulutnya kemudian memberikan tatapan tidak percaya pada Orion yang berdiri di sampingnya, diapit oleh Nadi dan Kun. Tidak tahu harus melakukan apa dengan informasi mengerikan yang barusan didengarnya, Bik Yuli mundur dan duduk di bangku besi panjang yang terdapat di koridor itu.Di belakang Orion, Nadi dan Kun saling melempar pandang bingung. Bukan sambutan seperti ini yang mereka harapkan saat atasan mereka mengizinkan Orion menjenguk istrinya di rumah sakit dengan pengawalan. Seandainya saja mereka terlambat atau datang beberapa menit lebih cepat, situasi tidak terduga seperti ini mungkin bisa mereka hindari. Sekarang, mereka hanya bisa berharap tidak akan ada perkelahian hebat setelah ini.Orion sendiri tiba-tiba tidak bisa memfungsikan otaknya. Pikirannya mendadak macet, menolak bekerja. Semua keriangan yang tadi bercokol di dirinya telah punah. Omongan yang melompat keluar dari mulu